Natal identik dengan pulang kampung, kumpul bersama keluarga, menghias rumah dengan pohon dan perkakas Natal, tukar kado, dandan sebelum ke gereja dengan baju baru dan makan bersama sepulang gereja. Kalau dipikir-pikir kita sesibuk itu mempersiapkan Natal ya. Buat siapa? Diri kita sendiri, keluarga, kerabat atau sesungguhnya buat Juruselamat yang lahir ke dunia? Kalau dipikir lagi, sebenarnya siapa yang berulang tahun, siapa pula yang berharap mendapat dan harusnya memberi kado? Kita tentu tahu jawabannya, tapi sekedar tahu saja tidak cukup.

Jika hal di atas merupakan standar baku Natal, maka bisa kubilang Natalku tak pernah memenuhi standar. Terakhir kali aku merayakan Natal dengan keluarga utuh adalah saat usiaku belum genap setahun. Setelah itu Papa merantau ke Amerika dan selama belasan tahun kami terpisah, aku hanya merayakan Natal dengan Mama. Sehari sebelum ulang tahunku yang ke-17, yang 'harusnya' sweet seventeen, aku harus berlapang dada menerima kenyataan bahwa kedua orangtuaku memutuskan bercerai. Tak terasa sudah 10 tahun hingga detik ini aku merayakan Natal dengan berbagai kondisi. Kadang berkumpul bersama keluarga Mama, kadang harus adil bersama keluarga Papa, kadang seorang diri. Teringat 2013 aku memilih merayakan Natal di sebuah desa kecil di ujung utara kepulauan Tanimbar, Maluku, tempatku bertugas kala itu. 2015 dan 2016 aku merayakan Natal di Inggris saat menyelesaikan studi S2. Tahun lalu aku merayakan Natal bersama keluarga Mama di Pekanbaru, maka tahun ini aku harus adil merayakannya di Jakarta bersama Papa.

Pagi tadi aku dan Papa hanya berdoa berdua di rumah, doa syafaat saling bergantian. Papa tidak ke gereja karena ia takut batuknya mengganggu kekhusyukan ibadah. Jadi, semalam dan hari ini aku bergereja sendiri. "Gak sedih Thel, ke gereja sendiri?" layaknya pertanyaan rutin bagiku tiap bertemu kerabat di gereja. Jika menggunakan standar Natal duniawi di atas, tentu jawabannya 'sangat sedih'. Bahkan mungkin sebagian orang memilih untuk tidak ke gereja karena malu atau takut ditanya mengapa ia hanya sendiri. Lalu, apa sesungguhnya esensi Natal kalau kita masih sibuk memikirkan diri sendiri dan pendapat orang lain? Banyaknya ucapan Natal yang kita terima di media sosial membuat kita merasa ada yang kurang jika merayakan Natal tanpa unggahan foto bersama keluarga. Bagiku, hal tersedih adalah ketika kita larut dalam suasana pesta, namun lupa siapa yang menjadi pusat pesta. Jadi, selama aku masih bisa merasakan damai Natal dalam hatiku, tak ada alasan untuk bersedih. Bagi kamu pun yang mengalaminya, jangan bersedih. Dialah alasan utama Natal, yang lain hanya pelengkap.

Natal seharusnya waktu di mana kita menyiapkan hati untuk menyambut dan merasakan kasih dan damai dari kelahiran Yesus. Dia yang berulang tahun, maka harusnya kita bertanya "Kado terbaik apa yang bisa kuberikan?" bukan sebaliknya. Dia yang kita sambut, bukan pasangan kita. Tak perlu galau menyanyikan 'All I want for Christmas, Blue Christmas atau Miss You Most' kala merayakan Natal. Senandungkanlah lagu sukacita menyambut-Nya, berpestalah untuk Dia dan bukalah hati kita selebar mungkin menerima-Nya. Dan yang terpenting, Natal tak sebatas tanggal 25 Desember. Esok dan seterusnya adalah waktu bagi kita mengimani makna kelahiran-Nya. Sudahkah kita siap?


Sembari menunggu ibadah jam 5 sore,
Kopi Sana, 25 Desember 2018, 15.15 WIB.
Cerita ini kutulis dalam perjalanan Doha-Jakarta kala berdamai dengan turbulensi sembari ditemani secangkir kopi Baileys. Entah sudah berapa film kutonton demi mengusir bosan di atas pesawat, tapi kurasa bukan kebetulan aku menemukan film ini. Aku yang tak pernah suka film Korea, tiba-tiba terpaku saat melihat film The Preparation. Saat kubaca sinopsisnya, film ini bercerita tentang seorang lelaki berusia 30 tahun yang mengalami disabilitas intelektual. Ia bernama In-Gyu dan tinggal berdua bersama Ibunya, yang sangat menjaga dan memanjakan dia. Setiap pagi, In-Gyu selalu berteriak, “Ibu, bangun! In-Gyu lapar. Makanan…makanan”. Selesai makan, biasanya mereka berdua bergegas ke toko pinggir jalan yang merupakan usaha keseharian Ibu In-Gyu. Hari itu, Ibu mengalami tremor saat melayani pembeli. Sudah bertahun ia begitu, namun tak pernah berniat memeriksakannya ke dokter, hanya mengandalkan obat dari apotek. Saat di apotek, Ibu bertemu dengan Direktur Park, yang bekerja di Dinas Sosial. Dia memberikan brosur ‘Job Fair for Handicapped’ dan berharap Ibu bisa mendaftarkan In-Gyu. Tapi kelihatannya, Ibu tidak percaya dengan kemampuan In-Gyu untuk bekerja, karena untuk mengurus diri sendiri saja tidak bisa. Namun, Park berusaha menolong dengan memberikan referensi Pusat Pelatihan Disabilitas. Ibu pun mau mencoba. Sayangnya, tempat yang direkomendasikan sudah penuh dan saat mencoba ke tempat lain, Ibu malah melihat kondisi panti rehabilitasi yang memprihatinkan. Akhirnya, Ibu memutuskan untuk mengajari In-Gyu sendiri, dengan amat sabar. Singkat cerita, In-Gyu pun mulai mandiri dan diterima bekerja di toko kue. Ini bukan akhir cerita, kalau kalian penasaran silahkan tonton sendiri. Sepanjang film, aku tersenyum, kadang bertepuk tangan dan menangis. Bagiku, film ini memberikan banyak sekali pembelajaran.

Pertama, tahukah apa sumber kekuatan utama bagi anak dengan disabilitas? Penerimaan keluarga. Di film ini, Ibu pernah salah berucap “idiot” saat In-Gyu masih kecil dan itu tertanam terus di dalam benaknya sampai berumur 30 tahun. In-Gyu mengira semua orang membencinya, termasuk Ibunya, karena itu ia sering bertindak agresif kepada semua orang. Tapi lewat pembicaraan dari hati ke hati, Ibu menjelaskan kalau ia salah saat itu dan sama sekali tidak membenci In-Gyu. Sejak saat itu, In-Gyu berubah menjadi lebih ramah terhadap orang lain. Anak itu anugerah, apapun kondisinya. Saat kita menerima anak dengan disabilitas, di situlah dia pun mulai menerima kalau dirinya berbeda dengan orang lain, tapi perbedaan itu bukanlah masalah. Coba tanya diri kita, apakah dengan berkata, “Anak saya sama dengan anak orang lain” adalah bentuk penerimaan atau menyembunyikan penolakan? Kalau berbeda, memangnya mengapa? Tak perlu menyamaratakan, karena pada kenyataannya kebutuhan anak kita berbeda. Maka usaha kita pun perlu berbeda. Mari kita belajar untuk menerima dengan tulus hati.

Kedua, dalam film ini In-Gyu sering bernyanyi saat Ibunya sedang merasa letih. Lirik lagunya tentang ‘love is unconditional’. Anak dengan disabilitas intelektual punya keunikan dalam mengekspresikan rasa sayangnya. Tapi ketahuilah bahwa hati mereka lebih besar dalam menyayangi, bukan hanya untuk keluarga tapi juga untuk pertemanan. Cinta seorang Ibu adalah semangat bagi anak dengan disabilitas untuk menjalani hari-harinya. Bukan balai pelatihan yang membuat In-Gyun berkembang, tapi kesabaran Ibu untuk mengajarinya. Meskipun ini film, bukan berarti In-Gyu bisa mandiri dalam sekali pengajaran. Dia berulang kali gagal bahkan keras kepala menolak apa yang diajarkan Ibunya. Tapi, cinta seorang Ibu adalah cinta yang tak mudah menyerah dan cinta itu terasa oleh In-Gyu, maka perlahan dia pun belajar.

Ketiga, hambatan utama bagi tumbuh-kembang anak dengan disabilitas adalah ketidakpercayaan keluarga pada kemampuannya. Seringkali, tanpa sadar, kita sebagai orang terdekat mereka malah justru meragukan kemampuannya. Atau sebaliknya, kita memaksakan ego kita agar dia sama dengan anak lain, tanpa melihat apa talentanya. Melarangnya keluar rumah atau memasukkannya ke sekolah reguler ‘tanpa persiapan’ adalah sama buruknya. Percayalah ia mampu berbaur dengan komunitas, tapi jangan lupa mengajarkannya cara berinteraksi. Percayalah ia mampu masuk ke sekolah reguler, tapi berikan pengertian apa tantangan yang akan dia hadapi. Percayalah ia mampu bekerja, tapi berusahalah mengembangkan bakatnya. Jangan paksakan apa yang ia tidak sukai hanya karena anak-anak lain melakukannya. 

Setelah membaca ini, mungkin diantara kita ada yang bergumam, “Menulis sih gampang. Anda tidak akan pernah tahu sampai Anda yang menjadi orangtuanya.” Jika Anda merasa bahwa pengalaman adalah kunci utama memahami disabilitas, maka ijinkanlah orang lain belajar dari pengalaman Anda. Agar sekalipun tidak memiliki anak dengan disabilitas, semua orang tua mampu mengajarkan kepada anak-anaknya tentang saling menghargai keragaman dan potensi. Sudahkah kita melakukannya?


Di atas awan, 24 Juli 2018.
Jangan kadung berpikir kalau saya sekeren itu bikin tulisan dengan judul yang intelek. Saya sendiri pun baru mendengar istilah ini Sabtu siang saat berbincang di sebuah grup WA.
DISCLAIMER: ‘Verba Volent Scripta Manent, if it is not written, it will be forgotten. Ada yang menasihati saya, “think before act”, maka saya memilih tidak sahut-sahutan dalam sindiran Sabtu lalu dan menuliskan ini pelan-pelan. Lalu kenapa harus dibagikan? Saya tidak suka nyinyir di belakang, lebih baik buka-bukaan siapa tahu ini bermanfaat bagi yang saat ini mengalami hal yang sama. Jika menemukan beberapa pertanyaan dan rasanya ingin menjawab, dipersilahkan di kolom komentar dan tuliskan nama ya.
#1 Tak Kenal Maka Tak Sayang
Sebelumnya, izinkan saya perkenalkan diri dulu agar yang selama ini hanya berteman sebatas dunia maya bisa kenalan secara tidak langsung. Saya Thella, perempuan berusia 27 tahun yang menamatkan studi MA jurusan Policy into Practice di University of Birmingham, Inggris dengan dibiayai oleh beasiswa LPDP, tahun lalu. Tesis saya mengambil topik ‘Ensuring Employment for Persons with Disabilities in Indonesia’. Jangan bandingkan dengan tulisan para aktivis disabilitas yang sudah belasan atau bahkan puluhan tahun konsen di isu ini. Jelas, ilmu saya masih cetek. Makanya saat itu, saya senang sekali bisa dapat dosen pembimbing yang memang sudah cukup lama meneliti tentang disabilitas. Sekembalinya ke tanah air, saya bekerja di sebuah kementerian menangani isu disabilitas.

“Kenapa tertarik isu disabilitas?” Katanya, orang yang konsen dengan isu ini umumnya berangkat dari pengalaman pribadi, kalau tidak berarti disabilitas hanyalah opini atau perspektif. Saya non-disabilitas, keluarga saya pun non-disabilitas, beberapa sahabat karib saya non-disabilitas, pasangan saya non-disabilitas dan tetangga kiri-kanan rumah saya juga non-disabilitas. Nah lho? Ketertarikan saya pada isu disabilitas berawal saat tahun 2013 saya ikut program Indonesia Mengajar dan ditugaskan selama setahun di Desa Adodo Molu, Maluku Tenggara Barat. Silahkan googling kalau kalian ingin tahu desanya ada di mana. Saya memilih menjadi Wali Kelas I SD karena di desa saya ada anak SMA yang belum bisa membaca. Sehingga saya putuskan untuk membenahi calistung dari kelas bawah. Diantara 30 murid di kelas, ternyata ada 3 Anak Berkebutuhan Khusus dengan ragam disabilitas yang berbeda. Saya bukan berasal dari Pendidikan Luar Biasa dan sekolah di sudut republik seperti itu tidak memiliki Guru Pendamping Khusus (GPK). Ketiga murid saya punya kebutuhan yang berbeda, tentu perlakuan yang diberikan pun berbeda. Dan selama setahun saya berinteraksi dengan mereka, saya juga berusaha, dengan kemampuan saya yang terbatas, untuk memberikan pemahaman kepada orang tua mereka tentang penerimaan dan potensi. Pengalaman berineraksi dengan disabilitas juga berlanjut saat saya kuliah di Birmingham. Keseringan tidur di perpustakaan karena mengerjakan tesis, saya terinspirasi dengan dua petugas perpustakaan yang memiliki disabilitas tapi semangat sekali bekerja shift malam. Dan menjelang kepulangan saya ke Indonesia tahun lalu, seorang adik kelas yang kerap curhat dengan saya memberitahukan bahwa ia ternyata bipolar.  Jadi, sekalipun saya non-disabilitas, saya kerap dipertemukan dengan teman-teman penyandang disabilitas dan saya belajar banyak dari tiap interaksi.

#2 Makna Di Balik
Sabtu siang, perbincangan di grup WA yang berisi para aktivis senior disabilitas cukup aktif. Awalnya saya masuk grup WA tersebut karena saya menjadi relawan fotografer pada acara ulang tahun sebuah komunitas, yang sudah punya rekam jejak untuk advokasi aksesibilitas layanan publik bagi penyandang disabilitas. Bagi saya, diskusi di grup WA ini adalah sarana belajar dari para ahli yang saya anggap mentor. Saya keseringan menjadi pengamat, belajar hal baru dari perbincangan mereka, dan hanya berkomentar untuk hal yang saya anggap bisa nimbrung. Saya kutip beberapa percakapan yang terkait dengan judul tulisan ini:
“Kita harus berhati-hati, jangan sampai kita melakukan kapitalisasi isu disabilitas untuk kepentingan pribadi” 
“Kalau orang yang non-disabilitas atau tidak punya keluarga disabilitas tapi concern untuk isu disabilitas, gak serta merta dilabeli kapitalisasi isu untuk kepentingan pribadi kan? Saya setuju sama ‘nothing about us without us’ jadi sekalipun saya belajar ilmunya, saya tetap harus berguru kepada penyandang disabilitas agar punya konteks yang utuh”, sahut saya. 
“Nggak Mbak asal tulus dan benar-benar bekerja, bukan demi cita-cita ketenaran” 
“Tenang Bu Thella, Tuhan maha tahu. Oiya, semoga sukses belajar disabilitasnya di Italia ya. Sungguh serius belajarnya. https://kitabisa.com/thellauntukdifabel bagi teman-teman yang ingin membantu ketulusan ibu thella, sumonggo.”
(1)  Dari percakapan di atas, menurut kalian apakah yang sedang terjadi?

Awalnya saya berpikir pernyataan di atas adalah bentuk refleksi ‘kita’ bersama dan kata-kata suportif kepada saya. Ternyata saya terlalu naif sampai tidak sadar kalau lagi disindir. Hal ini terbukti setelah ada yang lantar men-japri foto screenshoot campaign saya di kitabisa.com yang sempat di repost oleh salah seorang aktor terkenal di instastory nya.

"Ini Mbak, yang aku maksud kapitalisasi isu disabilitas (emoticon smile)” 
“Oalah jadi saya dinilai kapitalisasi Mas?"
"Saya difabel dan 24 tahun bergerak di isu disabilitas tidak berani menggalang bantuan dengan atas nama disabilitas (emoticon smile)” 
“Nanti kalau ada kesempatan bertemu langsung saya jelaskan ya Mas. Tapi kalau ingin tahu output pelatihan ini bisa buka langsung website ITCILO. Mudah-mudahan hati kita cukup bisa menilai maksud baik 
“Ini bukan soal output nya Mbak, tapi soal cara Mbak Tella pergi kesana. Jaman sekarang banyak sekali maksud baik tapi dilakukan dengan cara keliru.” 
“Mas, platform kitabisa itu crowdfunding untuk segala isu. Dan kalau Mas buka, mereka bahkan menyediakan topik ‘difabel’ karena banyak sebelum saya yang sudah menggunakan cara yang sama” 
“Saya tahu, akan lebih baik dan keren jika yang berangkat itu teman difabel dan sampeyan bantu carikan dana. Ya saya sekedar kasih masukan sih Mbak, sebelum sampeyan diprotes teman-teman (emoticon smile).”
(2)  Dari percakapan di atas, yang sesungguhnya jadi persoalan adalah cara galang dana saya atau siapa yang layak berangkat?

Pertama, menyadari ilmu saya yang masih cetek dibanding para senior, ketika menemukan informasi ‘Disability Equality Training’ dari ILO saya merasa ini bisa jadi pembelajaran bagus dan in line dengan tesis saya. Saya konsultasi dengan atasan dan beliau mendukung, bahkan berbaik hati mencarikan sponsor untuk membiayai tuition fee pelatihan saya. Saya berangkat ke Italy bukan dengan dengan privilege, saya ikut seleksi karena ITCILO hanya menyediakan 13 kursi dengan pendaftar yang terbuka dari seluruh dunia. Seandainya saja mau coba membuka situs ITCILO dulu, mungkin Mas di atas bisa lihat persyaratan peserta dan aksesibilitas pelatihannya nanti seperti apa. Silahkan buka link nya dan cermati:

Kedua, kalaulah saya dinilai menyalahi etika disabilitas, mari kita buka sejenak link ini https://kitabisa.com/ayoekspedisidifabel . Saya bukan orang pertama yang menggunakan campaign difabel, bahkan yang men-japri saya tercatat sebagai donatur di campaign tersebut sejak 2 tahun lalu. Kalau masih kurang contoh, saya berikan beberapa tambahan lagi agar bisa dilihat https://kitabisa.com/ultahaulion https://kitabisa.com/suryadukunganaktuli https://kitabisa.com/bersamadifabel https://kitabisa.com/hidupbersosial . Apakah mereka juga dinilai kapitalis isu disabilitas, atau hanya saya saja? Saya paham, bedanya mereka menggalang dana yang akan diberikan langsung kepada penyandang disabilitas, sementara saya menggalang dana agar saya bisa berangkat pelatihan ke Italia. Tapi kalaulah hati kita tak terlalu kering untuk menilai, output pelatihan ini adalah siapapun yang menjadi fasilitator mampu memantik kesetaraan penyandang disabilitas di sektor pekerjaan. Kemarin saya melihat salah satu postingan teman Tuli di media sosial kalau hampir tiap hari ia ditanyai soal bagaimana bisa memperoleh pekerjaan. Hari ini, saya dan Setber RANHAM berdiskusi memasukkan akses pekerjaan bagi penyandang disabilitas sebagai sasaran untuk RANHAM 2020-2024 karena ini termasuk dalam Human Rights Development Index. Ini bukan soal siapa yang ikut pelatihan tapi substansi pelatihan yang berdampak panjang. Dan kalau merasa kritiknya adalah representasi kolektif dari seluruh penyandang disabilitas, Anda salah. Silahkan lihat di link campaign saya ada berapa penyandang disabilitas yang turut berdonasi dan baca baik-baik pesan mereka.

Ketiga, soal foto yang saya pajang. Tiga orang sudah men-japri saya menanyakan kenapa saya memilih foto itu. Satu orang mengerti setelah kemarin malam saya jelaskan, bahkan meminta maaf sudah salah paham. Satu orang tanpa basa-basi langsung bertanya mengapa fotonya dipajang tanpa pemberitahuan. Satu orang lainnya berkata,

“Saya kontak karena tadi dijapri sama teman yang komplain. Terus jadinya minta pendapat teman-teman di sini. Nah, kami sepakat kalau tidak masalah foto dipakai toh tujuannya baik. Sekolah untuk lebih paham isu, jadi bisa bantu kita lebih banyak. Sebetulnya kami justru terinspirasi dengan metode penggalangan dana yang belum terpikir oleh kami, ke depan mungkin itu sangat membantu. Tetap semangat Mba, semoga lancar di sana.”

Foto yang saya pampang di laman campaign bukanlah foto orang yang asal comot di internet. Itu foto lokakarya di Jogja saat saya menjadi narasumber, ada wajah saya di situ. Foto-foto lainnya juga berupa foto kegiatan saat rapat, foto yang justru menjelaskan bahwa deskripsi di campaign soal pekerjaan saya di isu disabilitas bukanlah karangan belaka. Terkecuali saya pasang foto yang memunculkan iba bersama anak-anak kanker atau malah absurd pajang foto lagi liburan, baru itu aneh. Kalau diantara teman-teman ada yang merasa tidak rela ada wajahnya di foto yang dipublikasikan, saya mohon maaf. Saya sengaja tulis lengkap deskripsi campaign saya, siapapun bebas kepo media sosial saya bahkan saya cantumkan nomor WA supaya semuanya jelas, bukan cuma memajang foto disabilitas lalu berharap kasihan dari orang. Janganlah terlalu picik dengan menghasut orang lain bahwa foto kedisabilitasan adalah alasan utama donasi terkumpul, tandanya menafikkan niat baik dari 114 tangan yang berdonasi.


Saya memang belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan para ahli. Tapi saya tidak habis pikir kalau ada yang rela menghabiskan waktu dan energinya untuk menjapri temannya yang lain, seolah ingin membangun opini yang sama tentang seseorang, bahkan yang belum kenal. Kalaulah tidak suka dengan cara seseorang, hubungi langsung dan tunjukkan kekeliruannya. Tapi kalau kita tak mampu menunjukkan kekeliruan tersebut, tanya hati kita apakah ini sekedar karena ketidaksenangan pribadi, apa sebabnya? Sekiranya nyinyir di balik emoticon smile dan doa yang menyindir bisa menambah sehasta dari usia kita, pertahankanlah. Tapi kalau tidak, berubahlah, jangan sampai hal itu menggerogoti ibadah kita.
Sebagai penutup, saya mengutip perkataan dari dua orang yang saya anggap sebagai mentor saya. Seorang rekan penyandang disabilitas yang membesarkan sebuah organisasi berkata, "Mungkin yang perlu diantisipasi adalah walaupun sudah dijelaskan panjang lebar, beberapa pihak tetap tidak bisa terima. Tetapi mungkin suatu saat mereka akan memahami, keep fighting!" Dan pasangan saya berkata, "Selalu berbuat dengan hati, bantu yang mau dibantu, kalau gak mau ya jangan kamu paksa. Apapun yang terjadi, berangkatlah! Jangan kecewakan tangan-tangan yang sudah mendukungmu, pulang nanti berbuatlah lebih banyak." Terima kasih untuk yang masih percaya niat baik, mohon kita saling mengingatkan agar tetap amanah. Tetap semangat untuk yang sedang berjuang, karena kalau kita bersama akan terasa lebih ringan. Kiranya Tuhan menyertai tiap langkah kita.

Jakarta, 10 Juli 2018.

Dulu saat kuliah S1, mungkin aku satu diantara sekumpulan anak muda yang terdepan soal komplain terhadap pemerintah. Rasanya kebijakannya yang dibuat salah sasaran, kerjanya lamban dan banyak makan gaji buta. Kalau soal kritik nomor satu, padahal pas ditanya solusi memperbaikinya mungkin belum kepikiran. Kalaupun kepikiran, solusi yang ditawarkan kadang terlalu ekstrim sehingga tidak bisa diaplikasikan. Patokannya hanya idealisme dan ke-sok pintar-an ku sebagai akademisi cumlaude. Aku sempat apatis terhadap pemerintah dan bertekad tidak mau masuk ke dalam pemerintahan.

Saat kuliah S2, aku mengambil topik disertasi tentang pekerjaan bagi penyandang disabilitas di Indonesia. Topik yang mungkin tidak se-greget pembangunan infrastruktur yang memang menjadi prioritas pemerintah. Keterbatasan informasi mengharuskanku untuk kembali ke tanah air dan mengambil data di dua Kementerian. Sebetulnya aku malas berurusan dengan birokrasi karena bikin janji wawancara dengan para Eselon itu sering tentatif dan kadang jawaban mereka tidak substantif. Tapi setelah proses ini kulewati, aku makin sadar tak baik menggeneralisir kerja pemerintah hanya karena kecewa terhadap oknum atau satu instansi.

Sembari mengerjakan disertasi, karena jurusanku adalah Policy into Practice, aku diharuskan untuk mengambil magang selama 20 minggu. Kala itu aku bertugas di Birmingham City Council, gampangnya mungkin seperti Pemda DKI kalau di sini. Pengalaman itu membuatku sadar bahwa ketika ingin mengubah kondisi, tak cukup hanya dengan komplain.

“Ibaratnya bermaksud memaksa kura-kura berjalan lebih cepat dengan sibuk memukul tempurungnya, alangkah lebih baik kita kelitik dia dari dalam.”

Dengan kecerdasan kita, mungkin tak sulit untuk merancang substansi. Yang tersulit adalah bagaimana meyakinkan instansi untuk ‘mau’ melakukannya. Resmi menyandang gelar Master bagiku adalah peningkatan kapasitas sekaligus kontribusi. Sekembalinya aku ke Jakarta, aku pun mantap hati membantu sebuah Kementerian sebagai Tenaga Ahli Isu Disabilitas.

Setelah berbulan-bulan aktif berkoordinasi dengan teman-teman Penyandang Disabilitas juga mengawal Kementerian/Lembaga (K/L) dalam penyusunan 7 Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai mandat dari UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, aku cukup kaget membaca berita di koran Kompas pagi ini. Judulnya, "Tujuh Peraturan Pemerintah Mangkrak". Aku tahu kemarin siang ada Konferensi Pers terkait 7 RPP ini, sayangnya aku tidak bisa berhadir karena ada agenda lain. Seandainya ada pertanyaan wartawan yang menukik soal upaya pemerintah dalam mendorong percepatan penyusunan RPP ini, mungkin aku bisa rinci sebagaimana aku sering terlibat dalam prosesnya. Tapi, sekalipun tak berhadir, ada bahan terkait progres yang sudah kami koordinasikan. Harapan kami ini cukup memberi gambaran bagi Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD) mengetahui apa yang sudah, sedang dan akan dilakukan pemerintah.

Kesal, sedih, letih. Ah, semuanya campur aduk. Bukan karena aku perwakilan pemerintah dan merasa terpojok, tapi karena aku cukup tahu bagaimana blusukannya Kantor Staf Presiden untuk membuat K/L bersedia mengemban tanggung jawab menyusun RPP dan bagaimana usaha Bappenas untuk memfasilitasi OPD dalam setiap rapat penyusunan. Pun secara pribadi, beberapa bulan ini aku menjadi orang yang super cerewet untuk mengontak K/L hingga Kemenko untuk terus bertanya progres mereka dan apa yang bisa kami support. Semua dilakukan bukan cuma karena deadline tapi memang kami peduli.

Sesering itu kerja bersama, segampang itu mengontak kami saat dibutuhkan namun sesingkat itu berkata tak dilibatkan. Apa daya, sudah tertulis. Sebagai penutup, aku hanya ingin bilang bahwa masing-masing kita sudah punya ‘bagian’. DPO mendukung lewat substansi, pemerintah mengatur legalisasi. Mungkin tidak semua hal dalam pemerintahan bisa diintervensi, mungkin sekali dua kali tak dilibatkan dalam rapat, tapi tak berarti nihil progres. Prosesnya memang tidak mudah, banyak jalur birokrasi yang harus dilewati tapi percayalah masih banyak orang-orang di dalam pemerintahan yang berkomitmen bahkan segitu gregetnya mencari berbagai cara untuk memastikan proses ini berjalan lebih cepat. Salah satunya adalah Ibu Direkturku sendiri.

Di Meja Kerja Kantor, 14.44 WIB.
Perfeksionis, kata orang-orang aku begitu. Selalu banyak pemikiran dan pertimbangan sebelum mengambil keputusan. Tak hanya dalam akademis, pekerjaan atau membeli barang, yang kerap menjadi saran adalah bagaimana perfeksionisnya aku memilih pasangan. Hampir menjadi suatu kewajaran jika masa pendekatan denganku itu tergolong lama, bahkan lucunya ada kisah dimana waktu pacaran lebih singkat dari waktu perjuangan. Yah, semua orang berharap hubungan serius, siapa juga yang mau putus? Tapi agaknya aku terlalu banyak menggunakan logika daripada hatiku selama ini. Aku mendapatkan pasangan dengan kriteria mumpuni tetapi justru lupa pondasi yang terpenting dari sebuah komitmen: kenyamanan dan kepercayaan. Dan jika kau ibaratkan membangun sebuah hubungan layaknya membangun rumah, tanpa pondasi yang kuat, angin pun bisa meruntuhkannya.

Ohya, satu lagi. Aku percaya bahwa aku bukan satu-satunya perempuan yang peka terhadap maksud lawan jenis yang memulai sebuah obrolan. Bahkan aku bisa mengklaim bahwa salah satu talentaku adalah aku bisa (sedikit-banyak) 'membaca' orang. Bertahun-tahun belum pernah salah menerka, baru kali ini ibaratnya aku kecolongan. Namun, hal ini justru mengajariku bahwa hal-hal di luar prediksi adalah kejutan kecil dari perjalanan hidup.

Seseorang, tanpa kusadari mulai menyemai rasa nyaman dalam setiap obrolan berujung tawa. Seseorang, yang saking sering beradu gombal, bahkan terkadang gombalanku jauh lebih manis darinya, diam-diam mencari celah keseriusan. Seseorang, yang tidak intens berinteraksi namun berusaha mengenalku dalam setiap kesempatan untuk berbagi cerita. Semuanya berlangsung tanpa sadar, hanya berbingkai pertemanan. Bahkan, lebih banyak temanku lawan jenis yang berkomunikasi intens denganku dibanding pria ini. Tapi, sebuah lagu MYMP mengingatkanku pada frase 'Love Moves in Mysterious Ways', terutama di lirik awalnya, 'who'd have thought this is how the pieces fit'.

Itulah mengapa saat ia menanyakan kesedianku untuk berjalan bersama, aku hanya tertawa seolah paham kalau itu hanya jebakan gombalannya. Tapi saat itu raut wajahnya menyatakan kalau ia serius! Dan bagiku, momen seperti ini menegangkan, karena jujur aku tidak pernah berekspektasi apapun. Aku hanya bisa menjawabnya dengan pertanyaan, 'Memang sudah seyakin itu denganku? Kan kita baru kembali berkomunikasi sebentar.' 

Kami memang sudah kenal sejak tahun 2011, namun saat itu kondisinya berbeda. Tahun 2015 sempat berkomunikasi kembali, namun sebatas karena ia ingin meng-endorse aku dengan kain Batik Bataknya. Setelah itu aku berangkat ke Inggris untuk melanjutkan S2. April 2017 pertama kali chat di Whatsapp, itu pun karena aku pesan dua tas Ulos darinya sebagai hadiah perpisahan Pembimbing Disertasi dan Direktur Programku. Mei-Juni, sama sekali tidak ada interaksi. 

Bulan Juli, aku kembali menghubunginya hanya untuk memberikan foto wisudaku bersama kedua dosen yang memegang tas Ulos produksinya. Lagi-lagi sebatas endorse, namun kali ini diselipkan pertanyaan kapan aku pulang ke Indonesia. Ah, itu pun sama sekali tidak membuatku geer karena ia hanya ingin menraktirku di lapo sebagai rasa terima kasihnya telah mempromosikan produknya hingga ke Inggris, pikirku demikian. Selama bulan Agustus hingga awal Oktober pun, bisa dihitung jari berapa kali kami bertemu, karena dia di Bandung dan aku di Jakarta. Bagaimana bisa kukatakan ini sebuah usaha mendekati?

Pertengahan Oktober apa yang tak pernah kuprediksikan terjadi. Kalau ditanya apa pertimbanganku mengatakan 'Ya' pada ajakannya, aku pun tak bisa menjawab. Tapi satu hal yang tanpa sadar sudah terbangun diantara kami adalah kenyamanan. Entah dalam obrolan tidak penting sampai topik yang lumayan berat. Yang kedua yang kutanyakan padanya saat itu adalah soal karakterku yang sangat sosial, baik dalam pekerjaan yang menyangkut banyak orang maupun pertemanan. Alasanku bertanya karena tidak semua pria mampu (atau mau) memahami 'duniaku', bahkan mungkin ini alasan mengapa hubunganku terdahulu kandas. Kepercayaan menjadi poin penting saat kita tak bisa membatasi ruang interaksi pasangan kita. Dan mungkin baru dia satu-satunya pria yang tidak mempermasalahkan cemburu. Lalu, apa alasanku untuk berkata 'Tidak'?


Beberapa mungkin merasa lebih lama mengenalku, merasa lebih tampan dan cerdas atau merasa lebih 'berjuang' mendapatkanku, tapi mereka tak mampu menawarkan kenyamanan dan kepercayaan yang sama. Ohya, kalau kata orang 'ikuti kata hatimu', rasanya baru kali ini aku melakukannya! Biasanya aku selalu mengandalkan logika dan mempertimbangkan banyak hal. Tapi kali ini, dia anomaliku.


Jakarta, 30 Oktober 2017 pukul 02.52 WIB.
Jika ada yang bertanya padaku, hal apa yang akan sangat kurindukan dari Inggris, maka aku akan jawab “Kebebasan berekspresi tanpa penghakiman. Mulai dari mengekspresikan idenya, sejelek apapun itu dihargai. Mengekspresikan diri melalui pakaian, seaneh apapun gayanya tetap tak dicibir. Mengekspresikan perasaan, senang sedih pun demikian. Tiap orang punya nilai dan gaya masing-masing. Yang terpenting adalah tak menganggap nilainya paling benar sehingga menyalahkan orang lain.”

Menjelang kepulangan saya ke Indonesia, sepertinya Tuhan mempersiapkan fisik dan mental saya cukup baik. Beberapa hari belakangan, Birmingham amat panas. Memang ini sudah memasuki Summer dan berita menyebutkan bahwa Heatwave akan berlangsung hingga hari Kamis. Ini jadi latihan fisik bagi saya yang terbiasa dengan dingin untuk kembali berdamai dengan suhu di Jakarta. Tak tanggung, Tuhan agaknya tahu kalau ‘reverse culture shock’ adalah ujian paling berat saat saya kembali ke negara tercinta. Agar nanti saya tidak terlalu kaget, maka uji coba pun dilakukan dari sekarang. Mungkin agar saya tidak lupa bahwa ada tiga hal eksis di Indonesia ‘kepo, gosip dan nyinyir’.

Hari ini contohnya, saya memakai celana pendek ke kampus karena suhu yang panas. Saya iseng buat instastory (Sejak kapan instastory isinya serius? Dikira slide presentasi apa?) yang memperlihatkan baju saya ke kampus hari ini. Tak disangka, ada yang mengomentari postingan saya, ‘Hot girl wearing hot pants. Will you send me a hot pic?’ Dia teman sesama orang Indonesia, sesama alumni Birmingham. Sesama orang yang sudah menjelajah beberapa negara. Saya tahu dia bercanda tapi maaf itu tidak lucu sama sekali. Dan setelah saya japri, memang ketahuan bahwa ada unsur nyindir karena dia tak pernah suka dengan perempuan yang memakai celana pendek. Dia mengajak saya buat berdiskusi persoalan ini (celana pendek aja jadi masalah ya? kenapa gak boikot H*M atau Z*ra yang jual hot pants sekalian?) Singkatnya saya membalas, ‘Jika merasa dirugikan karena punya teman yang memakai celana pendek, kau masih punya banyak teman lain. It will be better to leave than to force someone to change her style just because you don’t agree with that.’

Yang bikin tambah mengejutkan, dia menimpali bahwa sebelum ‘tragedi celana pendek’, sudah banyak orang yang memperbincangkan saya di belakang akibat postingan salah satu foto di Instagram. ‘Ada satu orang yang gak kenal dekat, tapi dia japri aku, minta tolong kasih tahu kau soal foto di IG. Sudah banyak yang ngomongin di belakang katanya.’ WOW!!! Ternyata bukan hanya pertunangan Raisa dan Hamish yang bikin geger ya! Mungkin hari di mana foto saya jadi perbincangan ‘terlalu banyak orang’ bisa dibuatkan hastag #HariGosipBirmingham . Yang namanya dibicarakan di belakang jelaslah saya tidak tahu padahal foto itu diunggah lebih dari sebulan yang lalu. Dan teman saya berkata, ‘Dia mungkin concern sama kau makanya dia kasih tahu aku untuk bilangin ke kau.’ Nah, karena saya tidak tahu siapa ‘Mba’ yang berbaik hati peduli sama saya dan saya pun tidak tahu siapa saja oknum-oknum yang tergabung dalam komunitas gosip saat itu, saya buat saja dalam bentuk tulisan agar bisa dibaca oleh mereka juga.

Pertama, yang namanya terlalu memang tidak baik, termasuk terlalu peduli. Jatuhnya jadi kepo dan apa-apa dikritik. Sebagai sesama perempuan, kalau memang kita peduli sama objek yang jadi bahan gosip, lebih baik rasanya bilang terang-terangan kepada para penggosip agar tidak sibuk bicarakan foto orang. Kuliah di luar negeri rasanya cukup sibuk dengan jurnal dan tugas, kalau masih punya banyak waktu kosong mendingan jalan-jalan daripada bahas foto orang. Saya tidak memaksa semua orang setuju dengan postingan saya di Instagram. Postingan saya bukan kutipan kata-kata bijak ala M*rio Teg*h atau kumpulan foto akademis. Karena sedari awal saya punya Instagram, memang kebanyakan isinya seputar jalan-jalan atau hal-hal artistik. Sebelum saya memposting sesuatu juga sudah saya pertimbangkan. Namun, jika Anda tidak suka, sederhana, tinggal unfollow. Ini jauh lebih bijak daripada ‘ngedumel’ di belakang, apalagi ngajak orang lain buat ghibah. Saya tidak akan sedih kok kehilangan followers, toh bukan selebgram.

Kedua, saya datang ke Birmingham bukan dengan pakaian serba panjang lalu drastis berubah jadi keseringan pakai serba mini. Jadi jika Anda berpikir bahwa saya ingin berpakaian ala orang ‘bule’, Anda salah besar! I'm proud of my own style. Bagi yang sudah mengenal saya sejak jaman SMA dan kuliah S1, mungkin tahu kalau saya memang senang mengekspresikan diri lewat pakaian. Bahkan yang sering berkunjung ke rumah saya agaknya tahu seberapa banyak foto ‘ala model’ saya sejak jaman TK. Ibu saya memang sering mengikutsertakan saya dalam ajang Fashion Show, jadi dari jaman bocah singkong, saya sudah tahu memakai rok mini dan hot pants. Namun, dua benda itu tak lantas jadi ‘pakaian wajib’ saya setiap hari atau tepatnya bersifat occasional. Karena saya anak satu-satunya, orang tua saya kerap memperhatikan cara saya berpakaian dan kadang memperhatikan postingan di media sosial saya. Jadi, saya sangat amat tahu tempat, waktu dan suasana untuk berbusana yang pantas.

Ketiga, kita bisa sampai di sini apalagi dengan beasiswa, yang konon mengalahkan ribuan pendaftar lain karena kita pintar, kan? Banyak program ‘distance learning’ yang ditawarkan, di mana tetap bisa dapat gelar dari kampus kelas dunia namun kita bisa kuliah dari Indonesia. Lalu mengapa kita memilih berkuliah jauh-jauh ke luar negeri? Kalau jawaban kita adalah pengalaman hidup, seharusnya dari apa yang diamati sehari-hari saja, kita bisa belajar. Terlebih jika kita bergaul dengan banyak teman dari berbagai negara dan suka jalan-jalan, seharusnya pikiran kita lebih terbuka. Saya tidak bilang kita harus ‘ke Barat-baratan’, namun kita belajar menghargai preferensi seseorang. Agak miris rasanya kalau negara menginvestasikan uangnya untuk menyekolahkan putra-putri terbaik bangsa, tapi ketika pulang masih jadi orang yang pemikirannya masih sesempit dan sependek ‘hot pants’.

Keempat, saya menulis ini bukan karena baper. Diantara kalian mungkin ada yang berkomentar, ‘Diemin aja sih orang-orang kayak gitu.’ Bagi saya, kesadaran dan integritas belum bisa jadi hal yang tumbuh dengan sendirinya bagi orang Indonesia. Buktinya, sudah sampai di luar negeri, budaya yang kurang baik masih dipertahankan. Mungkin karena kita terbiasa mendiamkan hal-hal yang salah hanya karena tak ingin capek berdebat. Dulu ada yang pernah bilang bahwa “Mendidik otak tanpa watak itu konyol.” Makin saya berpendidikan, saya makin mengerti arti dari pernyataan tersebut bahwa seyogyanya orang terdidik akan terlihat dari wataknya.


Until now, I still believe what Albert Einstein said, ‘Education is not the learning of facts but the training of the mind to think’. So, please, do not broke that statement by showing me so many educated people have a plenty time to talk on someone’s back, even only about the outfit or picture. Let us train our mind to think positively, fill our brain with something useful!
Previous PostPostingan Lama Beranda