Komnas, KPAI, Kita

Leave a Comment
"Halo, dengan KPAI?", sahut suara di seberang sana.
Tak terhitung lagi kami dengan sabar meladeninya, "Mohon maaf, ini dengan Komnas Anak. Untuk KPAI bisa menelepon di nomor...." Belum selesai menyebutkan, ditimpali.
"Oh ya, maksud saya Komnas HAM bagian anak. Kak Seto dan bapak Sirait yang berjambang itu di sini kan?", tanyanya.

Begitulah sekelumit kisah yang hampir tiap hari saya dan rekan-rekan Komnas Perlindungan Anak hadapi.  Mungkin perlu sedikit berbagi di blog supaya khalayak ramai tidak salah kaprah lagi. Untuk lebih lengkapnya, bisa langsung dilihat di http://peluk.komnaspa.or.id/ atau Facebook kami https://www.facebook.com/pages/Komisi-Nasional-Perlindungan-Anak/129063155327 .

Jika ditanyakan apa bedanya KPAI dan Komnas Anak, saya biasanya menjawab dengan 3 hal:
  1. Komnas Anak adalah lembaga pemerintah non-struktural yang bercikal-bakal dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Jadi secara histori, KPAI yang merupakan lembaga negara itu, merupakan anak dari Komnas Anak. Karena lahirnya UU Perlindungan Anak yang kemudian menyebutkan sebuah lembaga bernama KPAI, juga atas gagasan Komnas Anak. Untuk pertanggung jawaban, laporan Komnas Anak disampaikan kepada Kementerian Sosial sedangkan KPAI langsung kepada Presiden.
  2. Dalam kepengurusannya, Komnas Anak diketuai oleh Arist Merdeka Sirait dengan Kak Seto Mulyadi selaku Dewan Pembina. Sementara KPAI diketuai oleh Asrorun Niam dengan salah seorang Komisioner, Erlinda, yang mungkin lebih banyak dikenal. Dalam operasionalnya, KPAI disokong oleh dana pemerintah dengan jumlah sekian-kian kali lipat daripada dana Komnas yang disokong oleh dana program dari Kemensos. Karena itu jangan heran kalau KPAI kantornya di Menteng dan bagus, stafnya keren, tapi kalau Komnas kantornya di Jakarta Timur, tidak begitu bagus tapi hangat, stafnya biasa saja. 
  3. Yang tersulit adalah menjawab pertanyaan, "Saya sudah coba melapor ke KPAI tapi di referal ke Komnas Anak saja katanya. Tapi untuk beberapa kasus mereka mau kok menerima pengaduan, kenapa saya malah dipingpong?". Saya kerap menunjukkan UU No.35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak agar si penanya membaca sendiri apa saja tupoksi KPAI. Mengenai mengapa seperti tebang pilih, saya justru mendorong si penanya untuk menyanyakan langsung kepada pihak KPAI apa sebabnya. Yang jelas, Komnas Anak tidak pernah memilih klien mana yang harus diterima atau ditolak berdasarkan kriteria apapun, golongan bawah/atas, kasusnya besar/kecil, akan diblow-up media/tidak, karena kami yakin bahwa setiap orang yang datang kemari sudah punya harapan saat mulai melangkahkan kakinya dari rumah. Kalaupun tidak bisa membantu banyak, setidaknya kami mendengarkan apa masalahnya dan menawarkan beberapa alternatif. Yang penting mereka pulang dengan beban yang sedikit berkurang.
KPAI dan Komnas Anak bukanlah sebuah bentuk dualisme institusi, bukan pula rival dalam hal ketenaran. Bagi saya, nama besar institusi tidak terlalu penting dibandingnya dampaknya bagi masyarakat. Idealnya, KPAI dan Komnas Anak bersinergi. Komnas Anak yang menjalankan fungsi advokasi, KPAI yang mendapatkan bahan analisis dari Komnas Anak bisa menjalankan fungsi legislasinya dengan baik. Jika keduanya justru ingin terlibat dalam penyelesaian kasus, yang terjadi seringnya adalah pertanyaan "Bagusnya lapor di KPAI atau Komnas ya?".

Banyak pula yang menganggap bahwa KPAI dan Komnas Anak seperti saingan dan kerap bermusuhan. Sebenarnya tidak perlu ada sensitivitas jika kedua lembaga menjalankan apapun tupoksinya dengan satu komitmen bersama untuk melindungi kepentingan anak Indonesia. Jujur, terkadang kami merasa gerah ketika kerap kali klien yang datang kesini justru marah-marah karena merasa dioper-oper, toh kami juga tidak tahu apa alasannya kasus ini dirujuk kepada kami. Sama sekali tak ada komunikasi. Beberapa kali bahkan saya mendorong klien yang sudah terlanjur membuat pengaduan di KPAI untuk terus cerewet mempertanyakan perkembangan kasusnya. Jangan berhenti di tengah jalan karena alasan ini dan itu lalu pindah melapor ke Komnas Anak. Bukannya tak mau membantu, tapi alangkah lebih baiknya setiap institusi pejuang selalu menuntaskan kasusnya entah berhasil atau tidak, setidaknya bertindak sesuai dengan prosedur dan limit kemampuannya. Disiplin itu harga mati bagi sebuah nama besar, setuju? Kami sering juga menekankan bahwa Komnas Anak bukanlah superhero yang mampu menyelesaikan semua masalah. Namun kami yakin, klien juga tak semata-mata menilai dari hasil, setidaknya mereka tahu kalau lembaga ini berproses membantunya. 

Setiap lembaga pasti punya kelebihan dan kekurangan. Semisal Komnas Anak yang mungkin kuat di akurasi data karena kerap menerima pengaduan namun kurang di sumber daya. Sebaliknya KPAI berlebih dalam sumber daya tapi butuh asupan informasi demi analisis legislasi. Jika spiritnya sama untuk kepentingan anak Indonesia, saya rasa tak sulit untuk saling melengkapi layaknya kakak-adik. Toh tujuan kedua lembaga sama-sama mulia kan? CMIIW.


Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar