Jika ada yang bertanya padaku, hal apa yang akan sangat kurindukan dari Inggris, maka aku akan jawab “Kebebasan berekspresi tanpa penghakiman. Mulai dari mengekspresikan idenya, sejelek apapun itu dihargai. Mengekspresikan diri melalui pakaian, seaneh apapun gayanya tetap tak dicibir. Mengekspresikan perasaan, senang sedih pun demikian. Tiap orang punya nilai dan gaya masing-masing. Yang terpenting adalah tak menganggap nilainya paling benar sehingga menyalahkan orang lain.”
Menjelang
kepulangan saya ke Indonesia, sepertinya Tuhan mempersiapkan fisik dan mental
saya cukup baik. Beberapa hari belakangan, Birmingham amat panas. Memang ini
sudah memasuki Summer dan berita menyebutkan bahwa Heatwave akan berlangsung
hingga hari Kamis. Ini jadi latihan fisik bagi saya yang terbiasa dengan dingin
untuk kembali berdamai dengan suhu di Jakarta. Tak tanggung, Tuhan agaknya tahu
kalau ‘reverse culture shock’ adalah ujian paling berat saat saya kembali ke
negara tercinta. Agar nanti saya tidak terlalu kaget, maka uji coba pun
dilakukan dari sekarang. Mungkin agar saya tidak lupa bahwa ada tiga hal eksis
di Indonesia ‘kepo, gosip dan nyinyir’.
Hari ini
contohnya, saya memakai celana pendek ke kampus karena suhu yang panas. Saya iseng
buat instastory (Sejak kapan instastory isinya serius? Dikira slide presentasi
apa?) yang memperlihatkan baju saya ke kampus hari ini. Tak disangka, ada yang mengomentari
postingan saya, ‘Hot girl wearing hot pants. Will you send me a hot pic?’ Dia teman
sesama orang Indonesia, sesama alumni Birmingham. Sesama orang yang sudah menjelajah
beberapa negara. Saya tahu dia bercanda tapi maaf itu tidak lucu sama sekali.
Dan setelah saya japri, memang ketahuan bahwa ada unsur nyindir karena dia tak
pernah suka dengan perempuan yang memakai celana pendek. Dia mengajak saya buat
berdiskusi persoalan ini (celana pendek aja jadi masalah ya? kenapa gak boikot
H*M atau Z*ra yang jual hot pants sekalian?) Singkatnya saya membalas, ‘Jika
merasa dirugikan karena punya teman yang memakai celana pendek, kau masih punya
banyak teman lain. It will be better to leave than to force someone to change
her style just because you don’t agree with that.’
Yang bikin
tambah mengejutkan, dia menimpali bahwa sebelum ‘tragedi celana pendek’, sudah
banyak orang yang memperbincangkan saya di belakang akibat postingan salah satu
foto di Instagram. ‘Ada satu orang yang gak kenal dekat, tapi dia japri aku,
minta tolong kasih tahu kau soal foto di IG. Sudah banyak yang ngomongin di
belakang katanya.’ WOW!!! Ternyata bukan hanya pertunangan Raisa dan Hamish
yang bikin geger ya! Mungkin hari di mana foto saya jadi perbincangan ‘terlalu
banyak orang’ bisa dibuatkan hastag #HariGosipBirmingham . Yang namanya
dibicarakan di belakang jelaslah saya tidak tahu padahal foto itu diunggah
lebih dari sebulan yang lalu. Dan teman saya berkata, ‘Dia mungkin concern sama
kau makanya dia kasih tahu aku untuk bilangin ke kau.’ Nah, karena saya tidak
tahu siapa ‘Mba’ yang berbaik hati peduli sama saya dan saya pun tidak tahu
siapa saja oknum-oknum yang tergabung dalam komunitas gosip saat itu, saya buat
saja dalam bentuk tulisan agar bisa dibaca oleh mereka juga.
Pertama, yang
namanya terlalu memang tidak baik, termasuk terlalu peduli. Jatuhnya jadi kepo
dan apa-apa dikritik. Sebagai sesama perempuan, kalau memang kita peduli sama
objek yang jadi bahan gosip, lebih baik rasanya bilang terang-terangan kepada
para penggosip agar tidak sibuk bicarakan foto orang. Kuliah di luar negeri
rasanya cukup sibuk dengan jurnal dan tugas, kalau masih punya banyak waktu
kosong mendingan jalan-jalan daripada bahas foto orang. Saya tidak memaksa
semua orang setuju dengan postingan saya di Instagram. Postingan saya bukan
kutipan kata-kata bijak ala M*rio Teg*h atau kumpulan foto akademis. Karena
sedari awal saya punya Instagram, memang kebanyakan isinya seputar jalan-jalan
atau hal-hal artistik. Sebelum saya memposting sesuatu juga sudah saya
pertimbangkan. Namun, jika Anda tidak suka, sederhana, tinggal unfollow. Ini
jauh lebih bijak daripada ‘ngedumel’ di belakang, apalagi ngajak orang lain
buat ghibah. Saya tidak akan sedih kok kehilangan followers, toh bukan
selebgram.
Kedua, saya
datang ke Birmingham bukan dengan pakaian serba panjang lalu drastis berubah
jadi keseringan pakai serba mini. Jadi jika Anda berpikir bahwa saya ingin
berpakaian ala orang ‘bule’, Anda salah besar! I'm proud of my own style. Bagi yang sudah mengenal saya
sejak jaman SMA dan kuliah S1, mungkin tahu kalau saya memang senang
mengekspresikan diri lewat pakaian. Bahkan yang sering berkunjung ke rumah saya
agaknya tahu seberapa banyak foto ‘ala model’ saya sejak jaman TK. Ibu saya
memang sering mengikutsertakan saya dalam ajang Fashion Show, jadi dari jaman
bocah singkong, saya sudah tahu memakai rok mini dan hot pants. Namun, dua benda
itu tak lantas jadi ‘pakaian wajib’ saya setiap hari atau tepatnya bersifat
occasional. Karena saya anak satu-satunya, orang tua saya kerap memperhatikan
cara saya berpakaian dan kadang memperhatikan postingan di media sosial saya.
Jadi, saya sangat amat tahu tempat, waktu dan suasana untuk berbusana yang
pantas.
Ketiga, kita
bisa sampai di sini apalagi dengan beasiswa, yang konon mengalahkan ribuan
pendaftar lain karena kita pintar, kan? Banyak program ‘distance learning’ yang
ditawarkan, di mana tetap bisa dapat gelar dari kampus kelas dunia namun kita
bisa kuliah dari Indonesia. Lalu mengapa kita memilih berkuliah jauh-jauh ke
luar negeri? Kalau jawaban kita adalah pengalaman hidup, seharusnya dari apa
yang diamati sehari-hari saja, kita bisa belajar. Terlebih jika kita bergaul
dengan banyak teman dari berbagai negara dan suka jalan-jalan, seharusnya
pikiran kita lebih terbuka. Saya tidak bilang kita harus ‘ke Barat-baratan’,
namun kita belajar menghargai preferensi seseorang. Agak miris rasanya kalau negara
menginvestasikan uangnya untuk menyekolahkan putra-putri terbaik bangsa, tapi
ketika pulang masih jadi orang yang pemikirannya masih sesempit dan sependek
‘hot pants’.
Keempat, saya
menulis ini bukan karena baper. Diantara kalian mungkin ada yang berkomentar,
‘Diemin aja sih orang-orang kayak gitu.’ Bagi saya, kesadaran dan integritas
belum bisa jadi hal yang tumbuh dengan sendirinya bagi orang Indonesia.
Buktinya, sudah sampai di luar negeri, budaya yang kurang baik masih
dipertahankan. Mungkin karena kita terbiasa mendiamkan hal-hal yang salah hanya
karena tak ingin capek berdebat. Dulu ada yang pernah bilang bahwa “Mendidik
otak tanpa watak itu konyol.” Makin saya berpendidikan, saya makin mengerti
arti dari pernyataan tersebut bahwa seyogyanya orang terdidik akan terlihat
dari wataknya.
Until now, I still believe what Albert Einstein said, ‘Education is not the learning of facts but the training of the mind to think’. So, please, do not broke that statement by showing me so many educated people have a plenty time to talk on someone’s back, even only about the outfit or picture. Let us train our mind to think positively, fill our brain with something useful!
0 komentar:
Posting Komentar