Ketika kau sampai di sini, kau akan melihat
pemandangan yang lain dari biasanya. Bukan soal panorama alam yang sudah tak
diragukan lagi keindahannya, bukan juga soal uniknya kebiasaan menyisir rambut
dengan pisau di tempat santai. Pemandangan yang bisa kujamin akan kau temui
setiap hari, entah itu di pagi hari, siang, sore atau malam. Percaya padaku,
kau bisa temui pemandangan ini di mana pun, baik di sekolah, di depan rumah,
bahkan di tengah jalan. Anak kecil tanpa celana, muka berdaki, dan ingus
meleleh seperti “Bo” di film Crayon Shinchan? Itu masih dapat dimaklumi. Anak
tanggung yang sedang jongkok buang air besar di pasir pantai? Bisa jadi, tapi
sekarang sudah jarang. Orang lalu-lalang di malam hari dengan menyetel musik
keras di HP? Bukan, bukan itu. Kau mungkin kesal padaku dan bertanya dalam
hati, “Kalau begitu apa?”
Baru kali ini aku melihat pemandangan orang
makan rotan setiap hari. Namun jangan kau bayangkan bahwa rotan ini direbus
atau digoreng untuk mengenyangkan perut. Kekerasan di sini ibarat kebutuhan
jasmani yang harus dipenuhi setiap hari. Anak kecil yang ‘disuapi’ rotan oleh
orang tuanya, guru terhadap siswanya, anak-anak dengan sesama temannya, bahkan
ketika suami-istri bertengkar sambil kejar-kejaran juga membawa rotan. Hari
pertama aku mengajar di sekolah, seorang rekan guru berkata,
“Ibu Thella pu kelas I itu paling biking
picah kapala. Kalau seng pake rotan, anak-anak kelabur talalu nanti ibu setenga
mati!”.
Aku menjawabnya, “Beta seng tega pukul anak-anak, su janji
deng diri sendiri dan anggap sa resiko ajar kelas I memang harus
pangkat-pangkat sabarnya toh.”
Sudah
begitu pun aku menjelaskan, tetap saja banyak yang gigih menggodaku untuk
menggunakan benda yang pastinya akan lebih bagus kalau dibuat kerajinan itu.
Kadang aku berpikir, ini tahun ketiga
Indonesia Mengajar di sini, apakah guru atau masyarakat masih tidak memahami
komitmen kami untuk tidak menggunakan kekerasan dalam mengajar? Kalau berpikir
perilaku seperti ini akan sirnah dalam waktu tiga tahun, mungkin terlalu muluk.
Terlebih saat aku berkunjung ke rumah beberapa siswa kelas I, semua orang tua
memerintahkanku, “Ibu harus
kasi keras, dong ini memang kepala batu jadi pukul sa biar tobat!”. Soal anak-anak yang sulit diatur dan senang
berkelahi memang tidak dapat kubantah, bahkan kalau boleh jujur aku pernah
hampir mencubit salah satu siswaku saking geram karena ulahnya yang suka bikin
onar di kelas. Tapi tiba-tiba kalimat ‘guru itu digugu dan ditiru’ yang
melintas di pikiran membuatku sadar. Kalau guru saja berhak memukul, pasti
anak-anak juga tidak akan merasa berdosa memukul temannya. Namun, dua minggu
menerapkan cara lembut, justru aku yang kelelahan menghadapi anak-anak bahkan
sempat ingin menangis.
Sering aku tidur larut hanya untuk merenung
kira-kira taktik apa yang membuat anak-anak jera tapi tanpa aku harus memukul
mereka. Sekitar jam 2 malam itu, entah berasal dari bisikan mana, ada ide yang
muncul untuk menerapkan ‘Hak Menghukum
Diri Sendiri’. Kuawali dengan mengajak anak-anak bernyanyi lagu Sekolah
Minggu “Hati-hati Gunakan” lalu bertanya kepada mereka untuk apa Tuhan
menciptakan tangan, kaki, dan mulut. Kami buat kesepakatan, kalau mulut,
tangan, dan kaki tidak digunakan untuk sesuatu yang baik, maka anak-anak harus
kasih jera itu anggota tubuh supaya tidak nakal lagi. Misalnya: anak yang
membuat temannya menangis berarti harus memukul tangannya sendiri ; anak yang
bermaki harus menjentik mulutnya sendiri ; anak yang suka angkat kaki ke meja
atau menendang teman harus mencubit kakinya sendiri. Anehnya, anak-anak yang
dicap kepala batu ini malah nurut dan sportif untuk menghukum dirinya ketika
melakukan kesalahan. Taktik ini tidak langsung menyulap kelas jadi tenang, tapi
setidaknya anak-anak lain yang melihat temannya menghukum diri bisa agak enggan
untuk coba-coba nakal. Kuterapkan ini dengan harapan mereka sadar bahwa lebih
baik tertib daripada malu dilihat teman sekelas dan menyakiti diri sendiri.
Sepulang mengajar di kelas I, aku biasanya
langsung bergegas ke SMP untuk mengajar IPA Terpadu dan Bahasa Inggris kelas
IX. Pertemuan perdana kami selain diisi perkenalan juga menyepakati kontrak
belajar. Muncullah lima poin yang ke depannya akan menjadi komitmen kami
bersama, bukan cuma siswaku tapi juga berlaku untukku sebagai guru mereka.
“Yang harus disiplin itu samua, seng cuma
guru biking aturan lalu kamong sa yang taat. Ibu su bilang toh, ini kontrak
belajar par katong. Jadi contohnya kalau Ibu terlambat masuk kelas, harus
berani ingatkan Ibu untuk merapikan kamong pu kelas ini sepulang sekolah. Su
dengar?”
Bukannya
menjawab, siswaku malah saling lihat-lihatan dan berbisik, mereka terlihat
bingung dengan cara mengajar Ibu Guru yang satu ini. Lalu kutantang mereka
untuk berani menawar apa sanksinya jika ada siswa yang tidak mengerjakan tugas.
“Pukul deng rotan! – Pompa! – Lari
keliling lapangan! – Cambuk!”, tawaran terakhir menyentakku.
“Ampun e, Tuhan Yesus sa kalau boleh pilih
seng mo dicambuk waktu itu. La kamong mo rasa dicambuk bagaimana? Ibu su bilang
kalau biking sanksi itu yang bikin tobat tapi tetap mendidik, lai Ibu seng mo
pake kekerasan. Di rumah su dapat, di sekolah dapat, nanti deng temang baku
pukul lai, kamong kira Tuhan ciptakan manusia hidup untuk dipukul sa?” Mereka diam.
Sudah dari tahun kapan menghukum dengan
kekerasan ini dilakukan, tapi nyatanya masih saja kesalahan terulang. Berarti
bukannya membuat jera, justru makin sering dipukul mereka makin kebal. Anggap
saja kalau lagi malas bikin tugas, tinggal merelakan badan sakit sedikit karena
kena rotan. Aku menawarkan kepada mereka untuk menuliskan ‘Saya berjanji akan
mengerjakan tugas dengan serius’ sebanyak 100x sebagai sanksi. Seketika kelas
gaduh, ada celetukan ‘Ubi la’a, tangan putus sudah’. Tapi setelah aku
menjelaskan unsur mendidik dari hukuman tersebut, mereka akhirnya sepakat.
Lusa, sengaja aku terlambat lima menit untuk melihat apakah mereka mulai berani
mengingatkan orang lain yang melanggar komitmen, sekalipun itu guru. Sekalian
aku ingin membuktikan bahwa kedisiplinan itu datangnya harus dari diri sendiri
bukan karena dipaksa. Saat aku masuk kelas, beberapa siswa mulai berbisik
sampai akhirnya aku bertanya dan ada satu orang yang menjadi jubir mengingatkan
kalau aku terlambat. Pulang sekolah, aku tidak mengizinkan mereka menghapus
papan dan memungut sampah di bawah meja, aku mempersilahkan mereka keluar kelas
lalu aku mulai merapikan kelas.
Tiba-tiba kepala sekolah yang dari luar kelas
melihatku sibuk berbenah, memarahi anak kelas IX dan menyuruh mereka kembali ke
kelas. “Kamong pu
otak dimana ka, buta ka, biarkan Ibu Thella bersihkan kelas macam ini. Nona
stop sudah, anak-anak ini terlalu lai. Lain kali awas e!” Segera aku menimpali, “Anak-anak seng salah bapa, tadi bet
terlambat dan katong su sepakat deng sanksinya. Disiplin berlaku par samua toh,
seng cuma par anak-anak sa”, sambil
aku memberikan kode kepada anak-anak untuk tidak ambil pusing dengan perkataan
Kepsek tadi. Setelah Kepsek keluar kelas, raut muka anak-anak langsung
sumringah sambil beberapa berkata “Aheey...memang
Ibu Thella e!”
Batak = banyak taktik, mungkin
ada benarnya. Dan memang harus putar otak untuk menghadapi anak-anak yang
dibesarkan dengan kultur kekerasan seperti di sini.
0 komentar:
Posting Komentar