Jangan kadung
berpikir kalau saya sekeren itu bikin tulisan dengan judul yang intelek. Saya
sendiri pun baru mendengar istilah ini Sabtu siang saat berbincang di sebuah
grup WA.
DISCLAIMER: ‘Verba
Volent Scripta Manent, if it is not written, it will be forgotten. Ada
yang menasihati saya, “think before act”, maka saya memilih tidak sahut-sahutan
dalam sindiran Sabtu lalu dan menuliskan ini pelan-pelan. Lalu kenapa harus dibagikan? Saya tidak suka nyinyir di
belakang, lebih baik buka-bukaan siapa tahu ini bermanfaat bagi yang saat ini
mengalami hal yang sama. Jika menemukan beberapa pertanyaan dan rasanya ingin
menjawab, dipersilahkan di kolom komentar dan tuliskan nama ya.
#1 Tak Kenal Maka Tak Sayang
Sebelumnya, izinkan
saya perkenalkan diri dulu agar yang selama ini hanya berteman sebatas dunia
maya bisa kenalan secara tidak langsung. Saya Thella, perempuan berusia 27
tahun yang menamatkan studi MA jurusan Policy into Practice di University of Birmingham, Inggris dengan dibiayai oleh beasiswa
LPDP, tahun lalu. Tesis saya mengambil topik ‘Ensuring Employment for Persons with
Disabilities in Indonesia’. Jangan bandingkan dengan tulisan para aktivis
disabilitas yang sudah belasan atau bahkan puluhan tahun konsen di isu ini.
Jelas, ilmu saya masih cetek. Makanya saat itu, saya senang sekali bisa dapat
dosen pembimbing yang memang sudah cukup lama meneliti tentang disabilitas.
Sekembalinya ke tanah air, saya bekerja di sebuah kementerian menangani isu
disabilitas.
“Kenapa tertarik
isu disabilitas?” Katanya, orang yang konsen dengan isu ini umumnya berangkat
dari pengalaman pribadi, kalau tidak berarti disabilitas hanyalah opini atau
perspektif. Saya non-disabilitas, keluarga saya pun non-disabilitas, beberapa
sahabat karib saya non-disabilitas, pasangan saya non-disabilitas dan tetangga
kiri-kanan rumah saya juga non-disabilitas. Nah lho? Ketertarikan saya pada isu
disabilitas berawal saat tahun 2013 saya ikut program Indonesia Mengajar dan
ditugaskan selama setahun di Desa Adodo Molu, Maluku Tenggara Barat. Silahkan
googling kalau kalian ingin tahu desanya ada di mana. Saya memilih menjadi Wali
Kelas I SD karena di desa saya ada anak SMA yang belum bisa membaca. Sehingga
saya putuskan untuk membenahi calistung dari kelas bawah. Diantara 30 murid di
kelas, ternyata ada 3 Anak Berkebutuhan Khusus dengan ragam disabilitas yang
berbeda. Saya bukan berasal dari Pendidikan Luar Biasa dan sekolah di sudut
republik seperti itu tidak memiliki Guru Pendamping Khusus (GPK). Ketiga murid
saya punya kebutuhan yang berbeda, tentu perlakuan yang diberikan pun berbeda.
Dan selama setahun saya berinteraksi dengan mereka, saya juga berusaha, dengan
kemampuan saya yang terbatas, untuk memberikan pemahaman kepada orang tua mereka tentang penerimaan dan potensi. Pengalaman berineraksi dengan disabilitas juga berlanjut saat saya kuliah di Birmingham. Keseringan tidur di perpustakaan karena mengerjakan tesis, saya terinspirasi dengan dua petugas perpustakaan yang memiliki disabilitas tapi semangat sekali bekerja shift malam. Dan menjelang kepulangan saya ke Indonesia tahun lalu, seorang adik kelas yang kerap curhat dengan saya memberitahukan bahwa ia ternyata bipolar. Jadi, sekalipun saya non-disabilitas, saya kerap dipertemukan dengan teman-teman penyandang disabilitas dan saya belajar banyak dari tiap interaksi.
#2 Makna Di Balik
Sabtu siang,
perbincangan di grup WA yang berisi para aktivis senior disabilitas cukup
aktif. Awalnya saya masuk grup WA tersebut karena saya menjadi relawan
fotografer pada acara ulang tahun sebuah komunitas, yang sudah punya rekam
jejak untuk advokasi aksesibilitas layanan publik bagi penyandang disabilitas.
Bagi saya, diskusi di grup WA ini adalah sarana belajar dari para ahli yang
saya anggap mentor. Saya keseringan menjadi pengamat, belajar hal baru dari
perbincangan mereka, dan hanya berkomentar untuk hal yang saya anggap bisa
nimbrung. Saya kutip beberapa percakapan yang terkait dengan judul tulisan ini:
“Kita harus
berhati-hati, jangan sampai kita melakukan kapitalisasi isu disabilitas untuk
kepentingan pribadi”
“Kalau orang
yang non-disabilitas atau tidak punya keluarga disabilitas tapi concern untuk
isu disabilitas, gak serta merta dilabeli kapitalisasi isu untuk kepentingan
pribadi kan? Saya setuju sama ‘nothing about us without us’ jadi sekalipun saya
belajar ilmunya, saya tetap harus berguru kepada penyandang disabilitas agar
punya konteks yang utuh”, sahut saya.
“Nggak Mbak asal
tulus dan benar-benar bekerja, bukan demi cita-cita ketenaran”
“Tenang Bu
Thella, Tuhan maha tahu. Oiya, semoga sukses belajar disabilitasnya di Italia
ya. Sungguh serius belajarnya. https://kitabisa.com/thellauntukdifabel
bagi teman-teman yang ingin membantu ketulusan ibu thella, sumonggo.”
(1) Dari percakapan di atas, menurut kalian apakah yang sedang terjadi?
Awalnya saya
berpikir pernyataan di atas adalah bentuk refleksi ‘kita’ bersama dan kata-kata
suportif kepada saya. Ternyata saya terlalu naif sampai tidak sadar kalau lagi
disindir. Hal ini terbukti setelah ada yang lantar men-japri foto screenshoot campaign saya di
kitabisa.com yang sempat di repost oleh salah seorang aktor terkenal di
instastory nya.
"Ini Mbak, yang
aku maksud kapitalisasi isu disabilitas (emoticon smile)”
“Oalah jadi saya
dinilai kapitalisasi Mas?"
"Saya difabel
dan 24 tahun bergerak di isu disabilitas tidak berani menggalang bantuan dengan
atas nama disabilitas (emoticon smile)”
“Nanti kalau ada
kesempatan bertemu langsung saya jelaskan ya Mas. Tapi kalau ingin tahu output
pelatihan ini bisa buka langsung website ITCILO. Mudah-mudahan hati kita cukup
bisa menilai maksud baik”
“Ini bukan soal
output nya Mbak, tapi soal cara Mbak Tella pergi kesana. Jaman sekarang banyak
sekali maksud baik tapi dilakukan dengan cara keliru.”
“Mas, platform
kitabisa itu crowdfunding untuk segala isu. Dan kalau Mas buka, mereka bahkan
menyediakan topik ‘difabel’ karena banyak sebelum saya yang sudah menggunakan
cara yang sama”
“Saya tahu, akan lebih baik dan keren jika yang
berangkat itu teman difabel dan sampeyan bantu carikan dana. Ya saya sekedar
kasih masukan sih Mbak, sebelum sampeyan diprotes teman-teman (emoticon
smile).”
(2) Dari percakapan di atas, yang sesungguhnya jadi persoalan adalah
cara galang dana saya atau siapa yang layak berangkat?
Pertama, menyadari ilmu
saya yang masih cetek dibanding para senior, ketika menemukan informasi
‘Disability Equality Training’ dari ILO saya merasa ini bisa jadi pembelajaran
bagus dan in line dengan tesis saya. Saya konsultasi dengan atasan dan beliau
mendukung, bahkan berbaik hati mencarikan sponsor untuk membiayai tuition fee
pelatihan saya. Saya berangkat ke Italy bukan dengan dengan privilege, saya
ikut seleksi karena ITCILO hanya menyediakan 13 kursi dengan pendaftar yang
terbuka dari seluruh dunia. Seandainya saja mau coba membuka situs ITCILO dulu,
mungkin Mas di atas bisa lihat persyaratan peserta dan aksesibilitas pelatihannya
nanti seperti apa. Silahkan buka link nya dan cermati:
Kedua, kalaulah saya
dinilai menyalahi etika disabilitas, mari kita buka sejenak link ini https://kitabisa.com/ayoekspedisidifabel
. Saya bukan orang pertama yang menggunakan campaign difabel, bahkan yang
men-japri saya tercatat sebagai donatur di campaign tersebut sejak 2 tahun
lalu. Kalau masih kurang contoh, saya berikan beberapa tambahan lagi agar bisa
dilihat https://kitabisa.com/ultahaulion https://kitabisa.com/suryadukunganaktuli https://kitabisa.com/bersamadifabel
https://kitabisa.com/hidupbersosial
. Apakah mereka juga dinilai kapitalis isu disabilitas, atau hanya saya saja?
Saya paham, bedanya mereka menggalang dana yang akan diberikan langsung kepada
penyandang disabilitas, sementara saya menggalang dana agar saya bisa berangkat
pelatihan ke Italia. Tapi kalaulah hati kita tak terlalu kering untuk menilai,
output pelatihan ini adalah siapapun yang menjadi fasilitator mampu memantik
kesetaraan penyandang disabilitas di sektor pekerjaan. Kemarin saya melihat salah satu postingan teman Tuli di media sosial kalau hampir tiap hari ia ditanyai soal bagaimana bisa memperoleh pekerjaan. Hari ini, saya dan
Setber RANHAM berdiskusi memasukkan akses pekerjaan bagi penyandang disabilitas
sebagai sasaran untuk RANHAM 2020-2024 karena ini termasuk dalam Human Rights
Development Index. Ini bukan soal siapa yang ikut pelatihan tapi substansi pelatihan yang berdampak panjang. Dan kalau merasa kritiknya adalah representasi
kolektif dari seluruh penyandang disabilitas, Anda salah. Silahkan lihat di
link campaign saya ada berapa penyandang disabilitas yang turut berdonasi dan
baca baik-baik pesan mereka.
Ketiga, soal foto yang
saya pajang. Tiga orang sudah men-japri saya menanyakan kenapa saya memilih
foto itu. Satu orang mengerti setelah kemarin malam saya jelaskan, bahkan
meminta maaf sudah salah paham. Satu orang tanpa basa-basi langsung bertanya
mengapa fotonya dipajang tanpa pemberitahuan. Satu orang lainnya berkata,
“Saya kontak
karena tadi dijapri sama teman yang komplain. Terus jadinya minta pendapat
teman-teman di sini. Nah, kami sepakat kalau tidak masalah foto dipakai toh
tujuannya baik. Sekolah untuk lebih paham isu, jadi bisa bantu kita lebih
banyak. Sebetulnya kami justru terinspirasi dengan metode penggalangan dana
yang belum terpikir oleh kami, ke depan mungkin itu sangat membantu. Tetap
semangat Mba, semoga lancar di sana.”
Foto yang saya
pampang di laman campaign bukanlah foto orang yang asal comot di internet. Itu
foto lokakarya di Jogja saat saya menjadi narasumber, ada wajah saya di situ. Foto-foto lainnya juga berupa foto kegiatan saat rapat, foto yang justru menjelaskan
bahwa deskripsi di campaign soal pekerjaan saya di isu disabilitas bukanlah
karangan belaka. Terkecuali saya pasang foto yang memunculkan iba bersama
anak-anak kanker atau malah absurd pajang foto lagi liburan, baru itu aneh. Kalau diantara teman-teman ada yang merasa tidak rela ada wajahnya di foto yang dipublikasikan, saya mohon maaf. Saya
sengaja tulis lengkap deskripsi campaign saya, siapapun bebas kepo media sosial
saya bahkan saya cantumkan nomor WA supaya semuanya jelas, bukan cuma memajang foto disabilitas lalu berharap kasihan dari orang. Janganlah terlalu picik
dengan menghasut orang lain bahwa foto kedisabilitasan adalah alasan utama
donasi terkumpul, tandanya menafikkan niat baik dari 114 tangan yang
berdonasi.
Saya memang belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan para ahli. Tapi saya tidak habis pikir
kalau ada yang rela menghabiskan waktu dan energinya untuk menjapri temannya
yang lain, seolah ingin membangun opini yang sama tentang seseorang, bahkan
yang belum kenal. Kalaulah tidak suka dengan cara seseorang, hubungi langsung
dan tunjukkan kekeliruannya. Tapi kalau kita tak mampu menunjukkan kekeliruan
tersebut, tanya hati kita apakah ini sekedar karena ketidaksenangan pribadi,
apa sebabnya? Sekiranya nyinyir di balik emoticon smile dan doa yang menyindir
bisa menambah sehasta dari usia kita, pertahankanlah. Tapi kalau tidak, berubahlah,
jangan sampai hal itu menggerogoti ibadah kita.
Sebagai penutup, saya mengutip perkataan dari dua orang yang saya anggap sebagai mentor saya. Seorang rekan penyandang disabilitas yang membesarkan sebuah organisasi berkata, "Mungkin yang perlu diantisipasi adalah walaupun sudah dijelaskan panjang lebar, beberapa pihak tetap tidak bisa terima. Tetapi mungkin suatu saat mereka akan memahami, keep fighting!" Dan pasangan saya berkata, "Selalu berbuat dengan hati, bantu yang mau dibantu, kalau gak mau ya jangan kamu paksa. Apapun yang terjadi, berangkatlah! Jangan kecewakan tangan-tangan yang sudah mendukungmu, pulang nanti berbuatlah lebih banyak." Terima kasih untuk yang masih percaya niat baik, mohon kita saling mengingatkan agar tetap amanah. Tetap semangat untuk yang sedang berjuang, karena kalau kita bersama akan terasa lebih ringan. Kiranya Tuhan menyertai tiap langkah kita.
Jakarta, 10 Juli 2018.