Natal untuk Siapa?

Leave a Comment
Natal identik dengan pulang kampung, kumpul bersama keluarga, menghias rumah dengan pohon dan perkakas Natal, tukar kado, dandan sebelum ke gereja dengan baju baru dan makan bersama sepulang gereja. Kalau dipikir-pikir kita sesibuk itu mempersiapkan Natal ya. Buat siapa? Diri kita sendiri, keluarga, kerabat atau sesungguhnya buat Juruselamat yang lahir ke dunia? Kalau dipikir lagi, sebenarnya siapa yang berulang tahun, siapa pula yang berharap mendapat dan harusnya memberi kado? Kita tentu tahu jawabannya, tapi sekedar tahu saja tidak cukup.

Jika hal di atas merupakan standar baku Natal, maka bisa kubilang Natalku tak pernah memenuhi standar. Terakhir kali aku merayakan Natal dengan keluarga utuh adalah saat usiaku belum genap setahun. Setelah itu Papa merantau ke Amerika dan selama belasan tahun kami terpisah, aku hanya merayakan Natal dengan Mama. Sehari sebelum ulang tahunku yang ke-17, yang 'harusnya' sweet seventeen, aku harus berlapang dada menerima kenyataan bahwa kedua orangtuaku memutuskan bercerai. Tak terasa sudah 10 tahun hingga detik ini aku merayakan Natal dengan berbagai kondisi. Kadang berkumpul bersama keluarga Mama, kadang harus adil bersama keluarga Papa, kadang seorang diri. Teringat 2013 aku memilih merayakan Natal di sebuah desa kecil di ujung utara kepulauan Tanimbar, Maluku, tempatku bertugas kala itu. 2015 dan 2016 aku merayakan Natal di Inggris saat menyelesaikan studi S2. Tahun lalu aku merayakan Natal bersama keluarga Mama di Pekanbaru, maka tahun ini aku harus adil merayakannya di Jakarta bersama Papa.

Pagi tadi aku dan Papa hanya berdoa berdua di rumah, doa syafaat saling bergantian. Papa tidak ke gereja karena ia takut batuknya mengganggu kekhusyukan ibadah. Jadi, semalam dan hari ini aku bergereja sendiri. "Gak sedih Thel, ke gereja sendiri?" layaknya pertanyaan rutin bagiku tiap bertemu kerabat di gereja. Jika menggunakan standar Natal duniawi di atas, tentu jawabannya 'sangat sedih'. Bahkan mungkin sebagian orang memilih untuk tidak ke gereja karena malu atau takut ditanya mengapa ia hanya sendiri. Lalu, apa sesungguhnya esensi Natal kalau kita masih sibuk memikirkan diri sendiri dan pendapat orang lain? Banyaknya ucapan Natal yang kita terima di media sosial membuat kita merasa ada yang kurang jika merayakan Natal tanpa unggahan foto bersama keluarga. Bagiku, hal tersedih adalah ketika kita larut dalam suasana pesta, namun lupa siapa yang menjadi pusat pesta. Jadi, selama aku masih bisa merasakan damai Natal dalam hatiku, tak ada alasan untuk bersedih. Bagi kamu pun yang mengalaminya, jangan bersedih. Dialah alasan utama Natal, yang lain hanya pelengkap.

Natal seharusnya waktu di mana kita menyiapkan hati untuk menyambut dan merasakan kasih dan damai dari kelahiran Yesus. Dia yang berulang tahun, maka harusnya kita bertanya "Kado terbaik apa yang bisa kuberikan?" bukan sebaliknya. Dia yang kita sambut, bukan pasangan kita. Tak perlu galau menyanyikan 'All I want for Christmas, Blue Christmas atau Miss You Most' kala merayakan Natal. Senandungkanlah lagu sukacita menyambut-Nya, berpestalah untuk Dia dan bukalah hati kita selebar mungkin menerima-Nya. Dan yang terpenting, Natal tak sebatas tanggal 25 Desember. Esok dan seterusnya adalah waktu bagi kita mengimani makna kelahiran-Nya. Sudahkah kita siap?


Sembari menunggu ibadah jam 5 sore,
Kopi Sana, 25 Desember 2018, 15.15 WIB.
Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar