Terima, Cintai dan Percaya

Leave a Comment
Cerita ini kutulis dalam perjalanan Doha-Jakarta kala berdamai dengan turbulensi sembari ditemani secangkir kopi Baileys. Entah sudah berapa film kutonton demi mengusir bosan di atas pesawat, tapi kurasa bukan kebetulan aku menemukan film ini. Aku yang tak pernah suka film Korea, tiba-tiba terpaku saat melihat film The Preparation. Saat kubaca sinopsisnya, film ini bercerita tentang seorang lelaki berusia 30 tahun yang mengalami disabilitas intelektual. Ia bernama In-Gyu dan tinggal berdua bersama Ibunya, yang sangat menjaga dan memanjakan dia. Setiap pagi, In-Gyu selalu berteriak, “Ibu, bangun! In-Gyu lapar. Makanan…makanan”. Selesai makan, biasanya mereka berdua bergegas ke toko pinggir jalan yang merupakan usaha keseharian Ibu In-Gyu. Hari itu, Ibu mengalami tremor saat melayani pembeli. Sudah bertahun ia begitu, namun tak pernah berniat memeriksakannya ke dokter, hanya mengandalkan obat dari apotek. Saat di apotek, Ibu bertemu dengan Direktur Park, yang bekerja di Dinas Sosial. Dia memberikan brosur ‘Job Fair for Handicapped’ dan berharap Ibu bisa mendaftarkan In-Gyu. Tapi kelihatannya, Ibu tidak percaya dengan kemampuan In-Gyu untuk bekerja, karena untuk mengurus diri sendiri saja tidak bisa. Namun, Park berusaha menolong dengan memberikan referensi Pusat Pelatihan Disabilitas. Ibu pun mau mencoba. Sayangnya, tempat yang direkomendasikan sudah penuh dan saat mencoba ke tempat lain, Ibu malah melihat kondisi panti rehabilitasi yang memprihatinkan. Akhirnya, Ibu memutuskan untuk mengajari In-Gyu sendiri, dengan amat sabar. Singkat cerita, In-Gyu pun mulai mandiri dan diterima bekerja di toko kue. Ini bukan akhir cerita, kalau kalian penasaran silahkan tonton sendiri. Sepanjang film, aku tersenyum, kadang bertepuk tangan dan menangis. Bagiku, film ini memberikan banyak sekali pembelajaran.

Pertama, tahukah apa sumber kekuatan utama bagi anak dengan disabilitas? Penerimaan keluarga. Di film ini, Ibu pernah salah berucap “idiot” saat In-Gyu masih kecil dan itu tertanam terus di dalam benaknya sampai berumur 30 tahun. In-Gyu mengira semua orang membencinya, termasuk Ibunya, karena itu ia sering bertindak agresif kepada semua orang. Tapi lewat pembicaraan dari hati ke hati, Ibu menjelaskan kalau ia salah saat itu dan sama sekali tidak membenci In-Gyu. Sejak saat itu, In-Gyu berubah menjadi lebih ramah terhadap orang lain. Anak itu anugerah, apapun kondisinya. Saat kita menerima anak dengan disabilitas, di situlah dia pun mulai menerima kalau dirinya berbeda dengan orang lain, tapi perbedaan itu bukanlah masalah. Coba tanya diri kita, apakah dengan berkata, “Anak saya sama dengan anak orang lain” adalah bentuk penerimaan atau menyembunyikan penolakan? Kalau berbeda, memangnya mengapa? Tak perlu menyamaratakan, karena pada kenyataannya kebutuhan anak kita berbeda. Maka usaha kita pun perlu berbeda. Mari kita belajar untuk menerima dengan tulus hati.

Kedua, dalam film ini In-Gyu sering bernyanyi saat Ibunya sedang merasa letih. Lirik lagunya tentang ‘love is unconditional’. Anak dengan disabilitas intelektual punya keunikan dalam mengekspresikan rasa sayangnya. Tapi ketahuilah bahwa hati mereka lebih besar dalam menyayangi, bukan hanya untuk keluarga tapi juga untuk pertemanan. Cinta seorang Ibu adalah semangat bagi anak dengan disabilitas untuk menjalani hari-harinya. Bukan balai pelatihan yang membuat In-Gyun berkembang, tapi kesabaran Ibu untuk mengajarinya. Meskipun ini film, bukan berarti In-Gyu bisa mandiri dalam sekali pengajaran. Dia berulang kali gagal bahkan keras kepala menolak apa yang diajarkan Ibunya. Tapi, cinta seorang Ibu adalah cinta yang tak mudah menyerah dan cinta itu terasa oleh In-Gyu, maka perlahan dia pun belajar.

Ketiga, hambatan utama bagi tumbuh-kembang anak dengan disabilitas adalah ketidakpercayaan keluarga pada kemampuannya. Seringkali, tanpa sadar, kita sebagai orang terdekat mereka malah justru meragukan kemampuannya. Atau sebaliknya, kita memaksakan ego kita agar dia sama dengan anak lain, tanpa melihat apa talentanya. Melarangnya keluar rumah atau memasukkannya ke sekolah reguler ‘tanpa persiapan’ adalah sama buruknya. Percayalah ia mampu berbaur dengan komunitas, tapi jangan lupa mengajarkannya cara berinteraksi. Percayalah ia mampu masuk ke sekolah reguler, tapi berikan pengertian apa tantangan yang akan dia hadapi. Percayalah ia mampu bekerja, tapi berusahalah mengembangkan bakatnya. Jangan paksakan apa yang ia tidak sukai hanya karena anak-anak lain melakukannya. 

Setelah membaca ini, mungkin diantara kita ada yang bergumam, “Menulis sih gampang. Anda tidak akan pernah tahu sampai Anda yang menjadi orangtuanya.” Jika Anda merasa bahwa pengalaman adalah kunci utama memahami disabilitas, maka ijinkanlah orang lain belajar dari pengalaman Anda. Agar sekalipun tidak memiliki anak dengan disabilitas, semua orang tua mampu mengajarkan kepada anak-anaknya tentang saling menghargai keragaman dan potensi. Sudahkah kita melakukannya?


Di atas awan, 24 Juli 2018.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar