Anomali

Leave a Comment
Perfeksionis, kata orang-orang aku begitu. Selalu banyak pemikiran dan pertimbangan sebelum mengambil keputusan. Tak hanya dalam akademis, pekerjaan atau membeli barang, yang kerap menjadi saran adalah bagaimana perfeksionisnya aku memilih pasangan. Hampir menjadi suatu kewajaran jika masa pendekatan denganku itu tergolong lama, bahkan lucunya ada kisah dimana waktu pacaran lebih singkat dari waktu perjuangan. Yah, semua orang berharap hubungan serius, siapa juga yang mau putus? Tapi agaknya aku terlalu banyak menggunakan logika daripada hatiku selama ini. Aku mendapatkan pasangan dengan kriteria mumpuni tetapi justru lupa pondasi yang terpenting dari sebuah komitmen: kenyamanan dan kepercayaan. Dan jika kau ibaratkan membangun sebuah hubungan layaknya membangun rumah, tanpa pondasi yang kuat, angin pun bisa meruntuhkannya.

Ohya, satu lagi. Aku percaya bahwa aku bukan satu-satunya perempuan yang peka terhadap maksud lawan jenis yang memulai sebuah obrolan. Bahkan aku bisa mengklaim bahwa salah satu talentaku adalah aku bisa (sedikit-banyak) 'membaca' orang. Bertahun-tahun belum pernah salah menerka, baru kali ini ibaratnya aku kecolongan. Namun, hal ini justru mengajariku bahwa hal-hal di luar prediksi adalah kejutan kecil dari perjalanan hidup.

Seseorang, tanpa kusadari mulai menyemai rasa nyaman dalam setiap obrolan berujung tawa. Seseorang, yang saking sering beradu gombal, bahkan terkadang gombalanku jauh lebih manis darinya, diam-diam mencari celah keseriusan. Seseorang, yang tidak intens berinteraksi namun berusaha mengenalku dalam setiap kesempatan untuk berbagi cerita. Semuanya berlangsung tanpa sadar, hanya berbingkai pertemanan. Bahkan, lebih banyak temanku lawan jenis yang berkomunikasi intens denganku dibanding pria ini. Tapi, sebuah lagu MYMP mengingatkanku pada frase 'Love Moves in Mysterious Ways', terutama di lirik awalnya, 'who'd have thought this is how the pieces fit'.

Itulah mengapa saat ia menanyakan kesedianku untuk berjalan bersama, aku hanya tertawa seolah paham kalau itu hanya jebakan gombalannya. Tapi saat itu raut wajahnya menyatakan kalau ia serius! Dan bagiku, momen seperti ini menegangkan, karena jujur aku tidak pernah berekspektasi apapun. Aku hanya bisa menjawabnya dengan pertanyaan, 'Memang sudah seyakin itu denganku? Kan kita baru kembali berkomunikasi sebentar.' 

Kami memang sudah kenal sejak tahun 2011, namun saat itu kondisinya berbeda. Tahun 2015 sempat berkomunikasi kembali, namun sebatas karena ia ingin meng-endorse aku dengan kain Batik Bataknya. Setelah itu aku berangkat ke Inggris untuk melanjutkan S2. April 2017 pertama kali chat di Whatsapp, itu pun karena aku pesan dua tas Ulos darinya sebagai hadiah perpisahan Pembimbing Disertasi dan Direktur Programku. Mei-Juni, sama sekali tidak ada interaksi. 

Bulan Juli, aku kembali menghubunginya hanya untuk memberikan foto wisudaku bersama kedua dosen yang memegang tas Ulos produksinya. Lagi-lagi sebatas endorse, namun kali ini diselipkan pertanyaan kapan aku pulang ke Indonesia. Ah, itu pun sama sekali tidak membuatku geer karena ia hanya ingin menraktirku di lapo sebagai rasa terima kasihnya telah mempromosikan produknya hingga ke Inggris, pikirku demikian. Selama bulan Agustus hingga awal Oktober pun, bisa dihitung jari berapa kali kami bertemu, karena dia di Bandung dan aku di Jakarta. Bagaimana bisa kukatakan ini sebuah usaha mendekati?

Pertengahan Oktober apa yang tak pernah kuprediksikan terjadi. Kalau ditanya apa pertimbanganku mengatakan 'Ya' pada ajakannya, aku pun tak bisa menjawab. Tapi satu hal yang tanpa sadar sudah terbangun diantara kami adalah kenyamanan. Entah dalam obrolan tidak penting sampai topik yang lumayan berat. Yang kedua yang kutanyakan padanya saat itu adalah soal karakterku yang sangat sosial, baik dalam pekerjaan yang menyangkut banyak orang maupun pertemanan. Alasanku bertanya karena tidak semua pria mampu (atau mau) memahami 'duniaku', bahkan mungkin ini alasan mengapa hubunganku terdahulu kandas. Kepercayaan menjadi poin penting saat kita tak bisa membatasi ruang interaksi pasangan kita. Dan mungkin baru dia satu-satunya pria yang tidak mempermasalahkan cemburu. Lalu, apa alasanku untuk berkata 'Tidak'?


Beberapa mungkin merasa lebih lama mengenalku, merasa lebih tampan dan cerdas atau merasa lebih 'berjuang' mendapatkanku, tapi mereka tak mampu menawarkan kenyamanan dan kepercayaan yang sama. Ohya, kalau kata orang 'ikuti kata hatimu', rasanya baru kali ini aku melakukannya! Biasanya aku selalu mengandalkan logika dan mempertimbangkan banyak hal. Tapi kali ini, dia anomaliku.


Jakarta, 30 Oktober 2017 pukul 02.52 WIB.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar