Merajut Mimpi Jelin

Leave a Comment


Setiap guru, pasti punya seorang murid yang menjadi ‘anak emasnya’.  Murid yang menjadi sumber motivasinya, yang berani mencoba hal baru, dan kadang membuatmu tertegun. Apa mungkin ada anak seperti itu di desa terpencil begini? Di sekolah yang gurunya selain kurang juga jarang masuk, yang anak-anaknya sebagian besar belum bisa membaca, logisku sempat meragukan adanya anak yang seperti itu.  Tapi kehadiran Jelin membantah semua prasangka. Bocah perempuan paling mungil di kelas ini punya latar belakang mengharukan. Sedari bayi, ia diasuh oleh mamatua nya karena orang tuanya bercerai lalu meninggalkan Jelin bersama seorang kakaknya dan dua orang adiknya di Adodo. Mama Jelin yang berasal dari Ilngei sekarang sudah menikah lagi di Ambon, sementara bapaknya bekerja di Irian. Jelin hanya satu kali bicara via telepon dengan mamanya dan belum pernah tatap muka sekalipun. Sering dalam hati saya menggumam, “Kok tega ya seorang Ibu meninggalkan anak yang cerdas, cantik, dan baik hati ini?”. Sebanyak pertanyaan itu berputar di kepala saya, sebanyak itu pula mungkin Jelin bertanya “Mama mana?”. 

Namun, di satu kesempatan, sore-sore saat Jelin dan Mei, kakaknya yang duduk di kelas III bermain, tetangga saya bertanya, “Jelin deng Mei seng rindu Mama?” (Jelin dan Mei tidak rindu Mama?). Pertanyaan yang tepat sasaran menghujam hati kakak beradik ini, di luar dugaan direspon dengan sangat tegar, “Mama deng bapa su baku cere, katong mama su kaweng kombali. Bapa ada pi kerja ke Papua sana tapi jaga telepon katong” (Mama dan bapak sudah bercerai, mama kami sudah menikah lagi. Bapak sedang kerja di Papua tapi sering telepon kami). Separuh salut tapi juga miris menyaksikan anak sekecil itu sudah kehilangan kehangatan kasih sayang orang tua dan terpaksa berpikir dewasa sebelum waktunya. Namun, saya meyakini bahwa jalan hidup kita dilukiskan dengan tinta bermakna oleh Sang Kuasa, begitu pun untuk Jelin.

Awal masuk sekolah, saya masih ingat betul anak ini datang dengan seragam yang kedodoran, rok sampai mata kaki, dan kancing baju yang banyak lepas bahkan nyaris terbuka. Sepatunya pun diseret karena kebesaran dan sudah robek, mukanya kumal dan rambutnya terurai kering. Kalau saya bertanya, ’Siapa yang tidak mandi hari ini?’, si kecil ini dengan polosnya mengangkat tangan. Pernah juga siswaku yang lain melapor, “Ibu, Jelin pake celana tidur dobel rok!”. Saat saya bertanya, Jelin mengaku kalau dia tidak punya celana lagi karena semuanya dicuci. Meskipun dirawat oleh keluarga dekatnya, jujur anak ini terlihat sangat tidak terawat. Seringkali ketika saya memberikan kesempatan bagi anak-anakku kelas I untuk menghabiskan makanan mereka sebelum masuk kelas, tatapan Jelin setengah nanar. Namun, berbeda dengan siswa yang lain yang langsung menengadahkan tangan, Jelin hanya diam sampai akhirnya saya menyuruh anak-anak perhatikan teman samping yang tidak bawa sarapan. Di kelas, saya melihat anak ini tekun dan cepat dalam menangkap materi. Hanya saja dia cenderung pemalu, belum berani banyak berbicara denganku. Senyumnya juga masih datar, tak selepas anak-anak lain. Bulan kedua, saya yang sudah tak tahan melihatnya memakai seragam lusuh itu, membelikan Jelin seragam lengkap. Jam istirahat, saya memintanya ke kantor guru, mengganti bajunya, membersihkan mukanya, dan menyisir rambutnya. Sejak saat itu, dia mulai tak canggung denganku dan semakin aktif di kelas. Dia juga sering belajar sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Bahagia rasanya melihat Jelin yang sudah bisa tertawa lepas.

“Jelin ikut Ibu Thella pi Jawa , mau? Nanti kalo libur, la katong pi Adodo lai toh...”, untuk kesekian kalinya kulontarkan bujukan itu. Pertama kali saya beranikan diri bertanya di dalam kelas saat jam istirahat, Jelin menggeleng. Kedua kali, yang bertanya adalah pamannya Jelin tapi ia menjawab tidak mau. Sempat kutunjukkan foto Nindy, muridnya Dedi, PM II Wadankou, yang sekarang bersekolah di Malang. Saya jelaskan bagaimana enaknya sekolah di Jawa dan sesekali saya lirik Jelin yang sudah menunjukkan raut muka berbeda. Namun, malam itu, saat saya bertanya, Jelin tak langsung menolak seperti biasanya. Ia terlebih dahulu melihat ke arah mamatuanya barulah ia menggeleng. Dari situ barulah saya tersadar kalau sebenarnya anak ini mau tapi takut kepada mamatuanya. Padahal niat saya tak main-main, saya nekat ingin memboyong si kecil ke Jawa. Soal biaya, saya hanya yakin kalau niat baik dan tulus pasti akan diberikan jalan oleh-Nya, saya percaya banyak yang terpanggil untuk membantu. Tapi sepertinya mamatua yang keberatan menyerahkan anak yang selama ini membantu mereka berjualan hasil kebun dan kue. Sedari TK, Jelin memang rajin membantu mamatua dan neneknya berjualan. Mungkin itu pula alasan kuat mengapa ia sering ke sekolah tidak mandi, antara terlalu sibuk jualan kue dan keripik di pagi hari taau malamnya tidur di rumah kebun yang jauh di atas bukit. Omongan yang beredar di kalangan tetangga, konon Jelin sering dipukuli kalau jualannya tidak laku. Padahal mamatua punya anak perempuan yang sudah SMP bernama Oka, namun mengapa harus anak sekecil itu yang dibebani? Hati siapa yang tak terenyuh?

Malam saat saya menginap di rumahnya, kami belajar cukup cepat karena Jelin memang sudah lancar hitung dan eja. Sehabis makan jagung rebus hasil panen dari kebunnya, saya menyuruh Jelin dan Oka, tidur duluan sementara aku masih sibuk mencoreti buku diaryku. Ketika Jelin sudah terlelap, sesekali kupandangi anak itu lekat-lekat. Wajah mungilnya yang dibasahi keringat terlihat amat polos dan damai. Terlintas selorohan rekan guru dan orang tua murid, “Kalau Ibu Thella jadi bawa Jelin pi Jawa dan dirawat, pasti orang kira Jelin itu adik gandong. Barang muka mirip dan kulit sama bersih”. Jelin memang layak mendapatkan kasih sayang lebih, dia juga layak menikmati masa kecilnya dengan bermain. Sekarang menjelang akhir masa tugasku, Jelin makin menunjukkan progres berarti yang membuatku semakin berat meninggalkannya. Saat ulangan PKn, aku menyuruh salah satu anakku, Alya, membaca soal. “A..ga..ma...”, ejanya. Tapi ada satu suara yang menimpali, “A..gama..di In..do..nesia..ada..”. Saya tertegun sejenak sambil mencari sumber suara. Ternyata itu Jelin! Mulai dari hari itu, Jelin menjadi Ibu Guru Kecil yang mengajari teman-temannya membaca. Bahkan sebelum saya mengajarkan kata-kata sulit dengan konsonan berdempet, seperti: ‘trampolin, blusukan, glondongan’, Jelin sudah bisa sendiri.

Sederet pertanyaan muncul dengan segala ketidakpastian. Apakah nanti setelah lulus SD, keluarganya mampu melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi? Apakah Jelin bisa menerobos kerangkeng ketertinggalan yang mengurung masyarakat desa ini selama bertahun-tahun? Apakah ia bisa menjejakkan kaki di kota-kota besar, mengasah otak emasnya dengan sederet fasilitas yang ada di pusat-pusat kemodernan? Saya mencoba menggoreskan jawabannya sendiri, meskipun hingga saat ini saya masih bergumul dengan jawaban dari keluarganya Jelin. Saya berharap, setelah Tuhan memberikan kepadanya bakat dan kecerdasan yang begitu besar, salah satu dari kita bisa memberinya apa yang selama ini belum ia miliki: kesempatan. Dengan segala hormat, bantulah saya merajut mimpi seorang anak dari sudut republik, seorang anak yang kita kasihi sekaligus menjadi kebanggaan kita bersama.

Untuk Jelin, murid Ibu Kece yang cabe rawit, terimakasih sudah mengajari Ibu berbuat dengan hati. Tetap semangat sekolah, Nak! Masa depanmu sungguh ada dan bahagia menunggumu.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar