Indonesia Baru bukan berbicara soal Kabinet Baru namun tindakan baru untuk mengubah wajah pemerintahan sekaligus nasib persoalan yang belum terselesaikan. Kehadiran Menkumham yang baru adalah salah satu yang terpenting mengingat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di negeri ini terlanjur minim. Bukan berarti selama ini Kemenkumham tidak berbenah. Banyak hukum yang sudah direvisi agar pijakannya lebih jelas dan menjamin perlindungan, namun lagi-lagi masalahnya pada implementasi dan eksekusi. Kurang lebih itulah yang dapat disimpulkan dari case conference di Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) yang dilakukan secara berkala. Namun perlu digarisbawahi, spirit dari setiap keluhan janganlah dipandang sebagai upaya mendiskreditkan namun sebagai dorongan agar aparat bekerja lebih baik lagi.
MAJU SETENGAH, MUNDUR SELANGKAH
Pembentukan unit
PPA di Polres seperti angin segar bagi para orang tua korban kekerasan.
Akhirnya mereka tidak perlu bingung kemana harus melapor karena sudah ada unit
khusus yang menangani. Unit ini terbilang unik karena yang ditangani adalah
masalah Perempuan dan Anak, yang secara psikologis lebih rentan. Karena itulah,
pemilihan aparat yang ditempatkan di unit ini setidaknya perlu memiliki latar belakang
psikologi dan paham betul isi dari UU Perlindungan Anak. Jikalau pun kekurangan
personil, setidaknya ada pelatihan dari expert
agar aparat unit PPA punya pedoman khusus dalam menindaklanjuti kasus.
Misalnya, saat ada laporan tentang kasus kekerasan seksual yang dialami oleh
anak yang belum bersekolah. Aparat unit PPA seyogyanya tahu bahwa BAP tidak
boleh dilakukan secara terbuka dimana banyak orang lain di sekitar korban. Jelas,
mengorek keterangan dari anak caranya berbeda dan lebih sulit dibanding dari
orang dewasa.
RUU Perubahan
atas UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang baru-baru ini disahkan
juga memberikan harapan baru tegaknya keadilan bagi korban. Sederetan
pasal-pasal ditambahkan dengan tujuan UU dapat berfungsi komprehensif. Akan
tetapi, UU tersebut masih kurang ‘menggigit’ karena pasal eksekusi kurang
tersentuh. Bukan berarti UU hanya bertujuan orang takut melakukan kejahatan
terhadap anak, dapat dimaklumi setiap kebijakan dimungkinkan untuk membentuk
kesadaran masyarakat. Masalahnya, hampir 12 tahun UU Perlindungan Anak
diberlakukan, implementasinya sangat lemah. Dengan demikian, jika upaya
preventif belum mempan, setidaknya upaya kuratif bisa dijamin dengan
seadil-adilnya.
UU No. 11 tahun
2012 menyebutkan bahwa pemrosesan kasus yang melibatkan anak, maksimal
dilakukan 12 hari. Secara normatif, ketentuan ini dirasa cukup adil baik bagi
pelapor dan terlapor yang sama-sama menunggu kejelasan nasib. Amat disayangkan,
secara teknis berlakunya UU ini dinilai masih setengah hati karena tidak
didukung oleh terbitnya PP. Begitu pun dengan eksekusi ketentuan 60 hari masa
penahanan untuk pelaku orang dewasa yang masih mengundang tanda tanya. Pada
kenyataannya, keluhan dari masyarakat yang kebanyakan awam hukum, ada pelaku
yang dibebaskan sebelum waktu yang seharusnya. Kadang juga SP2HP yang pertama,
kedua, maupun ketiga tak menjelaskan hambatan apa yang membuat penyidikan
terhadap pelaku dihentikan dan tidak dilakukan penahanan.
KACAMATA KUDA
Mandegnya proses
hukum sebagian besar disebabkan kurangnya alat bukti. Visum dan saksi mata
ibaratnya dua sisi kacamata yang dipakai oleh aparat penegak hukum kita.
Misalnya, kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak TK dan baru dilaporkan
saat SD. Bukan respon seperti, “Mengapa baru lapor sekarang? Ada saksi mata
yang melihat langsung kejadian?” yang diharapkan oleh keluarga korban.
Terkhusus anak di bawah 6 tahun yang belum mendapatkan pendidikan seks atau
biologi secara mumpuni, mungkin anak pun belum memahami bahwa apa yang
dialaminya salah. Naturnya, keberanian anak untuk mengaku juga tidak bisa
disalahkan.
“Banyak jalan
menuju Roma”. Ketika proses penyidikan, korban sudah mengaku, apakah tak bisa
dijadikan alas bukti? Jika visum tidak mungkin dituntut karena kejadiannya
bertahun silam, masih ada pengganti seperti rekonstruksi dan psikoterapi yang
bisa memperkuat. Untuk persyaratan saksi mata, jika memang saat itu ada saksi
yang ‘menonton’, mungkin agak aneh karena biasanya pelecehan seksual dilakukan
secara tersembunyi. Adapun saksi lain seperti orang sekitar yang pernah
mendengar suara, melihat korban kabur, atau mengetahui catatan buruk pelaku,
kadang juga tidak bisa dimanfaatkan karena mereka takut terseret-seret dalam
kasus. Mental aparat kita tak selemah itu dan ‘mata’ mereka tak seminus itu.
Mungkin aparat perlu membuka kacamatanya agar memiliki pandangan yang lebih
cerah dan luas. Miris rasanya kasus dibekukan bahkan dimentahkan hanya karena
dua alat bukti tersebut tidak dipenuhi.
PENGAWAS DIAWASI
Pesimisme
masyarakat terhadap kinerja aparat setidaknya bisa diobati dengan kehadiran
badan pengawas seperti Propam dan Kompolnas. Masyarakat rasanya pantas untuk
menaruh harapan di pundak kedua lembaga ini agar setiap pengaduan mereka bukan
hanya didengar ataupun dicatat, namun ditindaklanjuti secara objektif dan
serius. Setidaknya ketar-ketir aparat di tempat mereka mengadu bisa berdampak
positif bagi kelanjutan pemrosesan kasus.
“Keamanan itu
tanggung jawab kita bersama”. Jika upaya di atas pun masih terganjal, mungkin
aparat perlu ‘ditatah’ oleh beberapa pihak agar jalannya lebih teratur. Pemda
sebagai ‘tuan tanah’ yang tidak jarang menjadi tempat mengadu masyarakatnya,
berkewajiban untuk menjamin rasa aman dan nyaman. Karena itu, ketika
masyarakatnya bermasalah dan butuh dukungan, tidak ada salahnya jika Pemda
turun tangan untuk mendampingi pengawalan kasus. Kekuatan penguasa daerah untuk
memberikan masukan kepada aparat di lingkungan kekuasaannya mungkin cukup
manjur, bukan dalam artian mengintervensi hukum, namun lebih kepada warning.
TAHUN BARU, WAJAH BARU
PR di atas
menunggu untuk dikerjakan oleh Menkumham yang baru. Menjelang akhir tahun,
selain dari laporan, agaknya evaluasi lebih penting untuk mengetahui
efektifitas kinerja aparat selama setahun. Apresiasi tentu perlu diberikan bagi
yang sudah bekerja dengan baik, namun yang masih ‘pincang’ berjalan juga
membutuhkan perhatian untuk diberikan treatment
agar dapat berjalan lurus. Ke depannya, diharapkan ada terobosan-terobosan
baru yang diluncurkan oleh Menkumham dalam memaksimalkan fungsi pengawasan dan
meningkatkan rasa aman terhadap masyarakat. Dengan demikian, hukum di Negara
ini tidak menganut tren ‘maju mundur cantik’ dan kepercayaan masyarakat
terhadap aparat bisa kembali direngkuh.
0 komentar:
Posting Komentar