“Wah, gawat! Hari ini saya ajarkan materi, besok saja anak-anak sudah lupa. Apalagi kalau bolos sekolah berhari-hari?”
Sabtu kali ini berbeda dari sabtu-sabtu sebelumnya. Lapangan yang
biasanya ramai kini sepi. Anak-anak tidak lagi datang ke sekolah hanya untuk
bersih-bersih, jajan, bermain sebentar lalu pulang begitu saja. Sekarang baik
guru dan siswa sibuk sendiri dan begitu menikmati hari Sabtunya. Rasa syukur
dan segurat senyum tak hentinya saya tunjukkan. Tidak sia-sia dua malam saya
bergadang hanya untuk memikirkan jalan keluar dari kegeraman saya. Geram akan
guru-guru yang datang ke sekolah sekedarnya di hari Sabtu dan anak-anak yang
kerap bolos sekolah setelah akhir pekan dibawa orang tuanya ke kebun. Saya
berusaha mencari hal baru yang membuat guru-guru dan anak-anak ‘kecanduan’
bersekolah di hari Sabtu. Pertanyaan “Sudahkah
sekolah menjadi tempat yang menyenangkan bagi siswa?” menjadi titik tolak
saya berpikir. Selama hampir tiga bulan di sekolah ini, saya mencoba untuk peka
terhadap anak-anak, apa yang mereka mau, apa yang mereka bisa, dan apa yang
harus saya lakukan. Dasarnya pertolongan Tuhan tidak pernah terlambat, saya
mendapatkan ide untuk mengaktifkan kembali pengembangan diri yang tadinya hanya
sekedar jadwal tertulis di papan. Saya merancang tiga kegiatan pengembangan
diri dan tiga ekstrakurikuler lalu mengajukannya ke kepala sekolah lewat
proposal.
Melihat potensi anak-anak di bidang olahraga, saya membentuk kelas
“Sabtu Sporty” yang diampu oleh Ibu Kepala Sekolah sebagai satu-satunya lulusan
SGO (Sekolah Guru Olahraga). Anak-anak yang punya minat berolahraga, bisa
melatih skill dan memperkaya ilmu mereka tentang cabang-cabang olahraga. Soal
fisik, anak-anak di sini memang terkenal kuat dan tidak mudah letih, terlebih
kalau sidah bermain bola. Jadi melalui “Sabtu Sporty” bisa sekaligus membentuk
tim futsal dan tim voli sekolah yang terlatih dan siap maju ketika ada
pertandingan. Selain itu, suara orang Maluku juga terkenal bagus, namun
lagi-lagi masih belum matang. Teknik bernyanyinya masih perlu diasah, sehingga
timbullah ide membentuk kelas “Seni Musik” yang diampu oleh Ibu Bat yang cukup
paham tentang not dan Bapa Lanith
yang mahir bermain gitar. Anak-anak bisa berlatih membaca not, olah vokal, belajar lagu-lagu nasional dan rohani, serta
kunci-kunci gitar. Untuk anak-anak kelas I dan II, aku membentuk kelas “Ruang
Kreasi” yang diampu oleh Ibu Latu, guru agama tapi ternyata punya bakat
menggambar dan Ibu Wer yang cukup kreatif dan bersemangat. Kecerdasan
kinestetik dan visual yang dimiliki anak-anak kelas rendah sekarang dapat
disalurkan dengan menggambar, mewarnai, dan membuat kerajinan tangan. Ke
depannya mungkin kami dewan guru akan mengundang satu orang tua siswa yang
biasa membuat kerajinan, untuk kemudian mengajari anak-anak di sekolah.
Berawal dari anak-anak kelas VI yang hampir setiap malam datang ke
rumah saya dan minta diajari Bahasa Inggris, saya membentuk ekskul “English for
FUN!” yang terdiri dari siswa kelas V dan VI. Ekskul ini saya rancang dengan
metode beragam, mulai dari belajar lewat lagu, ronda desa dan mencari tahu
bahasa inggris dari benda sekitar, menonton film, dan membaca buku. Saya akui
anak-anak punya semangat membaca dan belajar yang tinggi, tinggal bagaimana
guru mau meluangkan waktu lebih untuk mereka. Terlebih sekolah saya sebenarnya
memiliki koleksi buku yang variatif dan KIT pelajaran yang lengkap. Hanya dengan
alasan ‘takut hilang’, perpustakaan itu lebih sering tergembok hingga berdebu.
Untuk mengaktifkan kembali perpustakaan, saya membentuk ekskul “Pojok Pintar”
yang diampu oleh Ibu Laulu – yang selama ini tercatat sebagai pustakawan tetap
lebih sering berjualan jajanan di tempat santai – dan Ibu Ci yang kata
anak-anak cukup baik mengajar Bahasa Indonesia. Di ekskul ini, anak-anak yang
antusias dengan buku bacaan dan senang membuat sahabat pena bisa berkreasi.
Puncak kegeraman saya waktu itu terlampiaskan dengan cara mengeluarkan
semua KIT pelajaran dari kardusnya, meminta anak-anak mengambil lap basah dan
membersihkannya. Semua kami lakukan di depan Ibu Kepala Sekolah, yang pada saat
itu juga ikut kerja bakti. Saya memang tidak banyak bicara, langsung beraksi
mungkin cara yang tepat untuk menyentil kebijakan sekolah yang selama ini
salah. Saya pun berinisiatif membentuk ekskul “Klub Sains” sebagai wadah bagi
siswa yang punya rasa ingin tahu dan semangat meneliti hal-hal baru. Saya
dibantu oleh Bapa Kewilaa, bapa guru yang terkenal rajin menjaring ikan. Saya
ingin mengajak anak-anak belajar meneliti alam sekitarnya, terutama
keanekaragaman hewan laut. Saya menamai mereka dengan “calon ilmuwan cilik”,
mereka akan menggali lebih dalam info hewan laut yang sering ditemui bahkan
meneliti ikan yang belum bernama. Mungkin terdengar klise, tapi saya tetap
percaya bahwa sebutan kecil itu bisa menumbuhkan cita-cita mereka untuk
membangun daerahnya.
Dua minggu sudah
program ini berjalan, betapa senang saya melihat antusias anak-anak tetap
terjaga. Justru guru-guru yang harus tetap dikontrol agar tidak kendor dan
materi yang disampaikan selalu terbarukan. Harapan saya sederhana, setahun di
sini saya ingin mengikis kebiasaan bolos guru dan siswa di akhir pekan. Paling
tidak ada satu atau dua anak yang berani berkata “Mama e, Bapa e, bet seng ikut
pi kabong lai, beta pu ekskul hari Sabtu”.
“Karena Sabtu kini milikmu, Sabtu bukan lagi sekedarnya tapi sesibuknya.”
0 komentar:
Posting Komentar