Ceritaku kali ini lain dari biasanya. Kutulis di atas papan kayu sambil
terombang-ambing di tengah Laut Banda, dalam perjalananku dari Adodo ke Larat.
Sesekali ada rasa khawatir ketika motor ini bergerak tanpa arah kesana-kemari,
bukan soal laptop yang takut hanyut tapi soal kemudi yang dikendarai Bapak
Kades Adodo. Sangsi rasanya melihat beliau memegang kayu sepenggal yang
mengendalikan seluruh nyawa di motor laut ini. Untunglah, beberapa saat setelah
aku membuka laptop, membiarkan diriku dihantam oleh keroyokan angin laut dan
terik sore, kemudi itu dipegang oleh tuan yang sebenarnya. Selain eksotisme
laut yang kunikmati, ada pemandangan lain yang ditawarkan oleh sembilan lelaki
di depanku. Bukan karena mereka sedang adu panco, main gitar, atau foto-foto. Sstt..mereka
sedang asyik ‘bermain’ dengan sopi.
Sopi bukan nama kembang desa yang digilai banyak lelaki. Sopi juga
bukan nama preman desa yang ditakuti dan kebetulan menumpang di motor ini. Tapi
jangan salah, sopi punya power yang
besar. Banyak orang yang mencari sopi di mana saja, kapan saja, dan rela
melakukan apa saja demi mendapatkannya. Sopi itu sangat spesial di mata lelaki.
Kalau sopi itu adalah wanita, mungkin ia sudah jadi bulan-bulanan para ibu-ibu
di desa bahkan jadi tertuduh dalam kasus perselingkuhan. Terang saja, banyak
laki-laki yang lebih memilih menghabiskan waktu ‘bermesraan’ dengan sopi
ketimbang pasangan mereka. Namun sopi bukan hanya menjadi teman bagi para
pejantan, karena sesekali ia juga ‘bergaul’ dengan kaum hawa. Selama tiga bulan
di sini, aku sudah hampir lima kali ‘bertemu’ dengannya. Maaf membuatmu
penasaran, mungkin dalam otakmu bertanya, “Jadi, sopi itu rupanya bagaimana?”
Sopi sebenarnya adalah minuman keras yang dibuat dari sagero, yakni
pinang kelapa yang dipatah dan ditampung airnya lalu disuling. Warnanya kuning
kecoklatan dan aromanya cukup menyengat terlebih sopi ‘kepala’. Adatnya, sopi
itu diminum di saat tertentu. Namun sekarang, meskipun punya efek memabukkan,
sopi sudah seperti air putih bagi kaum lelaki. Katanya amunisi untuk
menghangatkan tubuh, tapi yang kulihat siang yang terik pun banyak pemuda atau
bapa-bapa yang meminum sopi. Sama halnya dengan pemandangan yang kusaksikan di
depan ini. Belum setengah jam berlayar, penumpang dan ABK sudah duduk rapih
siap ‘menjamah’ sopi. Entah tradisi dari mana, yang jelas kalau naik motor laut
pasti selalu ada sopi. Berawal dari seteguk, berlanjut dengan kelakar ngalor-ngidul, berakhir dengan mata
merah. Logikanya, seharusnya penumpang perempuan sepertiku ini takut melihat
ABK minum-minum begitu. Tapi dari cerita orang-orang, justru mereka tidak
konsen membawa motor jika tidak diberi sopi. Ibaratnya, sopi ini adalah obat
penenang saat melawan ganasnya lautan.
Kalau boleh jujur, tradisi minum sopi ini adalah satu
dari sekian yang tidak kusukai di sini. Masalahnya, kadang orang bisa membeli
sopi sebotol dengan harga Rp 20.000,- tapi tidak bisa membayar uang SP anak dan
membeli buku tulis-pena untuk sekolah. Terlebih minum sopi ini juga menjangkiti
acara-acara yang sifatnya religius. Perayaan ulang tahun jemaat yang dibuka
dengan doa, masa ditutupnya dengan memberikan majelis segelas sopi? Gawatnya
lagi, sopi ini lancang masuk ke ranah sekolah. Sudah banyak siswa SMP dan SMA
yang kedapatan membawa sopi di tas mereka dan meminumnya saat jam keluar main.
Ya kalau kepala sekolahnya saja sering mabuk sopi, tidak heran siswanya juga
ikut-ikutan. Aku tidak bilang sopi ini sama sekali tidak ada gunanya, tapi aku
geram ketika porsinya berlebihan. Karakter orang Maluku yang keras jika ditambah
dengan mabuk karena sopi, bisa kau bayangkan apa jadinya? Sudah banyak kudengar
cerita adu mulut hingga baku hantam hanya karena sopi. Tidak jarang juga
kudengar ‘pacaranologi’ yang keliru karena sopi. Aku tetap menghargai sopi
sebagai bagian dari adat dan kebiasaan masyarakat di sini, mungkin yang salah
memang orang-orang yang tidak menempatkan sopi di waktu, tempat, dan porsi yang
tepat. Berharap pemerintah desa atau kecamatan mau menindak tegas, tapi
yakinkah kalau mereka tidak kecanduan dengan ‘barang’ yang bikin melayang itu?
Akan kulihat sembilan bulan ke depan.
0 komentar:
Posting Komentar