Nona Betoky

Leave a Comment
‘Jadi sebenarnya banyak yang bersedia menjadi keluarga piaramu, sampai aku pun susah menentukan.’‘Orang tuaku bilang kalau bisa di Pastori, supaya tidak ada yang ganggu. Apalagi perdana perempuan.’

Hal yang paling dicemaskan oleh orang tua para Pengajar Muda, meskipun sudah ikhlas melepas anaknya mengabdi selama setahun di daerah terpencil, adalah dengan keluarga seperti apa mereka tinggal. Tak pelak, ini juga membuatku ‘dag-dig-dug’! Masalahnya, keluarga piara atau kerennya disebut hostfam, akan menjadi orang terdekat kita selama setahun. Yang terpikir olehku, karena ini pertama kalinya Adodo Molu mendapatkan PM perempuan, faktor keamanan adalah yang terpenting. Bukan berarti aku mengira orang-orang Adodo itu kurang baik, tapi jelas kewaspadaan itu perlu. Dua minggu terakhir di camp, banyak teman-teman yang sudah tahu bahkan berkenalan via udara dengan keluarga piaranya. Kala itu nasibku masih digantung oleh Billy, Pengajar Muda sebelumku. Namun, alangkah sumringahnya saat di detik terakhir menjelang keberangkatan, Billy meneleponku dan memberitahu kalau aku akan tinggal bersama keluarga Pendeta Betoky.

Belum sempat menginjakkan kaki di desa Adodo, hujan deras menyambut kedatangan kami sesaat sebelum kapal sandar di dermaga Adodo. Dari jendela kapal kulihat sudah banyak orang yang berkumpul di dermaga, entah karena aku atau memang mereka ingin berangkat dengan Feri Egron ini. Ah sudahlah, daripada sibuk menerka-nerka, pikirku, lebih baik kami bergegas keluar karena banyak barang-barang yang harus diangkut. Sudah ada beberapa relawan yang sigap membawakan carrier-ku, yang tentunya bikin punggung sakit saking beratnya, menyusuri dermaga terpanjang se-MTB plus melewati genangan air surut menuju perkampungan.

“Nah, yang badan besar dan ada tahi lalat di muka itu Pak Pendeta, ya bapak piaramu”, ungkap Billy.
“Oooooooo...yang itu ya. Lalu mama piaraku mana?”, sahutku cepat.
“Mama piara dan adik piaramu semuanya lagi di Ambon, mungkin bulan depan baru pulang. Jadi sementara, kamu aku titipkan ke Ibu Bat, mama piaranya Bagus yang dulu. Dia rekan gurumu di sekolah jadi sekalian kamu mengakrabkan diri” jelas Billy panjang lebar.
“Adik piaraku ada berapa orang?”, tanyaku antusias.
“Ada lima! Yang paling besar itu Merly, baru masuk SMA di Ambon. Lalu Peter kelas V SD, Aron kelas IV, Jeslyn masih 1,5 tahun, dan Veky yang baru enam bulan. Tapi yang bakal tinggal denganmu hanya Peter dan Aron karena yang lainnya dititipkan ke Omanya di Ambon” jawab Billy begitu rinci.
“Hmmm...”, aku hanya mengangguk.

Setelah menunaikan kewajiban ‘harap lapor’ sebagai orang baru, baik ke Kepala Desa maupun mengikuti snobak atau doa adat di rumah Mela Lanith, sorenya aku diajak berkunjung ke Pastori. Ternyata bangunan ini baru saja berdiri tepat di samping Pastori Lama yang sudah bocor sana sini karena atapnya terbuat dari rumbia dan hanya berdindingkan bambu. Aku diizinkan untuk melihat calon kamar baruku, masih calon karena belum bisa dihuni berhubung lampunya belum dipasang, jendela atasnya masih bolong, dan belum ada gorden. Tempat tidur dua lapis kapuk milikku cukup besar (jangan-jangan keluarga piaraku tahu kalau aku tidurnya ‘lasak’?!), berlantai keramik yang pada satu bagiannya kosong dan sering berbunyi kalau diinjak, pintu yang tak bisa ditutup rapat karena salah pasang dan disediakan satu meja sekolah panjang bertaplak tenun sebagai pengganti lemari. Otakku sudah berpikir jauh akan menempelkan karya di dinding agar kamarku tak terlalu polos, mudah-mudahan diizinkan. Tapi sayangnya aku baru bisa menempati kamarku setelah mama dan adik piaraku kembali dari Ambon bulan depan. Tak apalah hitung-hitung punya pengalaman khusus diasuh oleh dua keluarga piara. Bukan berarti sebulan aku akan diam saja, aku berusaha mendekatkan diri lewat sms atau telepon agar momen ‘krik-krik’ saat bertemu mereka nanti terhindarkan.

Bapak Melianus Rahanwatty, akrab disapa Bapak Bat dan Ibu Alfonsina Batmomolin, yang juga dipanggil Ibu Bat, akan menjadi orang tua piaraku selama satu setengah bulan. Adik piaraku ada dua, Yunus Rahanwatty (Unu) dan Yefta Rahanwatty (Ongen) yang menjadi muridku di kelas I. Tinggal bersama mereka sangat menyenangkan sekaligus menyedihkan. Senang karena Ibu Bat orangnya luwes dan banyak hal yang bisa didiskusikan terkait sekolah. Unu juga orangnya mudah dekat denganku dan selalu siap membantu kakak piara sementaranya ini. Sedihnya, Bapak Bat ini hobinya melaut. Hampir tiap malam hari, Bapak Bat selalu pulang membawa ikan yang besar-besar. Karena di rumah tak ada kulkas, jadilah seluruh hasil tangkapan harus disantap pada saat itu juga. Aku yang di kota jarang makan ikan laut (ini susahnya lahir premature, banyak pantangan!), selama sebulan ‘disuapi’ beragam jenis ikan, dari yang layak dimakan sampai yang menurutku sayang untuk dimakan karena warnanya lucu. Bahkan tak jarang, saat aku sudah tidur, Ibu Bat membangunkanku untuk makan ikan asar (ikan yang dibakar dengan kayu) atau ikan goreng taco (ikan yang dibakar di wajan dengan minyak sedikit). Saat aku nyaris mengibarkan bendera putih, selalu ada saja kata-kata Bapak Bat yang membuatku tak enak hati kalau tak menghabiskan ikan. Bayangkan, satu setengah bulan mabok ikan dan rajin makan tengah malam, jadilah badanku bombat alias gemuk!

“Ibu, kapal sabuk su masuk! Ibu Pendeta mangkali su ada ka pa...” (Ibu, kapal sabuk sudah masuk! Mungkin Ibu Pendeta sudah ada), teriak salah seorang rekan guruku di sekolah. Sepulang sekolah, aku memutuskan untuk ganti baju dan menyusul ke dermaga. Dari kejauhan, aku melihat wajah perempuan yang sekilas mirip Wulan Guritno, masih sibuk mengurusi barang-barang di kapal. Tampak berbeda dengan foto yang ditunjukkan Billy karena sekarang rambutnya sudah pendek. “Ibu...!”, teriakku. Tiba-tiba terlintas, mengapa kata pertama yang keluar dari mulutku adalah ‘Ibu’ dan bukan ‘Mama’ supaya lebih akrab. Ah, sudahlah! Sudah terlanjur dan pasti aneh kalau serta merta kuubah. Meskipun mama piaraku sudah kembali, aku masih tetap tinggal di rumah Ibu Bat.

Sampai akhirnya, Ibu Bat sendiri yang mengingatkanku, “Ibu Thella, jang mara e. Beta cuma bilang sa, kan Ipen su ada jang sampe la antua kira beta tahan Ibu nanti kurang hati lai.” (Ibu Thella, jangan marah ya. Kan sekarang Ibu Pendeta sudah ada, jangan sampai beliau kira saya tahan Ibu, takutnya tidak enak hati).
“Iyo, Ibu. Beta ada mau menyimpan ini, nanti kalo su siap beta kasitau Ibu dan minta tolong anak-anak bantu pindahan ke Pastori.” (Ya, Ibu. Saya berkemas dulu, kalau sudah siap saya beritahu dan minta tolong anak-anak bantu pindahan ke Pastori), jawabku.

Setelah selesai berkemas, aku mengeluarkan barang-barangku dari kamar dan bersiap untuk pamitan. Namun, dari kejauhan kulihat ada mata yang nyaris berkaca-kaca. “Doh, liat Ibu Thella mo pindah sa beta su manangis mo. Biar su di pastori lai, kalo Unu Bapa pi mangail, tenga malam katong jemput datang e makang ikang.” (Duh, lihat Ibu pindahan saja saya sudah menangis. Meskipun sudah di pastori, kalau Bapaknya Unu pergi memancing, tengah malam kami jemput untuk makan ikan ya.)
Hatiku pun sebenarnya berat meninggalkan rumah yang begitu ‘berwarna’ ini. Teringat bagaimana paniknya Ibu Bat ketika aku alergi, bagaimana Bapak Bat yang selalu semangat ‘menyiksaku’ dengan hasil tangkapannya, bagaimana keceriaan Unu dan Ongen. “Ibu, jang bicara begitu. Beta pasti sering main ke bet pung rumah kedua ini, kalo soal makang ikang atur sa!” (Ibu, jangan bicara begitu. Saya pasti sering ke rumah kedua ini, kalau soal makan ikan atur saja!)

Beberapa pasukanku sudah siap mengangkut barang-barang, namun ternyata Unu bahkan Ibu Bat juga ikut mengantarku ke Pastori. Langkah pertama memasuki rumah asliku, aku disambut hangat oleh Bapak dan Mama Piaraku. Kamarku telah dibenahi dan makan malam juga telah siap disantap. Selamat datang, Nona Betoky! Meskipun tak pernah ada ritual khusus untuk dimargai, tapi setahun ini Sirait akan berganti menjadi Betoky. Bapak piaraku, Pdt. Markus Immanuel Betoky, S.Si., adalah mantan wartawan yang sudah menetapkan hati untuk melayani jemaat di Adodo Molu selama kurang lebih 2 tahun. Mama piaraku, Sherly Petrosina Sapulette, S.Sos., adalah lulusan S1 Kesejahteraan Sosial yang rela hati mengabdi sebagai guru honor di SMA Negeri 1 Molu Maru. Lima orang adik piaraku, yakni Merly Claudia Betoky yang duduk di kelas X, Aron Aguely Betoky yang duduk di kelas IV, Mizmor Peter Sapulette yang duduk di kelas V, Jeslyn Immanuela Betoky yang berumur 2,5 tahun, dan Victor Melwuar Betoky yang masih bayi. Seandainya semua adik piaraku ada di sini, pasti rumah akan sangat ramai. Suara hati seorang anak tunggal memang tak bisa berdusta, aku amat senang bisa menjadi seorang kakak piara yang baik selama setahun. Terlebih saat mengetahui kalau mama piaraku suka masak dan bikin kue, rasanya setahun ini kesempatan gratis untuk belajar jadi calon istri idaman!

Kisah hidup keluarga ini unik. Bapakku aslinya dari desa Namtabung, pulau Selaru. Sementara mamaku dari desa Ulat, Ambon. Bapakku sejak SMP sudah merantau ke Ambon, tinggal dengan pamannya. Bapak dan mamaku yang satu Sekolah Minggu, memulai kisah cinta monyet mereka. Aneh, padahal biasanya orang Ambon dilarang untuk berpasangan dengan orang Tanimbar. Tinggal dengan sanak saudara membuat bapakku harus kerja keras, tak jarang ia mendapat bonus pukulan kalau ada yang salah. Tidak tahan dengan kekerasan yang dialami, bapakku nekat kabur ke Papua saat ingin melanjutkan SMA. Jalinan asmara ala anak sekolah itu pun harus terputus di tengah jalan. Namun, benar kata pepatah, kalau jodoh tak akan kemana. Tamat SMA, bapakku melanjutkan kuliahnya di Ambon dan kembali dipertemukan dengan mamaku. Kali ini tantangan cinta mereka hanya sebatas tembok, karena rumah mereka bersebelahan. Meskipun demikian, kesibukan membuat mereka jarang bertemu, apalagi kalau mau berkunjung harus siap mental menghadapi bapaknya mamaku. Ah, tapi bukan mantan atlet karateka namanya kalau tak berhasil meluluhkan hati calon mertua. Buktinya, cinta yang mereka jaga selama bertahun-tahun dipersatukan Tuhan dalam sebuah ikatan pernikahan.


Selagi kuliah, bapakku iseng masuk ke lembah jurnalistik. Namun, insting wartawan yang alamiah dalam dirinya, membuatnya sering dipercayakan menangani kasus-kasus ‘kelas kakap’.  Tergiur dengan pundi-pundi yang dihasilkan, bapakku hampir goyah melanjutkan panggilan jiwanya menjadi seorang Pendeta. Akan tetapi mamaku selalu mengingatkan agar jangan tergoda oleh manisnya hidup sebagai wartawan. Bapakku pun akhirnya mantap hati untuk mendaftarkan diri menjadi Vicaris dan akhirnya ditugaskan di sebuah kecamatan yang baru mekar, yakni Molu Maru, khususnya di jemaat Adodo Molu. Jalan tahun ketiga pelayanannya, aku dan bapakku yang sama-sama matawana (tahan begadang), sering mendiskusikan bagaimana bisa menumbuhkan gairah jemaat untuk beribadah dan mengubah sifat acuh tak acuh mereka. Sementara dengan mama, aku banyak berdiskusi soal pembenahan moral dan intelektual siswa SMA Molu Maru dengan segala keterbatasannya. Kalau dengan kedua jagoanku di rumah, Aron dan Pet, aku berusaha menjadi kakak sekaligus ibu guru yang mengajari mereka bangun pagi, rajin berdoa, dan disiplin untuk belajar malam. Nanti ketika bapak dan mamaku pergi ke kota, sekaligus pula aku belajar menjadi ibu yang baik bagi kedua adik piaraku. Yah, sedikitnya, inilah kisah awal Nona Betoky setahun ke depan. Pastinya penuh pengalaman dan kesan!
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar