15 Juli 2013, hari pertama anak-anak masuk sekolah sekaligus hari
perdana saya mengajar di kelas I. Guru-guru di SDK Adodo Molu menyebut kelas
ini sebagai kelas yang paling bikin sakit kepala, kelas yang paling gampang
memancing main tangan, sekaligus
kelas yang paling banyak muridnya. Bagaimana tidak, meskipun di desa ini ada TK
tapi karena pengajarannya dianggap tidak memberikan progres yang berarti,
banyak orang tua yang enggan mendaftarkan anaknya di TK. Jadilah anak umur 5
tahun yang belum bisa apa-apa, akhirnya didaftarkan ke kelas I. Bukan hanya
itu, ada juga anak yang sudah berumur 8 tahun tapi baru bersekolah dan anak
salah seorang guru yang baru berusia 3 tahun dititipkan hanya untuk ikut
belajar di kelas. Saya juga mendapat bonus
dari Pengajar Muda sebelumnya berupa delapan orang anak yang tinggal
kelas. Fasilitas kelas yang minim bangku
dan meja juga mengharuskan mereka duduk berdempet berdua kadang bertiga. Bisa
bayangkan kondisi kelas saya saat itu?
Jujur saya merasa gugup dan sempat tidak percaya diri saat berjalan
dari ruang guru ke ruang kelas I. Otak saya hanya berkutat di dua pertanyaan: kesan pertama apa yang akan saya torehkan
pada mereka? Respon seperti apa yang mereka berikan terhadap saya? Kekhawatiran
saya terasa percuma saat kaki ini sudah melangkah di dalam kelas. Saya tatap
wajah-wajah yang penuh bedak belepotan
itu sambil mengucapkan “Syalom, selamat pagi anak-anakku!”. Mereka tersenyum
dan menjawab ramah. Hatiku sedikit lega. Hal pertama yang saya lakukan adalah
mengondisikan bagaimana anak-anak bisa muat untuk duduk dengan kursi kelas
seadanya. Setelah itu saya mengajak anak-anak untuk berdoa pagi, lalu mengajak
mereka bernyanyi ‘Dengar Dia panggil nama saya’ dan lagu permintaan mereka
‘Kasih Ibu’. Saya mengeluarkan potongan kertas buffalo putih yang sudah saya
gunting kecil untuk papan nama yang akan saya tempelkan di baju mereka
masing-masing. Saya menghampiri mereka satu-persatu dan menanyakan nama
panggilan mereka. Tapi yang namanya anak-anak belum paham menunggu giliran dan
cepat bosan. Tak pelak yang lainnya malah berlarian, ada yang berkelahi, dan
tepat dugaan sebentar kemudian ada yang menangis. Ujian kesabaran dimulai. Saya
menghampiri anak yang menangis dan bertanya “Sapa yang biking? Oz kasitau Ibu sudah”, sambil terus menangis
tangannya menunjuk salah satu anak laki-laki. Sebelum saya panggil, anak
laki-laki tersebut sudah ketakutan, mungkin dia mengira akan mendapat pukul
atau jeweran. Saya panggil anak itu dengan senyum, “Mari sini Ibu bilang” tapi dia menjawab “Dia tadi pukul bet pung punggung duluan Ibu, bet cuma kasi balas”. Setelah
anak tersebut mendekat, aku hanya memintanya mengulurkan tangan “Ha, kasi oz pung tangan manis itu lalu
bilang maaf la ke nona ini. Nona jua bole sambut itu tangan manis, kasi maaf
suda lalu bermain lai toh.” Anak-anak yang lain memasang raut muka bingung
menatap saya.
Setelah semua papan nama terpasang di baju anak-anak, saya mulai
memperkenalkan diri singkat. Lalu mengajak mereka maju bergantian untuk
menyebutkan nama, fam, umur, punya kakak atau adik berapa di rumah. Sekalian
mengajari mereka berhitung dan menunjukkan angka dengan jari, ada yang
bersemangat tapi ada juga yang sibuk sendiri. Sebagian besar anak-anak disini
punya nama panggilan yang jauh berbeda dengan nama aslinya, sebagian besar pula
tidak tahu nama lengkapnya siapa. Ambil saja contoh, anak bonus dari Pengajar Muda sebelum saya, namanya Welhelmus Wuarlela
tapi dipanggil Aldo dan anak seorang guru namanya Yefta Rahanwatty tapi
dipanggil Ongen. Kalau begini istilahnya murid yang mengerjai guru. “Ibu, bet mo pi minum te dulu e”, “Ibu bet mo
kincing”, “Ibu, katong balajar sudah”, tiga suara sekaligus saya dengar.
Dua orang anak laki-laki malah sudah sampai membuka pintu kelas yang kebetulan
tidak berkunci. Akhirnya saya bergegas menahan pintu dan berkata kepada mereka
untuk menunggu sebentar lagi jam istirahat. Tapi anak-anak yang tadinya duduk
justru ikut berdiri dan mengerubungi saya di pintu. Kurang lebih lima belas
menit saya mengajak mereka berbicara dengan posisi demikian hingga akhirnya
lonceng sekolah ditoki.
Dapat dibayangkan reaksi anak-anak yang langsung bergegas keluar,
sembari ibu gurunya berteriak “Hoi, jang
pulang e, katong keluar main sa, nanti
Ibu mo kasi barang dolo sebelum kamong samua pulang.” Ada yang mendengar
tapi ada juga yang tidak acuh, akhirnya saya mengejar anak-anak yang nyaris keluar
pagar sekolah untuk meminta mereka jangan pulang dulu. Setelah lonceng kembali
ditoki, saya menyuruh anak-anak
berbaris di depan kelas, persis dekat dengan tempat santai di bawah pohon
rindang. Satu orang yang sudah saya pilih menjadi ketua kelas, menyiapkan
barisan yang bentuknya lebih mirip ular. Saya seperti memberikan kultum sebelum
mereka pulang, sembari berjalan ke satu-persatu anak memberikan kertas tugas,
kira-kira begini:
“Hoi katup mulut deng buka talinga e,
Ibu mo kasitau kamong samua. Kalo mo pi sekola, harus mandi dolo, jang lupa
makang deng minum te, kasi rapih itu baju. Yang laki-laki besok Ibu Thella seng
mo liat itu rambut masih panjang, suru bapa di rumah gunting e. Yang perempuan
sisir itu rambut, kasi minyak sadiki lalu ikat bae-bae. Besok samua bawa
pinsil, kalo pena itu untuk anak kelas 5 deng 6, katong kelas I pake pinsil
masih. Kasi tebal ini pung huruf-huruf, lalu di bawah ini suru mama/ bapa tanda
tangan e. Besok kumpul par Ibu Thella, su mengerti kaseng?”
Anak-anak berteriak “Suda Ibu” sambil
bergelagat sudah tidak sabar ingin pulang. Entah ke rumah atau bermain di
pantai sama teman-teman. Saya menyuruh ketua kelas untuk memimpin sembahyang di
depan barisan, mengucapkan Syalom, dan mencium tangan Ibu Guru sambil berjalan
teratur. Tapi bukan anak kelas I namanya kalau tidak rebutan, bahkan lucunya
ada anak yang menyalami saya lama sembari berbisik pada temannya “Ibu pung tangan puti deng wangi e”.
Letih itu pasti, namun dalam hati saya tersenyum kecil melihat tiga puluh
makhluk kecil beserta tiga puluh tingkah polosnya.
0 komentar:
Posting Komentar