“Buang semua barang-barang! Ambil gen minyak tanah deng
cat, la potong akang lalu baku bantu timba ruang! Ibu jang padede lai, pilih
barang ka katong pung nyawa. Beta coba hubungi orang Larat cari bantuan. Jang
panik ee...”
18 Maret 2014. Sepulang sekolah, aku masih berbincang dengan rekan guruku di
perpustakaan. Ibu Bat memanggil Alex, siswa kelas VI untuk bertanya ke Bapak
Minggus apakah motor laut jadi berangkat ke Larat siang itu. Lima menit
kemudian, Alex sudah kembali dan mengatakan bahwa ABK sedang memuat kopra dan
motor akan berangkat jam 2 siang. Karena internet di kecamatanku sudah seminggu
mengalami gangguan, aku jadi terpikir untuk ke Larat menumpang internetan di
SMA Kristen sekaligus ke Bank. Namun, omongan orang-orang desa sempat membuatku
ragu, katanya motor Bapak Minggus sudah tua sehingga mesinnya sering
bermasalah. Lima belas menit aku berpikir ulang, kuputuskan untuk tetap
berangkat karena ada hal penting yang mau aku ambil dari email. Biasanya kalau
aku ke Larat, pasti tidak pernah absen orang desa yang minta tolong entah
membeli barang atau mengirim uang. Benar saja, Ibu Bat dan Ibu Wer langsung
menitipkan nota belanja serta Bapak Attus menitipkan uang untuk ditransfer ke
anaknya yang kuliah di Jogja.
Jam 2 siang kami berangkat, kali ini karena sudah peralihan dari musim
Barat ke musim Timur, motor sudah bisa berangkat dari depan kampung. Tetapi
gelombang yang masih cukup besar membuat kami harus naik sampan dahulu untuk
sampai ke motor laut. Awalnya, dua mesin motor menyala dengan baik tapi di
perbatasan desa Wulmasa, salah satu mesin motor mati sehingga kami hanya
mengandalkan satu mesin untuk sampai ke Larat. Lumrahnya, kalau dengan dua
mesin, sekitar 6 jam kami sampai tetapi karena hanya dengan satu mesin terpaksa
kami harus bersabar terombang-ambing di lautan selama 12 jam. Dari terik
matahari yang bikin kepala pusing, kelaparan, sampai kencangnya angin laut yang
bikin masuk angin, belum lagi mendekati Larat kami sempat diguyur hujan. Jam 2
subuh kami berlabuh, tidak sopan rasanya menggedor rumah kerabat untuk
menumpang tidur. Sempat terpikir untuk menunggu hingga pagi di pelabuhan, tapi
ibu-ibu penumpang mengajakku tidur bersama di rumah saudara mereka dan akhirnya
aku ikut.
Pagi harinya, aku bergegas untuk ke Bank lalu ke toko berbelanja
titipan rekan guruku. Setelah itu aku ke SMA Kristen menumpang internet.
Sekitar jam 12 siang, aku meng-sms
salah satu penumpang menanyakan kapan motor akan kembali ke Adodo. Katanya ABK
masih mencoba memperbaiki mesin agar dua-duanya bisa dipakai, jadi kemungkinan
tengah malam baru berangkat. Selesai mengambil data dan meng-upload blog di website Indonesia
Mengajar, aku memutuskan singgah dan menunggu hingga malam di tokonya Darman,
seorang yang cukup akrab dengan para Pengajar Muda. Kebetulan mereka juga
memiliki internet jadi aku kembali menumpang browsing. Sekitar jam 11 malam, aku pamit pulang dan menuju
pelabuhan. Sesampainya, kulihat muatan motor laut sudah sangat penuh, itupun
para ABK masih sibuk mengangkut barang-barang gereja untuk persiapan Sidang
Klasis. Sempat ada ribut-ribut kecil karena Bapa Pendeta memaksa untuk
mengangkut sekubik papan karena akan digunakan untuk membuat meja. Tak ada
seorang pun yang mau mengalah menurunkan barangnya agar muatan tidak berlebih.
Ini pertama kalinya aku berangkat tengah malam karena biasanya motor
laut langgananku selalu berangkat subuh. Sesaat sebelum mesin menyala, kami
sudah diguyur hujan dan mau tidak mau basah karena penumpang terpaksa duduk di
papan paling atas. Yang kupayungi hanya tas ranselku yang berisi laptop. Ibu
Bowoonset mengeluarkan baju bekasnya untuk mengelap papan yang jadi
satu-satunya alas kami untuk tidur. Saat itu aku tidak membawa jaket, hanya
selembar kain tipis yang jadi senjataku melawan dinginnya angin laut. Karena
kurang tidur, aku pun segera terlelap 10 menit setelah motor jalan. Belum
sampai dua jam, kudengar ada kegaduhan. Setengah berpikir tanpa membuka mata,
pikirku ini mungkin mimpi karena aku keletihan. Sampai akhirnya, “Ibu Thella, bangun. Adoh, katong su mati
ini, air su pono deng motor su turung bemana ini. Tuhan e...”, teriak Ibu
Bowoonset setengah menangis. Semua panik! Sontak aku berdiri dan melihat
keadaan di bawah, benar saja tumpukan beras telah tergenang air dan mesin motor
mati total karena kokernya bocor. Dalam hati aku hanya berkata, ‘Tuhan kami
tahu kami salah, tapi alam ini milik-Mu. Di tengah lautan ini, kami mohon ampun
dan selamatkanlah kami’.
Hal yang pertama kulakukan adalah merogoh tas ranselku mencari hp yang
kubungkus dengan plastik. Puji Tuhan, ada sinyal! Penumpang lain ikut mengecek
hp mereka, setelah tahu ada sinyal mereka langsung sibuk menelepon keluarga
mereka di Adodo.
Yang paling panik
menelepon suaminya, Bapak Kepsek SMP, “Doh, katong su mo tenggelam ini mama
ee...co ale cari bantuan dolo ka, katong su stenga mati ini. Tuhan tolong jua
ee..”. (Aduh, kami sudah mau tenggelam
ini, coba kamu cari bantuan dulu, kami sudah hampir mati ini. Tuhan
tolonglah..)
Firasatku, Bapak
Talutu akan tabaos (baca: teriak
untuk menyampaikan sesuatu) keliling kampung dan akhirnya Adodo gempar.
Lucunya, entah mengapa mereka bukannya sibuk menghubungi kerabat di Larat yang
jelas-jelas dekat, malah menghubungi keluarga di kampung yang jauh dan tidak
bisa membantu secara langsung. Ibu Talutu Aku mencoba untuk tetap tenang dan
memutar otak apa yang harus kami lakukan detik itu. Sedari awal masalahnya
adalah muatan yang berlebih, karena itu kami putuskan...
“Buang semua
barang-barang!”
“Ambil gen
minyak tanah deng cat, la potong akang lalu baku bantu timba ruang!“ (Ambil
jerigen minyak tanah dan cat, lalu potong dan saling bantu timba air dalam
motor)
Tak peduli aku perempuan, karena kulihat separuh dari para lelaki itu
sudah keletihan, aku pun turun membantu mereka timba ruang. Setidaknya posisi
motor bisa terangkat dan seimbang dulu selagi kami berpikir bagaimana
selanjutnya. Kali itu aku merasakan ternyata menjadi Anak Buah Kapal (ABK) itu
amat letih. Kaki kananku mendadak putih karena ketumpahan cat sementara kaki
kiriku hitam ketumpahan oli. Hampir lima belas menit kami nonstop menimba, tapi
air yang berkurang hanya sedikit. Bapak Nor menyuruh semua laki-laki yang di
belakang memeriksa mesin dan pinggir motor. Ternyata ada beberapa titik yang
bocor termasuk mesinnya sampai menyemburkan air. Kami mengumpulkan baju dan
jaket untuk menyumbat beberapa titik kebocoran.
“Ibu jang
padede lai, pilih barang ka katong pung nyawa. Jang panik e...” (Ibu jangan
menangis lagi, pilih barang atau nyawa kita?)
Ibu Sanci meraung sejadi-jadinya, sambil panik berjalan di pinggir
motor dari belakang ke depan, “Adooohhh...jang buang bet barang, kamong kira
katong punya harga ratus ka. Hampir sembilan juta itu e...adooohhh...”
Tiba-tiba ia terpeleset dan jatuh ke laut, semua tambah panik! Untung saat itu
ia masih memegang erat kayu penyangga terpal yang setengah lepas dan akhirnya
berhasil naik ke atas motor.
“Ada yang punya
baju lagi ka seng? Masih kurang satu ini par sumbat akang!” (ada yang punya
baju lagi tidak? Masih kurang satu untuk menyumbat yang bocor)
“Bet buka bet pung
baju sa bapa, pake ini sudah..” (Saya buka baju saja bapa, pakailah...)
Semua mata memandang padaku yang sedang menarik baju ke atas. Mereka
pikir aku senekat itu, padahal aku memakai baju lapis dua karena kedinginan.
Kaos putih kesayangan yang kudapat saat menjadi volunteer di Hari Sindroma Down
Sedunia, terpaksa kurelakan. Pekerjaan sebagai ABK pun kami lanjutkan dan
sedikit bisa bernafas lega melihat air yang surut dan setengah badan motor yang
tadinya turun bisa perlahan naik seimbang.
Aku mulai mencari kontak orang di Larat yang bisa
membantu. Kumulai dengan menghubungi Pak Camat Tanimbar Utara, Pak Sekcam,
hingga Koh A Guan, semuanya tidak aktif. Harapan satu-satunya adalah mantan
komandan TNI AL Larat, Pak Arifin, yang sekarang sudah di Bogor. Aku nekat
menghubungi beliau dan ternyata diangkat! Kuceritakan lokasi dan kondisi kami
di sana saat itu dan Pak Arifin langsung segera menghubungi Pak Widodo, sang
komandan penerusnya. Namun, saat Pak Arifin kembali meneleponku, aku mulai
merasa ada yang tidak beres. Cobaan kami masih belum selesai karena ternyata
pihak TNI AL tidak satupun yang mengangkat telepon. Aku setengah memaksa Pak
Arifin untuk mencoba lagi dan lagi menghubungi anggota TNI di Larat, hingga
akhirnya telepon diangkat. Kami tetap harus bersabar karena pihak TNI AL masih
kesulitan mencari minyak untuk speed yang
akan mengevakuasi kami. Sementara itu aku meminta agar semua penumpang yang
sudah duduk di papan paling atas menjaga keseimbangan dan tetap tenang. Yang
kutakutkan saat itu hanyalah satu sapuan ombak kencang akan membuat kami
tergulung, masalahnya mesin mati total dan motor kami bergoyang ikut arus.
Tak lama kemudian, ada nomor asing yang menghubungiku.
“Mbak, posisi dimana sekarang? Kami sudah siap meluncur ke sana.” Logat Jawa yang
tak asing ini ternyata Vendi, anggota TNI AL, rekanan kami kalau sedang di
Larat. “Katong ada di titik puncak segitiga antara Watidal dan Larat, jadi kalo
jalan ambil arah utara la terus mendekat sampe Farnusan”, sahutku dengan cepat.
Malam gelap buta begitu akan menyulitkan mereka menemukan kami, sehingga
kutanya penumpang barangkali ada yang membawa senter besar untuk memberi tanda.
Ada satu Bapak yang membawa tetapi saat dites, ternyata redup. Tanpa pikir
panjang, “Nyong, ambil kayu ka bambu sapanggal yang agak tinggi bole, lalu ikat
akang ujung atas deng kaeng ka baju. Katong pung gen minyak tanah tadi masi ada
yang tatinggal ka seng? Colo akang sadiki la katong biking obor do par kasi
tanda.” (Bung, ambil sebatang kayu atau
bambu yang agak panjang, lalu ikat ujung atasnya dengan kain atau baju. Jerigen
minyak tanah kita masih ada yang tersisa? Celupkan sedikit lalu kita buat obor
untuk pertanda).
Usaha kami membuahkan hasil. Dua puluh menit kami
menunggu, ada suara speed mendekat.
Setelah tim TNI AL sampai, aku langsung menyuruh Bapak Nor, Bendahara Jemaat,
yang karena panik dan cepat-cepat memotong jerigen minyak tanah dan membuka
ember cat sebagai alat untuk menimba air dalam motor, tangannya tergores
parang. Namun, tuan motor, ABK, termasuk Bpaak Nor memutuskan untuk tinggal dan
membetulkan mesin. Kami pun segera diangkut menuju Larat. Sesampainya di Larat,
kami semua menumpang tidur di mess TNI AL. Karena letih, ibu-ibu langsung
terlelap sementara aku tidak bisa tidur karena kaki kananku penuh dengan cat
dan kaki kiriku penuh oli. Aku bergegas mandi dan baru bisa tidur sejam
setelahnya karena menunggu rambutku kering. Rasanya belum sampai setengah jam
terpejam, teleponku berbunyi.
“Pagi Ibu, jang mara hampir
siang su ganggu lai. Katong minta tolong carikan oli Mesran par motor do. Bawa
katong makan deng minum sekali, barang katong su kelaparan. Beta minta tolong
Amoxcillin deng Neuralgin jua par tangan yang kenal parang ini jang sampe
infeksi to.” (Pagi Ibu, jangan marah subuh sudah mengganggu. Kami minta tolong
cari oli Mesran untuk motor. Sekaligus bawa makan dan minum, karena kami sudah
kelaparan. Saya minta tolong Amoxcillin dan Neuralgin untuk tangan yang kena
parang takut infeksi.)
“Bapa, jang mara, dong masih
ada tidur. Sadiki lai beta kasi suara la minta tolong dong siap-siap susul bapa
dong di sana.” (Bapak, maaf mereka masih tidur. Sebentar lagi saya bangunkan
minta tolong mereka siap-siap menyusul bapak di sana.)
“Iyo Ibu, katong su hanyut
sampe di pantai Farnusan ini. Nanti Ibu baku takser sa kalo dapa liat katong
pung bodi to.” (Ya Ibu, kami terdampar di pantai Farnusan. Nanti Ibu kira-kira
saja kalau melihat badan motor kami.)
Kira-kira jam setengah 6 pagi, kuberanikan diri untuk
membangunkan Komandan dan Anggota TNI AL. Mereka mengaku akan sangat sulit
mencari oli Mesran, apalagi belum ada toko yang buka. Namun Komandan
memerintahkan mereka minta dari kapal-kapal di pelabuhan. Singkat cerita jam 7
pagi kami sudah siap di pelabuhan, kali ini ditambah satu personil baru yakni
ajudan Pak Camat Tanimbar Utara yang dimintai tolong oleh pihak kecamatan kami.
Sesampainya di Farnusan, aku bergegas mengoper makanan dan minuman.
“Komandan, dong ini to orang
Watidal, su sambunyi katong pung barang-barang. Katong tadi dapa macam karung
tarigu deng gen ini akang di rumput-rumput, co bapak dong pi rumah sana la
tanya dong. Suru dong kombalikan katong punya, su talalu orang kenal musibah la
dia tinggal ambil bemana itu.” (Komandan, mereka ini orang Watidal yang
sembunyikan barang-barang kami. tadi kami dapat karung terigu dan jerigen ini
di semak-semak, coba bapak pergi ke rumah sana lalu tanya mereka. suruh mereka
kembalikan, keterlaluan orang kena musibah malah diambil!)
Komandan dan ajudan camat pulang dari rumah itu dengan tangan kosong.
Sepertinya kami harus merelakan barang-barang itu, yang kalau ditotal
keseluruhan hampir mencapai lima puluh juta rupiah. ABK telah berhasil
memperbaiki mesin dan motor akan menyusul ke Larat, sementara kami duluan
dengan speed. Pagi itu para penumpang
kembali ke toko-toko tempat mereka belanja dan izin berhutang karena ada
musibah. Larat langsung bergosip, tak lain tentang kisah kami. Saat aku antre
di bank untuk membantu mengambil uang tunai dari keluarga salah satu penumpang
yang mentransfer via rekeningku, aku mendengar sayup-sayup...
‘Itu Ibu Guru satu yang ikut motor tenggelam tadi malam ka?’
‘Iyo, Indonesia Mengajar yang
di Molo to. Antua ikut timba ruang lai!’
Padahal, saat itu aku tidak memakai rompi IM dan berpakaian persis
orang kampung dengan sendal jepit. Anehnya, kenapa mereka sampai tahu soal
‘timba ruang’? Dari bisik-bisik sampai ada yang berani bertanya langsung, “Ibu, Indonesia Mengajar yang tadi malam
hampir tenggelam ka? Katong dengar Ibu ikut timba ruang lai ee...su macam
‘watabrana’ sa, tapi untung Ibu cepat ambil tindakan ka seng abis sudah.” (Ibu,
Indonesia Mengajar yang tadi malam hampir tenggelam? Kami dengar Ibu ikut
menimba air dalam motor, pas kalau disebut ‘watabrana’ (baca: perempuan yang
setengah laki-laki), tapi untung cepat bertindak, kalau tidak...habis.)
Letih juga menjawab satu demi satu pertanyaan, kuputuskan untuk
meresponinya dengan jawaban ringan setengah bercanda. Dalam hati aku bertekad,
karena kejadian ini masih jadi perbincangan hangat di Larat, untuk sementara
waktu aku tidak akan belanja kebutuhan bulanan ke sini, cukup menitip nota
belanja saja. Mudah-mudahan mereka cepat lupa terutama bagian ‘timba ruang’.
Dari kejadian ini, aku memetik beberapa pembelajaran dan julukan ‘watabrana’
yang diberikan oleh orang-orang padaku. Lagi-lagi, satu hikmah dapat penempatan
paling jauh adalah beragam kisah perjalanan yang berkesan.
Sepertinya uda dengar cerita ini kemarin hehe
BalasHapusTernyta panjang juga ya thel kalo dituangkan dlm bentuk tulisan.
Good job thel!