“Kadang aku
berpikir kalau dibawa ke kisah Alkitab, desa Adodo Molu ini ibarat kota kecil
Betlehem namun masyarakatnya seperti Bangsa Israel. Akal yang cerdas dan sikap
yang keras pun belum tentu mampu
memecahkan batu yang ada dalam hati orang-orang di sini...”
Senin,
24 Februari 2014,
tidak ada berita dukacita namun entah mengapa hari itu aku berangkat ke sekolah
dengan baju hitam. Perasaanku memang sedikit tidak baik, bukan karena seharian
kemarin aku terlalu letih membantu pihak PNPM bekerja atau terlalu larut tidur
malam karena bercerita dengan orang tua muridku, tapi kegelisahan ini rasanya
tidak terbendung. Karena pagi-pagi kerap hujan, upacara tidak mungkin dilaksanakan
di tanah becek dan licin halaman SD kami. Aku sampai di sekolah jam 07.17 WIT,
yang menurutku sudah sangat terlambat. Tapi kenyataannya lagi dan lagi, baru
aku dan Bapak Lanith, rekan guruku yang sudah mulai berubah semenjak ikut
Pelatihan Guru waktu lalu, yang sampai di sekolah. Dari 125 murid pun, baru
sekitar belasan orang yang hadir. Sering orang bercanda, ‘Di Adodo talalu banyak pohon karet mangkali, jadi katong sering
ngaret’. Kali ini aku tidak bercanda, kebiasaan terlambat ini nyaris seperti
sebuah kenyamanan yang hanya bisa terusik ketika ada inspeksi dari pihak
kecamatan ataupun dari pengawas. Lebih herannya lagi, guru-guru yang seharusnya
menjadi contoh, datang lebih belakangan dari muridnya, itupun masih tanpa
bersalah menyapa ‘Salamat pagi, Bapak,
Ibu..’ sesampainya di kantor. Bukan sekali dua kali aku berusaha
mengingatkan, bahkan dengan sindiran halus seperti ‘Yoh, katong pung SD terpilih jadi Sekolah Model se-kecamatan Molu
Maru, tapi kedisiplinan masih ancor begini. Bemana dong sekolah laeng seng
bersungut katong nanti’ (SD kita terpilih jadi sekolah model se-kecamatan, tapi
kedisiplinan masih kacau. Bagaimana sekolah lain tidak menggumam nanti). Tapi
apa mau dikata, sekuat apapun dorongan positif dari luar jika di dalam hati
memang tidak ada kemauan berubah, tetap saja seperti itu. Sering aku merenung,
ini sudah tahun ke-3 Indonesia Mengajar menapak di Adodo, tapi perubahan
perilaku itu belum nampak.
Di SD kami jika hari Senin
biasanya ada ibadah Buka Usbu, seperti ibadah memasuki minggu yang baru. Kali
ini Ibu Bat yang memimpin pujian dan membagikan firman, ‘Jadi anak-anak harus ikut apa yang orang tua bilang selagi itu baik,
tapi kalau tidak baik silahkan menolak’. Sehabis ibadah biasanya ada
kesempatan bagi guru-guru yang ingin menyampaikan pengumuman atau bahkan
nasehat.
“Anak-anak, kalau lagi ibadah tidak boleh sambil makan
apalagi tadi ada yang sampai lempar-lempar jagung begitu. Ibu juga sudah
ingatkan, kalau kalian bisa jajan seribu atau dua ribu, masa tidak bisa
bernacar? Dari kecil harus belajar memberi untuk Tuhan karena apa yang kita
punya itu semua berkat Tuhan. Lalu, ingat toh tadi firman yang dibagikan Ibu
Bat? Bapak/Ibu Guru adalah orang tua kalian di sekolah, kalau guru kasih contoh
yang baik ayo ikuti tapi kalau lihat guru datang terlambat jangan ikuti toh!
Mulai besok kalau sudah lonceng, lima menit kemudian pagar sekolah akan ditutup
dan siapa-siapa yang terlambat lebih baik pulang saja. Biar orang tua di rumah
juga sadar harus bangun lebih awal siapkan kalian pergi sekolah tepat waktu.
Ini juga berlaku untuk guru-guru.”
Entah sudah bagaimana raut muka guru-guru di sampingku, yang
jelas aku berbicara karena kekecewaanku sudah di ambang batas. Guru-guru sering
bilang kalau anak-anak di sini ‘kepala batu, kepala angin’, dikasih tugas tidak
dikerjakan, dinasehati tapi sama saja. Pernahkan mereka bertanya dalam hati
‘dari mana anak-anak bisa tumbuh seperti itu?’ Cap itu seharusnya menjadi
bumerang bagi para guru sendiri, apa bedanya mereka dengan murid? Indonesia
Mengajar datang di Adodo untuk menyadarkan dan mengajak semua pihak bergerak
bersama menuju perubahan yang lebih baik. Bukan untuk kami para Pengajar Muda,
tapi hasilnya akan dituai oleh masyarakat sendiri. sudah banyak contoh yang
diberikan oleh Pengajar Muda sebelumku kepada para guru, tapi apa yang
tertinggal? Tidak ada gunanya jika para guru sekedar mengingat kenangan
kebersamaan dengan para PM, tapi nilai yang kami tanamkan dan perubahan yang
terlanjur ada sedikit kok malah hilang kembali? Para guru belum punya kesadaran
utuh akan pentingnya kedisiplinan, keterbukaan, dan mengajar pakai hati di
sekolah. Kalaupun ada yang terlihat beda, aku bisa bilang itu perubahan semu
yang terjadi hanya ketika ada seseorang yang terus menggojlok mereka, entah
itu Bapak Bebena (Mantan Camat) atau selagi ada PM. Tapi lagi-lagi yang
menggores hatiku, ini sudah tahun ke-3, apa jadinya kalau Indonesia Mengajar
tidak ada lagi, masa iya sekolah mau kembali ke bentuknya yang dahulu?
Sejujurnya, kultur yang paling
tidak kusuka di sini adalah suka membandingkan dan beraninya berbicara di
belakang. Bagaimana masalahnya bisa selesai? Siapa manusia yang suka
dibanding-bandingkan? Tiga omongan yang sering terngiang di telingaku:
‘Dolo, jaman Bapak Lassa jadi kepsek, sekolah ini bae,
katong guru sejahtera. Setiap terima dana BOS katong selalu dapa, tapi yang
sekarang deng Ibu Yaf ini cuma antua deng bendahara yang tahu barang itu.
Katong pung nasib kurang diperjuangkan, ada informasi apa ka di dinas seng
pernah dikasitau padahal antua paling rajin ke Saumlaki’
‘Dolo, jaman Bapak Bebena, setiap hari Senin katong naek di
kantor Camat la apel pegawai. Antua kasi nasehat par katong, lalu minum teh
sama-sama. Pokoknya di mana ada antua, di sana pasti ada Indonesia Mengajar.
Antua paling rajin acara kebersamaan, rajin turun ke sekolah kontrol, sampe
koliling kampung pi rumah warga, lalu selalu ada KKG dan rame skali Ibu Thella.
Doh, kalo camat yang sekarang ini, antua diam di tampa sa. Mangkali karena
antua jua sakit-sakit toh jadi paling jarang round, sampe sekarang mana KKG?,
lalu antua macam kurang perhatian ke Indonesia Mengajar e. Ibu Thella paling
sial sudah’
‘Dolo, Bapak Dedi itu seng peduli hujan ka apa, tetap sa
antua jalan kaki dari Wadankou. Antua bisa-bisa hampir sebulan kalau di sini,
deng Bapak Bagus su macam laki-bini sa sampe satu pi kamar mandi la satu lai
ikut mangkali. Bapak Dhimas jua paling kuat jalan, tiap minggu pasti liat Bapak
Billy di sini. Tapi kalo Bapak Eko macam laeng-laeng e, antua betah di tampa,
seng liat teman satu perempuan ka di sini su bemana. Kemarin katanya Raker
antua datang, kalo seng menginap paling seng turun sebentar ka ketemu Ibu
Thella, lucu masa langsung pulang begitu e...kasiang’
Aku meresponinya dengan tertawa di luar tapi siapa tahu
dalam hati sakit? Mereka menganggap itu hanya omongan santai dan melihat
reaksiku yang biasa-biasa saja, mereka agak sering mengulangi topik yang sama
hingga begitu melekat di ingatanku.
0 komentar:
Posting Komentar