“Siapa nama Camat
Molu Maru yang sekarang?”, tanyaku pada tim yang
kuikutsertakan dalam lomba Cerdas Cermat ‘Mengenal Indonesiaku’ pada 17
Agustus-an kemarin. “Marthen R. Bebena!”,
kata Sin Ratissa, siswa kelas VI dengan cepatnya. Teman di sampingnya yakni
Yunus Rahanwatty dan Naomi Wuarlela langsung menimpali, “Hoi, oz salah la. Itu bapa mantan camat, bukang yang sekarang lai!”. Entah
itu harus kumaknai sebagai kepolosan anak-anak atau sebegitu melekatnya kesan
sang bapa camat di hati masyarakat Adodo Molu. Bahkan tidak jarang baik dari
Pengajar Muda sebelumku, keluarga piaraku, guru-guru, bahkan staf kecamatan
sendiri sering membanding-bandingkan camat yang dulu dan sekarang. Meskipun tak
dapat dipungkiri kalau camat yang dulu lebih sering bergerak dan terlihat
dibanding yang sekarang, tapi menurutku wajar tiap-tiap pemimpin punya gaya
sendiri. Tak adil rasanya kalau kita tidak puas denagn camat yang baru hanya
karena beliau tidak sama dengan camat yang dulu. Yang terpenting bagiku adalah
menunggu kapan camat ini menunjukkan ‘taringnya’ dan membuat sebuah perubahan.
Tepat sehari sebelum HUT RI, Camat Molu Maru, Bapa Ampy F.
Melatawun, mengundang seluruh pegawai baik PNS, honor, dan Indonesia Mengajar
untuk rapat bersama di gedung SMPN 1 Molu Maru. Ini adalah pertemuan perdana
sang camat baru dengan seluruh pegawai, meskipun nyatanya tidak semua hadir.
Selama tiga bulan bertugas, beliau melakukan pemetaan terhadap masalah-masalah
yang ada di Kecamatan Molu Maru. Kecamatan tempatku bertugas ini baru
dimekarkan kurang lebih tiga tahun dan dahulu katanya jadi tempat buangan bagi
pegawai-pegawai yang nakal. Alhasil,
tidak jarang ketika tim-ku berkumpul di Ibukota Kabupaten, saat ditanya oleh
orang-orang dimana bertugas, mungkin teman-teman lain mendapat komentar yang
lebih positif dariku. Giliran aku menjawab ‘Adodo Molu’ dan Eko menjawab
‘Wadankou’, pasti komentar yang muncul, “Doh,
mau-maunya paling jau lai, berarti berdua ini ‘di-Momar-kan’ e”. Dan jujur,
sudah bosan rasanya aku meresponi dengan sabar, malah ada orang yang langsung
kutantang untuk berkunjung ke Molu Maru saat Pesparawi bulan November nanti.
Bayangkan, sudah pun tempat ini dijadikan sebagai tuan rumah event terbesar
se-Kabupaten, stigma ‘di-Momar-kan’ masih
betah bertengger. Ini masalah!
Persoalan pegawai adalah topik utama dalam rapat kemarin,
terutama soal disiplin pegawai. Ketika jam mengajar malah pergi mengail ikan,
mementingkan hal pribadi dibanding tugas kecamatan, izin ke luar daerah yang
seharusnya disampaikan ke atasan instansi sering diabaikan, kredit di bank yang
melampaui gaji bulanan sehingga harus mencari pekerjaan tambahan dan akhirnya
melalaikan tugas pokok, hingga lupanya meminta rekomendasi dari Camat untuk
melanjutkan jenjang studi yang ujung-ujungnya mempersulit ketika perubahan
status menjadi PNS. Masalah yang tak akalah pentingnya terkait pendidikan. Jam
masuk dan pulang sekolah yang tidak jelas, banyak kelas yang kosong meskipun
guru ada, anak-anak banyak yang berkeliaran di pantai atau numpang nonton TV
daripada belajar malam, dan parahnya buku panduan guru yang tidak diperbaharui
sesuai kurikulum yang berlaku sekarang. Menyambung masalah pendidikan tadi,
pastinya tidak lepas dari anak-anak, yang dianggap oleh bapa camat juga
bermasalah. Saat keluar main, biasanya anak-anak izin untuk pulang ke rumah
minum teh dan makan kue, tapi justru banyak anak-anak yang tidak kembali lagi
ke sekolah, lalu beberapa amsih datang ke sekolah tidak mandi, enggan
mengucapkan salam ketika bertemu dengan orang tua di jalan, hingga anak-anak
yang sering bikin ulah dan guru diberikan hak untuk memukul. “Ibu Thella, kalau anak-anak nakal, pukul
saja biar dong jera. Disini memang harus keras, Ibu seng bisa pake cara lembut
macam di Jawa sana.” Aku hanya membalasnya dengan muka datar. Lanjut ke
masalah ketiga yakni kesehatan, dimana fasilitas yang terbatas dan akses
menjangkau desa yang terpisah oleh laut disiasati dengan cara tenaga medis yang
ronda desa secara berkala.
Nah, bisa lihat kan paragraf untuk membeberkan masalah di
Kecamatan Molu Maru ini jadi yang paling panjang. Begitulah gambaran seorang
camat disini yang harus punya akal jauh lebih panjang. Saat beliau mulai
menjelaskan tentang strategi yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah di
Molu Maru, sambil pula aku putar otak untuk mencerna sekaligus memikirkan
masukan apa yang akan kuberikan. Mengatasi masalah disiplin pegawai, beliau
mengharuskan pegawai yang ingin izin ke luar daerah untuk memberikan permohonan
tertulis dengan keperluan yang jelas. Beliau juga mengingatkan pegawai untuk
melayani masyarakat dengan hati dan harus bisa kreatif dalam menyiasati
persoalan, bukan dengan membawa keluar masalah yang ada di instansi a.k.a
gosip. Terkait masalah pendidikan, beliau mewajibkan setiap pegawai yang lulus
pendidikan agama untuk menjadi pengasuh Sekolah Minggu atau Ibadah Tunas dan
akan berkoordinasi dengan pendeta dan Kades untuk mengawasinya. Selain itu,
beliau juga mewajibkan setiap sekolah membuat diktat untuk siswa sehingga kalau
ada guru yang meninggalkan kelas, anak-anak bisa tetap belajar dari soal-soal
yang ada. Lalu akan segera diberlakukan inspeksi pagi, dimana staf kecamatan
akan datang ke sekolah-sekolah setiap pukul 7 pagi untuk melihat apakah guru
sudah hadir dan mengawasi pengisian laporan absensi. Kuamati muka-muka hadirin
yang kelihatannya kaget dan tertekan, tapi hatiku cukup puas mendengar strategi
yang akan diterapkan sang camat baru ini.
Tak lama aku pun angkat tangan untuk memberikan pendapat
dan saran. Menurutku, ada yang sedikit terlewatkan oleh sang camat yakni soal
kedisiplinan pemimpin itu sendiri. Bagaimana bisa mendisiplinkan guru kalau
kepala sekolahnya saja jarang ada di sekolah? Pas saja ketika kebijakan
permohonan tertulis bagi guru yang ingin izin lalu diabaikan, lah pimpinannya
saja tidak ada di tempat – mau izin sama siapa? Itu makanya perlu ketegasan lebih
terkait izin yang diajukan, kalau perlu harus menyertakan surat resmi jadi
urgensi untuk meninggalkan tugas di sekolah jelas. Lalu harus ada batasan waktu
maksimal – ‘sampai urusan su habis baru balek’ jelas tidak bisa dijadikan
pegangan. Untuk wali kelas yang ingin pergi, harus menyiapkan materi ajar
selama anak-anak ditinggal, serta harus berkoordinasi dengan guru yang akan
menggantikan. Selain itu, aku juga mengusulkan agar guru-guru mau berkorban
sedikit demi anak-anak untuk memberikan les sore. Sejam atau dua jam tentu
tidak akan mengganggu pekerjaan di rumah, terlebih kalau anak-anak lebih
menangkap materi toh guru juga yang puas. Puji Tuhan ketiga usulanku ini
rupanya dapat diterima oleh Bapa Camat. Tinggal eksekusinya saja!
Empat hari setelah rapat, tepatnya di Senin pagi, Bapa
Camat dan Ibu sudah berada di sekolahku. Saat itu guru yang baru datang hanya
aku disusul Ibu Batmomolin. Ternyata apa yang disampaikan Bapa Camat bukanlah
isapan jempol belaka. Bahkan beliau yang turun sendiri menginspeksi
sekolah-sekolah dan Ibu Camat yang turun memeriksa kebersihan kuku dan gigi
anak-anak. Guru yang terlambat datang – meskipun memberi salam, mendapat
sindiran dari Bapa Camat dan beliau sekaligus mengingatkan untuk
dilaksanakannya upacara bendera mulai Senin depan. Keeseokan harinya, sekitar
jam 7 pagi sudah ada staf kecamatan yang datang di sekolah dan memberikan
daftar absensi guru. Yang terlambat masuk diberikan tanda alpha. Staf kecamatan kembali lagi jam 12 siang untuk mengecek
siapa guru yang pulang sebelum jam mengajarnya berakhir. Dengan demikian, seng ada lai yang parlente isi absen, seng
bisa lai tipu-tipu jumlah jam mengajar di laporan bulanan. Kurang lebih
empat hari strategi ini diterapkan, guru-guru mulai masuk dan pulang sekolah
tepat waktu. Aku berniat untuk memberikan format laporan les agar pihak
kecamatan memperbanyaknya untuk guru-guru sehingga semua punya tanggung jawab
terhadap anak didiknya. Ibaratnya, kalau tidak mempan ‘disentil’ dengan
sindiran, mungkin memang ini saatnya masyarakat Molu Maru ini ‘dicubit’ dengan
aksi langsung. Semoga hal baik ini bisa berjalan konstan dan merata di semua
desa, sehingga setahun ini aku bisa melihat perubahan kecil namun bermakna
terjadi.
0 komentar:
Posting Komentar