“Sekarang, kami tahu kalau pemikiran kami salah. Keanggunan seorang perempuan, bahkan sekelas istri pejabat pun, tidak bisa cuma dinilai dari polesan satu jam jadi.”
“Indonesia Mengajar kalau lagi
di Saumlaki tidak perlu pusing cari penginapan, tinggal di rumah dinas saya
saja. Nanti saya suruh siapkan kamar setiap kali kesini.” Begitu kira-kira kata Bapak Bitzael Sylvester Temmar atau yang akrab
dipanggil Bapak Bito. Suatu kehormatan bagi kami diberikan tawaran untuk
tinggal di kediaman Bupati Maluku Tenggara Barat. Beliau adalah sosok pemimpin
yang bersahaja, sangat konsen dengan pendidikan, teman diskusi yang kritis, dan
seperti ayah bagi kami ketika di rumah. Kami memandang tawaran ini sebagai
sebuah kesempatan untuk bisa lebih luwes dengan beliau dalam menjalin
komunikasi dan sekaligus upaya ‘penghematan’ mengingat biaya hidup disini cukup
tinggi. Ya, pengajar muda juga harus berpikir “sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui” kan?
Saat pertama datang, kami disambut oleh seorang ajudan Bupati, mungkin
lebih tepatnya orang kepercayaan yang selalu ada dimanapun Bupati berada.
Lelaki yang masih muda, ramah, dan cukup kooperatif dengan kami yang masih
baru. Kami diberikan dua kamar, satu untuk laki-laki dan satu lagi untuk
perempuan. Puji Tuhan dengan fasilitas yang nyaman, hanya saja kamar mandinya
di luar dan digunakan bersama. Kami juga dikenalkan dengan penghuni kediaman
Bupati lainnya, yang laki-laki mengakrabkan diri dengan para ‘jagoan’ dan yang
perempuan langsung menjamah dapur untuk membaur dengan kepala urusan rumah
tangga Bupati. Senang rasanya bisa diterima dengan hangat disini, yang sudah
kami anggap sebagai keluarga piara kami di Saumlaki.
Hal yang membuat kami tidak sabar adalah bertemu dengan Ibu Bupati,
yang dari cerita orang-orang disini sempat dinobatkan jadi ‘Bunda PAUD’ karena
kepeduliannya yang tinggi terhadap pendidikan. Sebelumnya memang pernah bertemu
beliau di acara resmi, tapi kami tidak sabar ingin melihat sisi lain seorang
ibu pejabat ketika berada di rumah. Pagi itu pertanyaan di kepala kami terjawab
sudah. Saat sarapan, ada seorang wanita berambut panjang diikat, memakai kaos
dan celana selutut, masuk menghampiri kami. Ya, beliau adalah Ibu Bupati, yang
bersahaja ketika menyapa kami orang baru ini. Beliau mengambil satu kursi dan
duduk semeja dengan kami. Jelas kami merasa sungkan, salah tingkah, sesekali
bingung harus memulai pembicaraan seperti apa. Tapi beliau mengajak kami
berbicara hal-hal yang ringan dan akhirnya obrolan bisa mengalir.
Kami tidak ingin dianggap
sebagai tamu, kami ingin dianggap sebagai keluarga.
Karena itu, setiap ada kesempatan kami selalu menyempatkan diri ke dapur untuk
membantu apa yang bisa kami bantu. Uniknya di hari kedua, pagi-pagi saat kami
bangun dan ingin mengambil air putih di dapur, kami melihat sudah ada Ibu
Bupati yang kelihatannya baru pulang dari pasar dan sedang sibuk menata
berkilo-kilo ayam potong di dalam freezer. Lebih kagetnya melihat meja makan, ada
jajanan pasar yang beliau beli untuk sarapan bersama. Tanpa pikir panjang, kami
yang perempuan bergegas ambil piring dan menata kue-kue tersebut. Sementara
itu, Ibu dan beberapa asisten rumah tangga masih sibuk mengeluarkan isi freezer
karena ayam potong yang dibeli jumlahnya sangat banyak. Kami sebenarnya ingin
membantu tapi apa daya, tidak ada lagi celah untuk berdiri karena sudah ada 3
orang asisten yang membantu Ibu. Di dapur ada dua freezer, yang satunya
ternyata penuh oleh bongkahan es yang menumpuk. Ibu Bupati menyuruh salah
seorang mengambil pisau besar yang bisa digunakan untuk mencongkel bongkahan es
yang terlanjur menempel keras. Awalnya, kami kira Ibu hanya memerintahkan
asistennya, tapi ternyata beliau sendiri yang mengerjakannya. Belum pernah saya
lihat seorang istri pejabat yang membersihkan freezer sendiri. Kami spontan
lihat-lihatan satu sama lain, seolah berkata begini, “Wah, seorang istri Bupati mau turun sejauh ini di dapur. Salut!”
Malam itu di hari ketiga, sepulang kami jalan-jalan untuk menikmati
konvoi malam takbiran, kami berencana untuk mengadakan perayaan kecil-kecilan.
Saya juga telah membeli minuman soda untuk menemani kami bermain kembang api.
Setidaknya membuat teman-teman yang akan merayakan Idul Fitri merasa tidak
kalah berkesannya dengan di Jawa. Sampai di rumah dinas Bupati, kami bergegas
ke dapur untuk menaruh minuman soda di dalam kulkas. Alangkah terkejutnya kami
saat melihat Ibu Bupati dan 5 orang asisten rumah tangga masih ada di dapur dan
sedang sibuk memasak. Ternyata besok bertepatan dengan hari Idul Fitri, sorenya
juga ada penutupan Jambore Klasis Tanimbar Selatan, dimana semua konsumsi
peserta yang jumlahnya 400 orang dimasak oleh tim kediaman Bupati. Tanpa pikir
panjang, kami langsung menawarkan bantuan dan benar saja, tim memasak masih
kewalahan soal pembuatan dus makan peserta. Akhirnya kami dimintai tolong untuk
mengerjakan kurang lebih 150 dus makan peserta di ruang tengah. Diselingi lagu
dan cemilan tic-tac tidak terasa
pekerjaan kami selesai. Saya bergegas ke dapur untuk menanyakan kira-kira ada
lagi kah yang bisa kami bantu. Tapi mungkin ini clue dari Tuhan agar kami bisa tetap merealisasikan pesta
kecil-kecilan, Ibu Bupati berkata, “Besok
sa dilanjut lai, su cape toh”. Sebagai penutup malam takbiran, kami membuat
kreasi ucapan lebaran untuk kemudian dijadikan properti foto kelompok. Usai
sesi foto, kami menuju halaman untuk menyiapkan minuman soda dingin dan bermain
kembang api. Senang rasanya melihat tawa lepas teman-teman, yang mungkin punya
kekhawatiran tidak dapat merasakan suasana Lebaran di daerah yang mayoritasnya
Kristen seperti ini.
Alangkah terkejutnya ketika kami sampai di dapur untuk menaruh
gelas-gelas kotor bekas pesta kecil-kecilan kami, ternyata Ibu Bupati masih ada
disana! Dengan muka yang terlihat jelas sangat letih, beliau masih sibuk
mengecek beberapa masakan yang belum matang.
“Ibu, katong kira su istirahat. Masakan harus jadi malam
ini ka?, tanyaku.
Beliau menjawab, “Iyo, sadiki lai biar besok tinggal mamasak
yang satu lalu isi di dos. Lagi dari pagi kan ada konvoi Lebaran sama Bapa toh,
anak-anak tidur ka muka sudah.”
Kami memang masuk kamar, tapi pembicaraan tentang Ibu Bupati masih
berlanjut. Kami sudah berkenalan dengan banyak ibu-ibu pejabat MTB, yang
kebanyakan ‘diimpor’ dari Jawa, Manado,
atau etnis keturunan. Yah, anggaplah ini pengakuan dosa tengah malam, kami
pernah berkomentar ketika melihat istri-istri pejabat duduk berderetan di
sebuah acara resmi. Seharusnya Ibu Bupati yang terlihat paling wah tapi kami justru menilai penampilan
beliau yang paling sederhana.
Kami bangun lebih pagi karena mulai jam 8 kediaman
Bupati akan ramai dengan mobil-mobil pejabat yang siap untuk konvoi. Suatu
kehormatan bagi kami bisa jadi bagian dari rombongan Bupati yang berkunjung
dari satu rumah ke rumah pejabat lain. Suasana Lebaran yang berbeda, bersyukur
untuk berkah-Nya. Tim kami terbagi menjadi dua, empat orang di mobil Dinas
Pendidikan, sementara aku, Didit, dan Intan diajak ikut mobil Kadis Perhubungan
bersama Ibu. Mobil rombongan berjalan menuju rumah Kasdim dan sesampainya
disana sudah ada tenda dan sederet makanan disiapkan. Satu-persatu ibu pejabat
mulai keluar dari mobil dengan kaftan berwarna cerah, tatanan rambut dan
make-up maksimal, sepatu hak tinggi, dan tas yang ditenteng ala Hermes. Mata kami pun tertuju kepada Ibu
Bupati, yang memakai dress selutut berwarna kalem, rambut diikat setengah,
make-up minimalis, dan sepatu yang tidak setinggi ibu-ibu pejabat lainnya.
Sekarang, kami tahu kalau pemikiran kami salah. Keanggunan seorang perempuan,
bahkan sekelas istri pejabat pun, tidak bisa cuma dinilai dari polesan satu jam
jadi. Kami mendapati sisi keanggunan Ibu Bupati justru di dapur, dengan baju
rumahan, wajah tanpa make-up, dan rambut diikat biasa. Kami yang perempuan pun
bertekad untuk meniru beliau, seperti apapun jabatan pasangan kami kelak, kami
harus tetap rendah hati dan pastinya bisa memasak. Setahun ini jadi waktu yang
tepat untuk belajar memasak di desa.
0 komentar:
Posting Komentar