“Seng sangka ada jua orang dari negara Cina yang mo pi ke katong pung desa kecil begini.”(Tidak menyangka ada juga orang dari Cina yang mau ke desa kecil kita ini)“Doh, katong orang Tanimbar sa, pikir ulang kalo mo pi ke Molu Maru. Apalagi musim Barat ini”(Orang Tanimbar saja berpikir ulang kalau mau ke Molu Maru, apalagi saat musim Barat)“Angin deng ombak seng dapa lawan Ibu Theilla, kaget nanti taputar di Wayangan sana no.”(Angin dan ombak tidak ada lawannya Ibu Thella, takutnya terputar di selat Wayangan)
Kurang
lebih itulah komentar warga desaku yang setengah tidak percaya kalau mereka
akan kedatangan tamu dari negara lain. Reaksiku pun tidak jauh berbeda saat
mendapatkan email dari Sekretaris Jendral Perhimpunan Pelajar Indonesia
Tiongkok (Sekjen PPI-Tiongkok), yang menyatakan ketertarikannya untuk
mengunjungi Kecamatan Molu Maru. Ternyata niat tidak sekedar niat, alangkah
sumringahnya ketika membuka Facebook dan ada tag poster program PPI Tiongkok yang dinamai “Bukan Jalan-Jalan
Biasa”. Mereka mengaku tersirap oleh keindahan alam Molu Maru dan foto polos
anak-anak desa yang sering saya upload ke
Facebook. Maksud program ini sederhana, menikmati liburan dengan cara yang
tidak biasa. Pergi ke sudut republik yang namanya jarang atau bahkan tidak
pernah terdengar, mengadakan kegiatan bersama anak-anak sekolah, dan belajar
hidup sebagai orang desa.
Awalnya
program ini disambut dengan antusias, namun satu demi satu mulai ragu setelah
aku mengatakan kalau mereka datang di waktu yang tidak tepat. Januari adalah
waktu di mana musim Barat beraksi, pusaran angin laut yang kencang dan gulungan
ombak yang ganas, akan menjadi teman perjalanan mereka. Aku memang blak-blakan
soal keadaan di sini, karena aku tahu biaya untuk sampai di desaku tidaklah
murah. Bayangkan dari Jakarta mereka harus menempuh 2x transit untuk sampai di
Saumlaki, lalu disambung dengan kapal selama 26 jam menuju desaku. Itu kalau
kondisinya baik dan transportasi lancar, parahnya di musim Barat segalanya
serba tidak pasti. Saat mereka mematok hanya bisa 10 hari di sini, aku tidak
berani janji, karena itu akhirnya PPI Tiongkok mengutus seorang perwakilan yang
memang suka berpetualang untuk survei lokasi terlebih dahulu. Sekarang giliran
aku yang ragu, karena yang datang hanya satu orang, kebetulan Sekjennya
laki-laki, dan ternyata anak salah seorang Menteri. Aku bingung bagaimana cara
mengoordinasikannya dengan Pemda MTB dalam hal fasilitasi, sementara Sekjen
PPIT memintaku untuk tidak membuka statusnya sebagai anak Menteri kepada Pemda
dan masyarakat desa. Ia ingin datang betul-betul sebagai perwakilan dari PPI
Tiongkok, sebagai seorang mahasiswa S2 yang rindu menularkan semangat belajar.
Ia tidak ingin dipermudah, mau menikmati proses sebagaimana adanya. Akhirnya,
kuhubungi Kepala Bagian Umum Kantor Bupati MTB untuk menyampaikan surat resmi
dari PPI Tiongkok sekaligus mengajukan permohonan fasilitasi. Puji Tuhan niat
baik kami disambut baik dan suratnya langsung didisposisi oleh Bapak Sekda MTB.
Bapak Kabag Umum pun berjanji untuk sebisa mungkin memfasilitasi tamu ini
hingga ke Molu Maru.
10 Januari 2013, ia sampai di Ambon dan
menurut jadwal siangnya langsung terbang ke Saumlaki. Namun, tagline yang tim kami ciptakan “Di MTB
yang PASTI hanyalah KETIDAKPASTIAN itu sendiri” terbukti benar. Pesawat
perintis batal berangkat karena mesinnya rusak dan harus menunggu kiriman dari
Jakarta. Pihak maskapai bahkan tidak bisa menjamin penumpang akan
diterlantarkan di Ambon selama berapa hari. Jelas aku panik bukan main,
masalahnya tamu yang datang kali ini baru perdana menginjakkan kaki di tanah
Maluku dan di Ambon tidak ada siapa-siapa yang dikenalnya. Aku menghubungi
Kabag Umum supaya ada upaya untuk segera mencari penerbangan lain menuju
Saumlaki. Namun, apa mau dikata, sang Sekjen harus bersabar menunggu 3 hari di
Ambon karena semua tiket pesawat perintis penuh. Setibanya di bandara Saumlaki,
aku dan Rena, rekanku yang bertugas di Lamdesar Barat, menjemput sang Sekjen.
Mengenakan kaos abu-abu dan topi yang senada bertuliskan NASA, rompi hitam
berbordir PPI Tiongkok, celana jeans, dan semi-boots
Timberland cokelat, mahasiswa S2 University
of International Bussiness and Economics (UIBE) Beijing itu tampak keren
tanpa terkesan eksklusif. Rena mengalungkan syal Tenun Kandar sebagai simbol
selamat datang di Tanimbar, sementara aku bertugas menjadi tukang foto dadakan.
Sesampainya di Hotel Harapan Indah, Fathan, begitu kami menyapanya, terlihat
sumringah menikmati kamar dengan interior kayu dan jendela yang langsung
menghadap ke lautan, pasar, dan Pelabuhan Saumlaki. Dalam hati, aku berkata
‘Anggaplah ini kompensasi selama terlantar di Ambon’.
Keesokan
harinya, kami mengajak Fathan ke kantor Bupati untuk berkenalan dengan Pemda
yang sudah banyak membantu kami selama ini. Fathan sempat bertemu dengan Bapak
Bupati, Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Dinas PU, dan beberapa pejabat lainnya.
Aku berencana memadatkan kegiatan sehari penuh agar esoknya kami bisa bergegas
ke Larat. Aku mengajak Fathan ke Kristus Raja, sebuah lokasi wisata iman yang
kulabeli sebagai Rio de Jainero – nya Tanimbar. Meskipun Fathan beragama
Muslim, namun ia sangat toleran dan terlihat antusias memotret sisi kehidupan
Kristiani di Tanimbar. Setelah dari Kristus Raja, aku mengajaknya melihat
arsitektur Gereja Hati Kudus Yesus yang menawan serta sebuah pohon di
halamannya yang katanya mirip seperti dalam film Lord of The Rings. Destinasi terakhir kami adalah Beringin Dua,
restoran pinggir pantai dengan kursi santai berwarna-warni seperti Google. Raut muka Fathan nampak takjub
melihat pemandangan yang ditawarkan di Saumlaki, “Beta seng sangka MTB indah begini”, ucapnya dalam bahasa Tanimbar.
Uji kesabaran nampaknya belum berakhir, aku mendapat kabar kalau kami belum
bisa berangkat dikarenakan ada larangan berlayar dari BMKG. Entah sampai kapan
harus menunggu jadwal kapal diizinkan berangkat, aku pun minta tolong ke Pemda
untuk dicarikan alternatif lain, paling tidak kami sampai Larat dulu.
Agak
lega rasanya mendapat kabar kalau ada speed
dari Waturu menuju Larat yang akan berangkat besok. Akhirnya Fathan dibawa ke
kediaman Bupati, tempat kami tinggal, untuk sekaligus pamit dengan Bapak dan
Ibu Bupati. Siang itu aku, Rena, dan Fathan bergegas menuju Waturu diantar oleh
Bu Arter (Bu = sapaan untuk laki-laki yang sepantaran). Fathan sempat meminta
kepada Bu Arter untuk menyetir mobil hingga Waturu, ia ingin merasakan sensasi
jalan berkelok dan berbukit ala Tanimbar. Sesampainya di Waturu, speed yang sudah lama menunggu meminta
kami untuk cepat agar terkejar dengan cuaca yang masih lumayan baik. Handycam tidak pernah lepas dari tangan
kami selama berlayar, bahkan aku nekat berdiri di bagian luar belakang speed untuk mengabadikan Tanjung Neraka,
Dabu-dabu Arma (pasir putih yang timbul di tengah lautan yang banyak burung
Pelikan Australia), dan Batu Tiga (kusebut sebagai Raja Ampat Mini). Pengemudi speed
menantang kami untuk berjalan dari sisi samping menuju ke depan agar bisa
melihat pemandangan lebih leluasa, memang ombak mendekati Larat sudah teduh.
Karena ini perjalanan berombak perdananya, Fathan sempat ragu untuk maju ke
depan, namun kami meyakinkannya kalau itu aman. Kami pun duduk di teras depan speed sambil berbincang-bincang dan tidak
terasa sudah sampai Larat. Kami bergegas ke rumah Ko A Guan, juragan speed di Larat untuk menanyakan kapan
kami bisa diantar ke Adodo Molu. Lagi dan lagi kami harus berpuas dengan
jawaban yang tidak pasti, “Katong liat
cuaca dolo, jang paksa ambil resiko toh. Barang lautan Molu Maru ini yang
paling ganas sudah, apalagi nona bawa tamu jadi yang penting keselamatan.” Kami
memutuskan untuk ke rumah Bapak Camat Tanimbar Utara, lapor diri sekaligus
minta izin bermalam di Mess Pemda. Sinyal EDGE yang cukup kuat di Larat seperti
menjadi pelipur lara bagi kami untuk sedikit mencari kesenangan ber-Instagram atau Whatsapp. Keesokannya, kami bangun jam 5 subuh dan bersiap ke
pelabuhan, berharap kalau cuaca bersahabat dan Ko A Guan mengizinkan speednya berangkat. Setelah hampir dua
jam menunggu, angin justru semakin kencang bahkan sempat ada motor yang
diparkir di depan toko pun bisa jatuh. Melihat muka kami yang masih berharap
bisa pergi, Ko A Guan memanggil Kepala Syahbandar Larat untuk menjelaskan bahwa
kondisinya benar-benar tidak memungkinkan. Kami disuruh bersabar hingga lusa,
karena besok adalah puncak keganasan musim Barat dengan kecepatan angin
mencapai 30 knot dan gelombang setinggi 6-7 meter. Rena agak beruntung karena
dari Larat bisa menggunakan jalur darat sampai Lamdesar Barat. Sang Sekjen yang
seyogyanya di desa Adodo Molu selama seminggu, terpaksa merombak semua susunan
acara dan memadatkannya menjadi 3 hari. Bagaimana pun caranya tanggal 25
Januari ia harus sudah tiba di Jakarta karena ada acara besar yang tidak
mungkin dilewatkan. Aku nyaris patah semangat, tapi sms dari orang-orang di
desaku yang mengatakan bahwa anak-anak SD dan SMP sudah menyiapkan tarian Dobol
dan Fanewa untuk penyambutan, membuatku kembali optimis.
Lusa,
sekitar jam 7 pagi, kami sudah berdiri di depan kantor pelabuhan, harap-harap
cemas kedatangan Bapak Kepala Syahbandar untuk memberikan lampu hijau. Cuaca
yang memang kala itu membaik juga membuat kami yakin akan diizinkan berlayar,
benar saja beliau berkata “Kalau Bapak
Henri yang bawa speed, saya percaya karena antua su biasa deng ombak Molu
Maru”. Kurang lebih sejam kami menunggu ABK mempersiapkan bahan bakar, saat
berjalan menuju speed, tiba-tiba
Bapak Kepala Syahbandar tampak berlari mendekat. Beliau mengatakan bahwa angin
sepertinya kembali kencang dan meminta kami untu berpikir ulang. Namun, karena
yang mengemudikan speed menyanggupi,
aku percaya bahwa Tuhan juga akan menyertai, maka kami nekat berangkat. Baru
setengah jam dari Larat, kami sudah disuguhi dengan hantaman ombak tinggi dan
harus menahan rasa sakit karena terbanting di dalam speed. Aku meminta handycam kepada
Fathan untuk mengabadikan momen yang belum tentu terulang ini, ia yang sempat
hampir marah karena kenekatanku akhirnya ikhlas memberikan. Selama sepuluh
menit aku merekam kondisi tengah lautan dekat Farnusa, ombak yang tinggi,
goncangan tanpa henti, air yang masuk dalam speed,
dan pengemudi speed yang sudah
basah kuyup. Kira-kira lima belas menit kemudian, kulihat muka Fathan agak
pucat ketakutan, aku dan ABK berusaha mengajaknya bersenda gurau agar tidak
terlalu tegang, tapi responnya di luar dugaan. Tiba-tiba Fathan muntah dan
tangannya agak bergetar berusaha mencari-cari plastik dalam tas carrier nya. Aku makin khawatir akankah
ia bertahan sampai Adodo? Kecepatan speed
diturunkan dan ABK berusaha menenangkan Fathan dengan berkata bahwa
sebentar lagi kita akan sampai. “Biasanya beta seng pernah takut apapun, tapi
baru kali ini beta takut setengah mati. Ombak Molu Maru memang seng ada
lawan!”, kata Fathan sembari tersenyum kecil. Sekitar 40 menit bertahan dengan
bantingan, akhirnya kami tiba di Wadankou Lama, pantai di belakang desaku. Sang
Sekjen terlihat lega dan sempat berbaring sebentar di speed sembari menunggu Bapak Labobar dan Kepsek SMP yang menjemput
kami.
Perjuangan
kami belum berakhir, kami masih harus berjalan kaki sekitar 20 menit menyusuri
bukit yang cukup licin untuk sampai ke desaku. Syukurlah, sang Sekjen tidak
pakai mengeluh malah ia terlihat tidak sabar menginjakkan kaki di Adodo. Orang
desaku memgira kalau Fathan adalah orang Cina karena perawakannya, sehingga
sempat ‘malu hati’ bercerita karena tidak bisa berbahasa Inggris apalagi
Mandarin. Aku sontak memanggil Fathan yang berjalan di depan dan berbicara
dalam bahasa Indonesia, aku menjelaskan kepada orang desaku kalau Fathan ini
orang Indonesia hanya saja kuliah di luar negeri. Sampailah kami di desaku dan
langsung bergegas ke rumah Kepala Desa untuk lapor diri sekaligus mengantarkan
Fathan yang akan menjadi ‘anak piara’ Bapak dan Mama Kades selama 3 hari. Kami
disambut dengan sukun goreng, ampas tarigu, dan teh manis panas. Halaman rumah
Kades penuh dengan anak-anak yang datang untuk melihat tamu dari negara lain
ini, orang dewasa pun tidak mau ketinggalan. Sekitar sejam bercerita bagaimana
perjalanan Larat-Adodo, Fathan memohon izin untuk mandi lalu beristirahat. Aku
menitipkan pesan kepada Mama Kades untuk memasak makanan tanah dan ikan,
pokoknya tampilkan apa adanya desa karena memang itu yang ingin dinikmati oleh
tamu yang rela datang dari jauh ini. Aku pun kembali ke Pastori.
Sebenarnya,
aku sudah meminta tolong kepada salah seorang pemuda desaku, Anton Silety,
untuk menjadi pendamping sang Sekjen selama di Adodo. Namun, ia meminta maaf
karena harus menjaga saudaranya yang sakit keras. Jadilah Kelvin dan Dede, dua
jagoanku di SD yang menjadi pengawal setia Fathan selama di Adodo. Dua bocah
ini memang berani bicara dan mudah akrab dengan orang baru, Fathan juga
terlihat senang didampingi oleh mereka. Minggu pagi, aku ke rumah Bapak Kades
untuk menanyakan kapan Fathan akan snobak
(doa adat dengan tradisi mencicipi sedikit sopi). Aku juga menanyakan
kesediaan Fathan untuk memperkenalkan diri di gereja, karena saat ibadah Minggu
lah masyarakat desa berkumpul. Ternyata sang Sekjen bukan hanya bersedia masuk
gereja tetapi mengikuti ibadah dari awal karena ia bilang takut mengganggu jika
tiba-tiba masuk gereja hanya untuk perkenalan. Ia mengaku di Beijing sudah
pernah masuk gereja jadi tidak terlalu asing, hanya saja mungkin tata ibadahnya
yang berbeda. Saat kami berdua masuk, semua mata memandang. Tiba saatnya Fathan
maju ke mimbar kecil untuk memperkenalkan diri, mata-mata semakin terlihat awas
dan penasaran tentang siapa sebenarnya pemuda yang datang bersamaku ini.
Terlebih saat sang Sekjen mengatakan bahwa dirinya seorang Muslim, raut muka
orang-orang desa semakin sulit kutebak. Sepulang dari gereja, kami berdiskusi
untuk menyicil kegiatan di SD bagi kelas I-III siang ini, sembari menunggu Mela
Lanith (Tua Adat) yang mau snobak. Kami
tersentak ketika mendengar ada kabar bahwa salah seorang siswa SMA meninggal,
berduka sekaligus panik harus bagaimana menyiasati acara yang telah kami susun.
Tapi majelis gereja mengatakan tidak masalah kegiatan tetap berlangsung di SD
setelah pemakaman nanti. Aku datang melayat ke rumah duka sambil mengabadikan
prosesi siswa yang membentuk pagar hidup mengiringi pengantaran jenazah. Usai
pemakaman, Kepsek menyuruh anak-anak kelas I-III langsung menuju SD untuk
mengikuti kegiatan yang diadakan oleh Sekjen PPI Tiongkok.
Untuk
anak-anak kelas rendah, kami merancang kegiatan yang sederhana tapi
menyenangkan. Diawali dengan perkenalan singkat, dilanjutkan dengan menonton
video testimoni dan pertunjukan budaya Indonesia dari kakak-kakak yang kuliah
di Tiongkok. Aku mengamati wajah anak-anak yang begitu polos, mulut menganga,
dan mata nyaris tidak berkedip. Tumben kelas rendah yang biasanya sulit diatur,
menjadi begitu anteng. Setelah itu, kami membagi mereka ke dalam 5 kelompok,
masing-masing kelompok didampingi oleh seorang guru. Fathan memasang lagu
anak-anak berbahasa Mandarin berjudul ‘Tian Mi Mi’ (artinya: Si Manis),
mengajak bernyanyi bersama, dan menantang masing-masing kelompok tampil
melantunkannya disertai gaya. Meskipun lagunya pendek, tetap terasa susah
karena berbahasa Mandarin. Namun, karena kelompok yang menang dijanjikan
hadiah, anak-anak makin bersemangat, tidak peduli pelafalannya agak salah yang
penting bisa tampil heboh. Setelah setengah jam berlatih, gilirannya kami harus
tampil. Lucunya, hampir semua anak-anak meniru gaya kelompokku, hanya kelompok
Ibu Kepsek dan Fathan membuat gerakan di detik-detik terakhir. Puji Tuhan,
kelompokku mendapat juara I dan anak-anak senang pulang membawa lagu baru dan
bingkisan.
Hari
berikutnya, kami mengusahakan satu hari penuh bisa melaksanakan kegiatan untuk
siswa SD kelas IV-VI, SMP, serta SMA. Entah mengapa bulan Januari rasanya bulan
penuh cobaan bagi desaku, jam 6 pagi kami dikagetkan kembali dengan berita
meninggalnya seorang anak remaja tanggung yang rumahnya berselang dua rumah
dariku. Untunglah perkataan dari majelis dan Ibu Kepsek sedikit melegakan, kami
tetap diizinkan berkegiatan namun saat lonceng gereja berbunyi diminta untuk
berhenti sementara karena akan ada pemakaman. Jam 7 pagi, kami sudah berada di
sekolah untuk mengambil gambar anak-anak yang menari Dobol. Memang sedari awal,
kami berniat untuk merekam setiap momen perjalanan dan kegiatan untuk kemudian
akan disatukan menjadi seperti film supaya dapat dipertontonkan di KBRI
Tiongkok, Pemda MTB, dan warga desa Adodo. Jadilah, semua merasa seperti artis
yang sedang di shooting. Supaya
hasilnya bagus, aku yang menjadi kameramen dadakan rela memanjat tembok bahkan
pohon. Selesai persembahan tarian Dobol, ada sesi foto bersama dengan anak-anak
dan guru-guru. Barulah anak-anak disuruh masuk teratur ke kantor guru untuk
mengikuti lomba rangkai dan mewarnai puzzle
yang bernuansa Cina. Mereka
dibagi ke dalam 9 kelompok, ada yang mendapat puzzle panda di hutan bambu, ada pula kumpulan dumpling bertuliskan bahasa Mandarin. Dari 9 kelompok yang
bertanding, terpilihlah 2 kelompok terbaik yakni kelompok Maikel Laulu dan
Santos Kabungsina. Dua karya terbaik ini dibawa sang Sekjen untuk kemudian
dipajang di KBRI Tiongkok dan masing-masing anggota kelompok yang menang
mendapatkan hadiah berupa puzzle kartun.
Sementara 7 karya kelompok lainnya, akan dipajang di kantor guru. Karena masih
ada sisa 3 puzzle, aku memberikan
kuis rebutan untuk anak-anak. Yang pertama dimenangkan oleh Sin Ratissa karena
berhasil menjawab tempat tinggal para Pengajar Muda selama 3 angkatan di Adodo
Molu. Yang kedua direbut oleh Yunus Rahanwatty yang berhasil menyebutkan nama
lengkap dari 6 orang guru Indonesia Mengajar di Molu Maru. yang terakhir
kuberikan kepada Naomi Wuarlela karena bisa menyebutkan nama guru-guru SDK
Adodo Molu meskipun tidak hafal semua. Anehnya, anak-anak lebih hafal nama
lengkap para Pengajar Muda dibanding nama guru-guru yang telah bertahun bersama
mereka. Antara tertawa dan kesal melihat tingkah mereka, guru-guru menyuruh
anak-anak menghafalkan nama guru-guru SDK Adodo Molu dan besok akan dites satu
per satu.
Selesai
dengan SD, kami lanjut dengan kegiatan di SMP. Dibuka dengan persembahan Tnabar
Fanewa dan dilanjutkan dengan perkenalan singkat. Siswa-siswi SMP diminta untuk
membentuk kelompok dan diajak membuat peta Cina dari bubur kertas. Jujur saja,
aku sempat ragu dengan ide sang Sekjen ini. Tapi keraguanku runtuh oleh
antusiasme dan senyum simpul mereka menyambut pengalaman baru. Sang Sekjen
tampak sabar membimbing tiap-tiap kelompok untuk menggambar peta di atas
triplek berukuran 40x40cm. Tidak lama, beberapa siswa yang ditugaskan membuat
bubur kertas melaporkan bahwa adonan sudah jadi. Muka mereka terlihat sangat
tidak sabar membentuk bubur di atas triplek. Setelah jadi, Fathan meminta
masing-masing kelompok berpose menunjukkan hasil karyanya. Ada yang sangat
mirip dengan gambar di atlas tapi sayang berukuran kecil, sebaliknya ada yang
ukurannya sudah pas namun kurang mirip aslinya. Fathan meminta masing-masing
kelompok untuk menjemur karyanya di bawah matahari dan setelah kering barulah
mereka bisa berkreasi dengan warna. Karena prosesnya cukup lama, Fathan meminta
mereka untuk pulang dan berkumpul sekitar jam 7 malam di ruangan SD untuk
menonton video testimoni dari Beijing sekaligus pengumuman pemenang. Aku dan
Fathan berkeliling melihat hasil karya siswa-siswi SMP, sebenarnya tanpa
menunggu malam pun kami sudah sependapat menentukan kelompok mana yang akan
menjadi pemenang. Hadiahnya berupa kamus saku Bahasa Inggris untuk kelompok dan
masing-masing anggota akan mendapatkan pin bertuliskan ‘Katong pung hati par Molu Maru’ yang sebelumnya kupesan dari
rekanku Intan yang cuti pulang ke Jogja.
Saat
berjalan dari SMP menuju ke gedung SD, dari kejauhan kami sudah melihat Bapak
Yan Sabono, guru favorit di SMA, duduk di tempat santai bersama sekumpulan
siswa-siswi SMA. Saking bersemangatnya, kami memutuskan untuk menunda makan dan
lanjut berkegiatan bersama mereka. Kali ini, sang Sekjen mengemas acara secara
luwes bahkan meminta mereka memanggilnya dengan sebutan ‘kakak’. Sebelumnya
memang aku bercerita kepada Fathan tentang betapa parahnya kondisi SMA Negeri
Molu Maru yang tanpa buku, kurang guru, dan banyak siswa yang putus sekolah
karena hamil atau keluar daerah bekerja. Karena itu, kutekankan pada Fathan,
bagaimana pun kemasan acaranya haruslah dapat menyentuh kembali motivasi
belajar mereka. Fathan meminta mereka untuk duduk di lantai membentuk setengah
lingkaran lalu berkenalan satu per satu sambil menyebutkan cita-cita. Uniknya,
ada seorang siswi yang blak-blakan mengatakan bahwa dia belum memikirkan mau
jadi apa, bahkan setelah SMA mau lanjut kemana. Ya begitulah kenyataannya,
banyak yang lulus SMA hanya mengejar ijazah dan kebanggaan orang tua. Padahal, desaku
Adodo Molu ini adalah kota kecamatan, tapi sarjana terbanyak justru berasal
dari desa sebelah, Wulmasa. Setelah berbincang santai dan nonton video
motivasi, Fathan menggambar 9 buah titik di papan tulis dan meminta mereka
menyambungkan semua titik hanya dengan 4 garis. Mereka diingatkan untuk
berpikir out of the box, apapun
caranya yang penting hasilnya benar. Setelah 15 menit, belum ada satu pun yang
berhasil, malahan ada yang bukunya hampir penuh dengan coretan garis. Tepat
setengah jam, akhirnya mereka menyerah dan meminta Fathan untuk menggambar
garis yang benar. Kening mereka berkerut saat melihat garis sambungan di luar
titik, sembari mencoba kembali, mereka dengan seksama mendengarkan penjelasam
dari Fathan. Acara diakhiri dengan kegiatan menggambar cita-cita, syaratnya
tidak boleh ada tulisan sedikit pun, gambarnya tidak biasa, dan maknanya
terlihat. Aku tertarik melihat yang dibuat oleh Yosalinda, gambar berukuran
kecil seorang gadis yang memegang tas dan meloncat menggapai bintang. Ternyata
setelah semua mengumpulkan karyanya, Fathan dan Bapak Yan Sabono sepakat bahwa
Yosalinda yang menjadi juara I disusul dengan Urbanus Messa yang menggambar
kehidupan polisi dan Agustina Wuarlela yang menggambar seorang guru lain
daripada yang lain. Ketiga pemenang masing-masing mendapatkan satu kamus saku
Bahasa Inggris dan satu buah pin besar bergambar wajah keenam Pengajar Muda
Molu Maru dengan tulisan ‘Katong bangga jadi anak Molu Maru’. Usai sesi foto
bersama, sekumpulan siswa SMA meminta kesediaan Fathan untuk berbincang sedikit
dan akhirnya memberanikan diri meminta nomor HP sang Sekjen. Lega dan puas
rasanya karena acara hari ini boleh berjalan lancar dan siswa-siswa SD hingga
SMA terlihat senang. Kami pun kembali ke rumah Bapak Kades untuk makan malam sambil
mendiskusikan rencana kepulangan Fathan.
Tempat
tugasku ini memang tempat paling tepat untuk belajar kesabaran. Bagaimana
tidak, motor laut yang dijadwalkan berangkat besok tiba-tiba batal karena ABK
lupa memindahkan motor ke kampung lama. Tuan motor pun tidak bisa menjamin
kapan motor akan pergi ke Larat, semua bergantung pada cuaca. Aku menghubungi
Ko A Guan di Larat untuk meminta tolong agar speed kemarin menjemput kami di kampung lama. Lagi dan lagi
kesabaranku diuji, Ko A Guan berkata bahwa di Larat lagi kehabisan bensin,
menjemput mungkin bisa tapi mengantar hingga ke Waturu tidak mungkin cukup.
Segera aku menghubungi Bagian Umum Kantor Bupati untuk menanyakan solusi
kepulangan tamu kami ini, Bu Arter yang sedari awal membantu kami pun meminta nomor
Ko A Guan kepadaku. Ternyata instruksi dari MTB 1 lah yang membuat Ko A Guan
mau bersusah payah mencari bensin ke desa-desa sebelah demi menjemput sang
Sekjen PPI Tiongkok ke Molu Maru lalu pada hari itu juga diantarkan sampai
Waturu. Keesokan paginya speed melaju
dari Larat menuju Molu Maru, aku yang tadinya hanya ingin mengantar sampai
kampung lama, akhirnya ikut sampai Saumlaki karena Kepsekku menyuruh mengurus
data Dapodik SD di Dinas Pendidikan. Puji Tuhan ombak dan angin tidak separah
ketika kami berangkat kemarin, tidak perlu trauma terbanting dalam speed. Kepala Puskesmas dan Kepsek SMP
yang ikut menumpang di speed menawarkan
untuk singgah sebentar di Pulau Lima mengambil foto-foto karang yang indah lalu
singgah di Pulau Rotan tempat piknik burung Pelikan dari Australia. Sang Sekjen
terlihat sangat senang dan puas memotret berbagai keindahan pantai,
burung-burung, bahkan bawah laut. Aku pun menarik nafas panjang seraya berkata
dalam hati, ‘Tidak sia-sia sang Sekjen
menghabiskan banyak uang hanya untuk sampai di desa kecil di sudut republik.
Sepertinya ini bukan sekedar survei lapangan yang menyenangkan tapi juga
liburan paling berkesan dalam hidupnya. Semoga...’ Sesampainya di Larat,
hanya aku dan Fathan yang melanjutkan perjalanan ke Waturu, namun kali ini
pengemudi speednya ditukar. Kurang
lebih dua jam perjalanan, sampai juga kami di Waturu dan dijemput oleh Bu Nyong
dan Bu Eki, orang kediaman Bupati. Bu Nyong yang terkenal lihai membawa mobil,
berhasil mempersingkat waktu tempuh Waturu-Saumlaki yang normalnya 2,5 jam
menjadi 1,5 jam saja. Sesampainya di Saumlaki, kami diantarkan ke Hotel Harapan
Indah dan alangkah bersyukurnya aku karena mendapat jatah satu kamar malam itu.
Memang, Bapak Bupati berpesan bahwa sepulangnya sang Sekjen PPI Tiongkok dari
Adodo, ada semacam asesmen dan usul-saran yang bisa diajukan ke Pemda terkait
dengan masalah pendidikan dan potensi lokal. Karena itulah aku diminta untuk
berdiskusi dengan sang Sekjen sebelum esok siang ia berangkat ke Ambon. Setelah
mendapatkan poin-poin yang akan diajukan ke Bupati, kami melihat hasil foto dan
menonton semua rekaman perjalanan dan acara di Adodo. Takjub dan terharu
membayangkan kalau video-video ini diedit lalu disatukan menjadi sebuah film
dokumenter yang di-CD-kan dan dipertontonkan di Tiongkok sana. Terlintas
celetukan salah satu Ibu di desaku, “Ibu Theilla, seng malu ka kasi liat
orang-orang di negara jauh sana, barang katong pung muka kering seng bae
begini?” (Ibu Thella, apa tidak malu memperlihatkan muka kami yang jelek ini ke
orang-orang di negara sana?). Sambil tersenyum kecil, tanpa sadar aku berkata
pelan, “Beta pung hati memang par kamong, Adodo. Biking orang susa kombali
sa..” (Hatiku untukmu, Adodo. Jadi enggan untuk pulang).
0 komentar:
Posting Komentar