“Pendidikan ibarat mendirikan bangunan, pondasinya harus kuat.Terlebih ini bangunan hidup!”
Kecamatan
Molu Maru adalah kecamatan termuda di kabupaten Maluku Tenggara Barat. Letaknya
yang sangat jauh dari ibukota kabupaten, Saumlaki, serta akses transportasi
yang terbatas, membuat kecamatan ini jarang mendapat perhatian dari pemerintah
daerah. Terlebih stigma masa lalu yang masih lekat di kepala banyak orang,
bahwa daerah ini adalah tempat pembuangan bagi pegawai yang bermasalah dan
punya cerita magis yang cukup tragis. Tidak heran jika pegawai pemerintahan
menganggap bahwa penugasan ke Molu Maru bak sebuah kutukan, istilahnya ‘di-Momar-kan’. Banyak yang meminta
peninjauan kembali SK-nya, mengajukan mutasi kembali padahal baru sebentar
bertugas, atau mau tidak mau terima nasib tapi lebih sering pulang ke
kampungnya daripada menjalankan tugas. Padahal, pemekaran kecamatan yang dahulu
bergabung dengan kecamatan Wuarlabobar ini justru diharapkan dapat mempercepat
pembangunan dan mendekatkan warga Molu Maru dengan kemajuan, sehingga bisa
mengikis keseraman persepsi yang terlanjur ada.
Molu
Maru, ibarat bayi yang baru belajar menapak, secara mengejutkan merebut juara
III dalam ajang sekelas Pesparawi Kabupaten, mengalahkan ketujuh kakak-kakaknya. Belakangan nama Molu
Maru semakin eksis karena terpilih menjadi tuan rumah Pesparawi ke-II tingkat
kabupaten. Desa Adodo Molu sebagai kota kecamatan mengalami pembangunan yang
sangat pesat, mulai dari tersedianya PLTS, pemancar sinyal, dan internet.
Pembenahan fasilitas ini jelas menyumbangkan nilai positif bagi Molu Maru, tapi
pertanyaan selanjutnya: “Telah siapkah masyarakat di Molu Maru untuk meroket?” Hal ini berujung kepada sebuah
kata, yang hingga saat ini menjadi PR tersulit pemerintah daerah kabupaten MTB,
yakni pendidikan. Jangan bosan melihat kepala dan staf dinas pendidikan
berseliweran di kantor Bupati, sebab selama dua periode menjabat, persolan
silang-sengkarut pendidikan memang menjadi sorotan sang priyayi.
1
Oktober 2013 seolah menjadi hari keberuntungan masyarakat Molu Maru. di mana di
tempat lain mungkin sibuk dengan upacara Hari Kesaktian Pancasila, namun
suasana berbeda dirasakan oleh masyarakat Molu Maru yang kedatangan serombongan
pejabat daerah. Yang paling menyambut antusias tampaknya adalah para pegawai
pemerintahan karena pastinya di sela kunjungan melihat kesiapan kecamatan
menyambut Pesparawi, akan tersisip sesi pertemuan pejabat dengan pegawai.
Kesempatan ini tentunya tidak disia-siakan oleh kepala sekolah dan guru untuk
mengeluarkan bermacam keluh-kesah. Dari sekian banyak hal yang dikeluhkan,
tidak jauh-jauh dari tiga hal yakni kurangnya tenaga pendidik, pembenahan
fasilitas sekolah, dan kesejahteraan pegawai. Saat sesi tanya-jawab dibuka oleh
Camat Molu Maru selaku moderator, tangan-tangan sudah terangkat dan berebut
mendapat giliran awal.
Seorang
guru SMP Negeri 1 Molu Maru melontarkan borongan pertanyaan, mulai dari masalah
kebijakan mutasi yang tidak disiplin, pembangunan ruang kelas yang terbengkalai
karena kontraktornya kabur, dan pengangkatan guru honor agama sebagai PNS.
Dilanjutkan dengan perwakilan guru honorer SMA yang mengeluhkan ketersediaan
tenaga pendidik yang sangat kurang terlebih tahun ini ada anak kelas XII yang
akan Ujian Nasional. Perlu diketahui, satu-satunya SMA di kecamatan Molu Maru
ini hanya memiliki 2 guru PNS selebihnya adalah guru honor yang kebanyakan
‘sukarelawan’ dan diangkat oleh SK Kepala Sekolah. Fasilitas SMA juga amat
memprihatinkan, hanya ada 4 ruangan, 1 ruang guru dan 3 ruang kelas, sementara
rombongan belajar ada 5. Alhasil, kelas XI dan XII IPA terpaksa digabung dalam
satu ruang kelas, begitupun untuk IPS. Kepala SD Kristen Adodo Molu menggenapi
suara dengan mengeluhkan gaji guru kontrak daerah yang tidak dibayar dari Januari hingga September dan senada dengan
guru SMP, SD juga menyayangkan pembangunan perpustakaan yang tidak kunjung
rampung sejak setahun lalu.
Jikalau
aturan ‘PNS bersedia ditempatkan di mana saja’ sudah menjadi jiwa dalam diri
setiap guru, tentu tidak ada lagi yang mengeluh saat ditugaskan sekalipun di
ujung utara kabupaten. Sebagaimana diungkapkan oleh filsuf dan ahli pendidikan
N. Driyarkara, hanya ada dua tipe guru: guru yang kebetulan dan guru yang
betul-betul. Amat disayangkan makin hari makin banyak yang ingin jadi guru
bukan karena sadar talenta atau panggilan hidup, tetapi karena tergiur
tunjangan sebagai PNS. Tidak heran banyak guru yang tidak betah di tempat,
berlama-lama meninggalkan desa dengan segudang alasan. Kebijakan pengumpulan
laporan bulanan sekolah kepada kecamatan sebagai prasyarat pengambilan gaji
ternyata tidak cukup efektif menertibkan pegawai. Praktik ‘TST’ (Tahu Sama
Tahu) antara kepala sekolah dan para guru bukanlah cerita baru, bahkan ini juga
jelas terbaca oleh pemda. Karena itu, salah seorang pejabat berwenang,
sekaligus menyosialisasikan kepada seluruh pegawai di Molu Maru, terkait usulan
diberikannya beban tambahan di pundak kepala desa untuk mengawasi perizinan
guru yang ingin keluar daerah. Namun, untuk mencegah arogansi, sang pejabat
mengatakan akan dibuat format yang sama untuk semua kepala desa. Sebagai
pelengkap atribut penertiban, penulis mengusulkan tumpukan permohonan mutasi di
disdik juga harus dikaji ulang dengan memperhatikan pemerataan distribusi guru.
Kalau perlu pegawai yang bandel diberikan sanksi yang tegas.
Gagasan
pembangunan SMA Negeri 1 Molu Maru lahir dari keprihatinan atas tingginya angka
putus sekolah karena siswa-siswi lulusan SMP enggan untuk ke luar daerah
melanjutkan pendidikan. Namun, pertimbangan untuk membangun sekolah jelas tidak
sesederhana itu. Mengapa buru-buru bangun sekolah kalau tidak ada guru dan
fasilitas? Apakah pembangunan sekolah dimaksudkan sebagai ladang tuaian
pundi-pundi oleh segelintir pihak? Justru lebih kasihan melihat kondisi siswa
SMA saat ini, yang belajar tanpa bangku-kursi, kurang buku, dan kurang guru.
Status sekolah yang masih belum jelas membuat dana BOS yang diterima oleh SMA
jumlahnya masih minim. Syukur-syukur bisa membeli buku pegangan untuk semua
guru, menurut pengakuan salah seorang guru SMA untuk honor mereka saja tidak
seberapa. Senada dengan pembangunan gedung sekolah, pembangunan sarana penunjang
seperti perpustakaan yang dibiayai oleh DAK dan dikerjakan oleh kontraktor juga
selayaknya mendapat pengawasan ketat. Kepala sekolah dan Panitia Pembangunan
Sekolah (P2S) harus pasang mata setiap tahapan pencairan dana dan sejauh mana
progres bangunan. Bayangkan saja, perpustakaan SDK Adodo Molu yang dibangun
sejak tahun 2012, sudah sekian lama teronggok
dalam kondisi 70%. Sudah pernah ada upaya pelaporan namun belum ditanggapi
serius, hingga kebetulan kadis terkait berkunjung ke Molu Maru, barulah pihak
sekolah dapat langsung membeberkan nama kontraktor yang tidak bertanggung jawab
beserta foto bangunan sebagai bukti. Ulah kontraktor nakal ini jelas tidak
boleh dibiarkan, seharusnya dimasukkan ke dalam daftar hitam sehingga ke depan
tidak bisa ikut lelang proyek lagi.
Masalah
berikutnya adalah pengangkatan guru honor agama sebagai PNS. Produk kebijakan RI
1 ini awalnya bertujuan untuk mengatasi kekurangan guru. Namun, makin kesini,
arahnya makin menyimpang dan menyulitkan Pemda sendiri. Bagaimana tidak,
alih-alih memenuhi ketersediaan guru, justru banyak yang ingin ambil jalan
pintas untuk ‘diangkat’. Tidak heran kalau guru terbanyak berasal dari sekolah
agama, PAK, atau SGO. Konon, sejak 2009 kebijakan ini sudah di-non-aktifkan,
tapi hingga sekarang masih banyak guru honor yang diangkat dan bukan
bermodalkan SK resmi dari Bupati. ‘Pahlawan dengan tanda jasa’ menuntut adanya
kesejahteraan dengan harap-harap cemas akan
pengangkatan. Jika tidak kunjung diangkat, jangan-jangan guru mulai
menyesuaikan jam mengajar dengan gajinya di sekolah.
Kualitas
pendidikan ibarat sebuah harga diri, termasuk bagi kecamatan Molu Maru sendiri. Saat
bangunan mati sudah berdiri tegak, bagaimana dengan bangunan hidup?
Terutama untuk Adodo Molu sebagai kota kecamatan yang seharusnya menjadi
contoh, ternyata kualitas pendidikannya masih tertinggal dibanding desa Wulmasa
dan Tutunametal. Keberadaan guru Indonesia Mengajar yang sudah menginjak tahun
ketiga pun belum memperlihatkan perubahan yang signifikan. Bukan berarti tidak
memberikan pengaruh, tapi lagi-lagi ini masalah kemauan yang tidak bisa
dipaksakan. Mulai dari pembenahan manajemen sekolah, cara guru mengajar
kreatif, hingga peningkatan kemampuan IT guru, semuanya sudah diberikan.
Masalahnya tinggal bagaimana seluruh pihak mau saling mendukung dan
melaksakannya secara berkelanjutan. Laut Banda dan ombak ganas di Selat Wayangan
bukan jadi alasan pendidikan di Molu Maru tertinggal dari Larat bahkan Saumlaki
sekalipun. Yang terpenting adalah perubahan mindset
dan kemauan berusaha lebih dari tenaga kependidikan itu sendiri. Selain itu
fungsi kontrol yang selama ini belum maksimal, mengingat di Molu Maru belum ada
UPTD, haruslah segera diupayakan oleh Dinas Pendudikan Kabupaten. Sudah saatnya
pendidikan tidak lagi dipandang sebagai proyek, tapi disadari sebagai persiapan
regenerasi pemimpin untuk membangun bangsa. Penyelenggaraan pendidikan yang
sehat juga bukan hanya tanggung jawab pihak sekolah, tapi semua pihak
diharapkan punya rasa peduli.
0 komentar:
Posting Komentar