Beberapa hari ini Jakarta diguyur hujan deras. Macet sekarang punya teman yakni banjir. Rasanya orang malas untuk berpergian, sekalipun untuk ke kantor. Namun, saya justru sedikit lembur karena menyiapkan acara lelang lukisan untuk Komnas Anak di tanggal 13 Februari nanti. Jam dinding sudah menunjuk angka 6 dan kantor pun terlanjur sepi. Iseng saya mengulik film Indonesia terbaru dan menonton trailer “Nada untuk Asa”. Biasanya jika ada film yang bagus, saya lebih memilih untuk mencatat judulnya lalu menanyakannya ke abang penjual DVD bajakan langganan. Selain lebih murah, tentu saya bisa menontonnya kapan saja tanpa perlu khawatir kehabisan tiket atau sekedar menjawab pertanyaan Mbak-mbak 21 “Berapa tiket mbak?” kepada saya yang jelas-jelas datang sendiri. Nasib, belum punya pacar. Ah, sudahlah kita kembali ke topik. Nah, sayangnya untuk film Indonesia, DVD bajakannya sedikit lama keluar dan kualitas gambarnya pun tak terlalu bagus. Karena penasaran dengan film yang mengangkat tema positif HIV ini, saya nekat berdamai dengan macet dan hujan demi ke bioskop Cijantung.
Saya sampai
saat film telah diputar 10 menit yang lalu, untungnya masih bisa menerka jalan
cerita awal. Nada (Marsha Timothy) adalah ibu dari 3 orang anak yang baru
ditinggal suaminya (Irgi A.Fahrezi) yang meninggal akibat AIDS. Pukulan
terberat Nada adalah mengetahui kalau suaminya turut menularkan virus itu
kepadanya, hingga akhirnya baik Ayah (Mathias Muchus) maupun Kakak kandungnya
sedikit menjauh. Namun kepedihan Nada tak berhenti sampai disitu. Dokter
menyarankan Nada untuk memeriksakan anaknya yang paling kecil, Asa (Acha
Septriasa), demi mengetahui apakah anak tersebut juga tertular HIV. Asa tumbuh
menjadi sesosok gadis berkepribadian menarik dan tegar. Hingga nasib membawa
Asa bertemu dengan Wisnu (Darius Sinathriya), seorang lelaki yang bekerja
sebagai pendamping ODHA sekaligus penulis best
seller. Keduanya saling tertarik, namun Asa tak yakin kalau ada laki-laki
yang berani bertaruh hidupnya untuk menikahi perempuan positif HIV seperti dirinya.
Keseriusan Wisnu terbukti saat dirinya tak segan menolong anak kecil positif
HIV yang tengah berdarah karena tertabrak mobil dan menyusul Asa ke rumahnya
untuk bertemu dengan ibu Asa dan dua orang adiknya, Yoyo dan Adit.
Tak perlu
durasi panjang ataupun efek canggih untuk menjamin sebuah film layak ditonton.
Bagi saya, film yang bagus adalah film yang berhasil membuat saya berbeda saat
keluar dari bioskop. “Nada untuk Asa” dikemas dengan jalan cerita sederhana
namun mengena. Pesan moral tentang kehidupan pun amat kental dalam setiap
cuplikan ceritanya. ‘Banyak orang yang kagum terhadap orang yang berani mati,
namun berani hidup itu pilihan’ adalah kalimat penguat yang masih terngiang di
telinga saya hingga detik ini. Film ini membukakan mata kita agar tak
serta-merta merasa sebagai orang paling menderita di dunia dan wajar kalau
menyerah. Lihat bagaimana HIV telah mengubah setiap sendi kehidupan Nada dan
Asa: dijauhi keluarga, dipecat dari pekerjaan, meragukan percintaan. Asa pun
sempat bertanya kepada Nada, “Bu, diantara sekian banyak manusia, kenapa sih
harus kita yang menanggung ini? Kenapa bukan yang lain?”. Tanpa perlu waktu
lama, Nada menjawab “Karena kita mampu.” Secuil kalimat ini layak menjadi
alasan kita untuk tetap menjalani hidup apapun rintangannya. Apapun. Jika kita
adalah orang yang percaya adanya Tuhan, yakinlah bahwa Dia pun tak tinggal diam
melihat keadaan kita. Dia tahu apa yang kita butuhkan, termasuk seorang
pasangan yang akan melengkapi ketidaksempurnaan kita. Bagaimana pun kondisi
kita, kita adalah ciptaan-Nya yang punya harga maka jangan pernah sia-siakan
setiap detik kita.
Tulisan menarik, film yang menarik sepertinya, Vera.
BalasHapusterima kasih :)
Hapus