Sepucuk Surat Rindu untuk Anak-anak Ibu...
Halo anak-anak di Adodo
Molu yang selalu Ibu Theilla rindukan! Semoga kalian semua dalam keadaan sehat
dan tetap semangat belajar. Masih ingat kah kalian tahun lalu Ibu menghabiskan
waktu libur Natal dan Tahun Baru di desa bersama kalian? Di saat Ibu bikin bolu
pelangi sebelum kita tampil drama di gereja? Lalu saat pergantian tahun baru,
tengah malam main petasan di depan Pastori dan siangnya kalian beritahu Ibu
kalau ada Usy yang mabok di jalan karena terlalu banyak minum sopi? Ah, itu
momen terindah yang tidak akan pernah Ibu lupakan. Namun, setelah pulang ke
Jakarta dan kembali menghadapi macetnya jalanan serta padatnya kerjaan di
Komisi Nasional Perlindungan Anak, tempat Ibu sekarang bekerja, holiday become a must time to hide away and
refresh my mind.
Tanggal 25 Desember,
sehabis pulang gereja, Ibu berangkat ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta
untuk naik pesawat menuju Bali, sebuah pulau yang sering dijadikan tujuan
wisata baik turis lokal maupun mancanegara. Coba kalian lihat peta Indonesia
dan tunjuk mana Pulau Bali, jika kesulitan tanya Pak Heri ya. Nah, disana Ibu
bertemu dengan teman SMP Ibu namanya Ibu Yana yang kebetulan memang bekerja di
Bali. Ibu menginap di kosannya, lumayan bisa berhemat tidak perlu sewa hotel.
Di sana, ternyata ada sepupu Ibu Yana, namanya Pak Randi, jadilah kami bertiga
tidur sempit-sempitan. Esok paginya, karena Ibu Yana masih harus bekerja, Ibu
ditemani Pak Randi untuk jalan-jalan keliling Bali. Kami menyewa motor dan
bergegas ke Sindhu untuk sarapan Nasi Bali Made Weti yang katanya enak sekali.
Setelah kenyang, Ibu berjalan-jalan di sekitar Pantai Sindhu yang mirip dengan
Adodo, karena banyak motor laut dengan semang. Puas berfoto di Pantai Sindhu,
Ibu lanjutkan perjalanan ke Garuda Wisnu Kencana (GWK), an iconic park of Bali which full of beautiful sculpture and cliff
carving. Siangnya Ibu mengunjungi Pantai Pandawa yang ternyata sangat ramai
oleh bule, lucunya saat Ibu berenang malah bertemu dengan beberapa orang
Maluku! Tidak lama kemudian, Ibu pindah ke Pantai Greenbowl yang lokasinya
cukup tersembunyi. Untuk menemukannya, Ibu harus menuruni 227 anak tangga dan
melewati batu karang. Pantainya cukup sepi karena hanya sedikit orang yang
tahu, di sana hanya terdapat beberapa bule yang asyik surfing karena ombaknya memang bagus dan saat sunset sungguh indah. Malamnya sebelum pulang, Ibu mampir ke Nasi
Tempong Jambal Ikan Asin. Sembari makan, tiba-tiba Pak Randi bercerita tentang
rencananya untuk mendaki Gunung Rinjani, yang katanya gunung tertinggi ketiga
di Indonesia. Ibu yang semasa kuliah suka naik gunung bersama teman-teman, jadi
iri dan ingin ikut mendaki. Masalahnya, untuk mendaki gunung apalagi yang
sangat tinggi, butuh persiapan pakaian dan alat-alat dan Ibu tidak membawa
apapun.
Keesokan harinya,
Ibu Theilla, Ibu Yana, dan Pak Randi bangun cukup pagi untuk bersiap menuju
Lombok. Kami bertiga menunggu Jassy terlebih dahulu, teman kami orang Kanada
yang juga ikut. Dari kosan Ibu Yana, kami berempat mengendarai motor sekitar 4
jam untuk sampai ke pelabuhan. Sesampainya saat pemeriksaan kendaraan, ternyata
motor yang disewa oleh Jassy, teman kami si bule itu, tidak memiliki STNK asli
sehingga harus ditilang oleh polisi setempat. Kami panik karena dikejar dengan
jadwal kapal, akhirnya setelah Ibu dan Pak Randi mencoba bicara dengan polisi,
kami berempat diijinkan berangkat namun motor harus ditinggal dan surat tilang
akan ditebus oleh pemilik penyewaan motor di Canggu. Kurang lebih 6 jam,
akhirnya kapal kami sampai di pelabuhan Lembar, Lombok. Hayo, kembali
perhatikan peta Indonesia dan tunjuk di mana pulau Lombok! Di pelabuhan kami
berpisah, Ibu Yana dan Jassy melanjutkan perjalanan ke Senggigi dengan motor,
sementara Ibu dan Pak Randi mencari tumpangan untuk sampai ke Sembalun, titik awal
pendakian Gunung Rinjani. Ya, akhirnya Ibu nekat ikut!
Ibu Yana, Ibu Theilla, Mr Jassy, & Pak Randi |
Rindu naik Sabuk 34 |
Beruntung kami bertemu dengan gerombolan pendaki dan kami
diperbolehkan untuk bergabung dengan mereka. Karena hari sudah malam, kami
mampir ke kantor SAR Lombok Timur.
“Kami sudah siapkan
bahan makanan untuk kita semua, nanti kita tinggal patungan saja ya. Lalu apa
yang kira-kira masih kurang dari kalian?”, tanya pemimpin pendakian kepada Ibu
dan Pak Randi.
Dengan sedikit gugup
Pak Randi menjawab,”Begini kak, teman saya ini tidak membawa apa-apa karena
memang rencana naik gunungnya mendadak. Tapi dia sering naik gunung kok!”
Ibu pun
menyahut,”Saya cuma modal tas carrier, kaos,
legging, dan sepatu kets ini. Apakah disini bisa sewa alat-alat naik gunung?”
Semuanya kaget dan
geleng-geleng kepala. “Itu namanya nekat! Kami bisa saja meminjamkan alat-alat,
tapi terbatas, apalagi ukuran badanmu kecil belum tentu ada yang muat. Trek
Rinjani lumayan berat lho, jadi coba pikirkan lagi apa kamu kuat?”
Dalam hati Ibu
berkata, ‘Dong balom tau ka pa, Ibu Theilla ini watabrana dari Momar. Jang gunung, jalan Adodo-Wadankou sampe timba
ruang pas hampir tenggelam di Farnusan sa beta sanggup’.
Meskipun wajah
mereka menyiratkan kesan ragu, Ibu tetap meyakinkan kalau Ibu kuat dan berani
ambil resiko. Ibu pun dipinjami jaket wind
proof, sarung tangan, kaos kaki, matras, sleeping bag dan trackpole. Barang-barang
yang tidak perlu, Ibu titipkan sementara di kantor SAR agar tas bisa diisi
dengan bahan makanan selama 3 hari pendakian. Sekitar jam 2 dini hari semua
terlelap dan kembali terbangun jam 5 subuh untuk bersiap-siap. Kami ber-13 (4
perempuan, 9 laki-laki) pun berangkat ke Sembalun, sarapan terlebih dahulu,
lalu berdoa bersama. Bermodalkan kaki yang kuat, nafas yang panjang, dan
peralatan seadanya, Ibu mulai pendakian!
Sengaja Ibu memilih
untuk berjalan di depan, urutan dua setelah Bang Botak, si pemimpin pendakian,
agar terus terpacu untuk berjalan. Ibu berjalan cukup cepat mengikuti ritme
Bang Botak hingga tanpa sadar kami rupanya sudah terpisah jauh dengan rombongan
di belakang. Bang Botak sempat berkeluh, “Mereka tertinggal jauh di belakang, kalau
begini caranya, kita tidak akan bisa sampai pos 3 hari ini. Dari awal saya
sudah menyangka hanya teman kamu si Randi, David, dan Dimas yang cukup kuat
jalan non-stop, yang lain meragukan!” Mendengar kata-kata Bang Botak, Ibu
sempat merasa kesal karena tidak masuk hitungan sebagai orang yang dipercaya
bisa sampai ke puncak. Dari situ Ibu bertekad untuk membuktikan kalau Ibu bisa.
Tanpa banyak bicara Ibu terus melangkah, entah mengapa Ibu tidak terlalu merasa
letih, mungkin membayangkan wajah kalian yang selalu kuat berjalan kaki sejauh
apapun. Karena kami berjalan sebagai tim, meskipun 5 orang terdepan sanggup
untuk terus berjalan, kami harus tetap menunggu yang lainnya. Menjelang sampai
di pos 1, hujan pun turun dan kami meneduh sambil makan siang. Setelah tenaga
kembali terisi, kami lanjutkan perjalanan menembus hujan karena kami harus
sampai di pos 2 sebelum malam. Jam 6 sore kami pun sampai di pos 2 dan akhirnya
mendirikan tenda untuk bermalam karena tidak terkejar menuju pos 3. Ibu sengaja
tidur menggunakan celana pendek untuk beradaptasi dengan dinginnya udara di
gunung, agar nanti ketika sampai di atas tidak mengalami hipotermia, kedinginan parah hingga menggigil dan merasa tulang-tulang
seperti tertusuk. Apalagi porter kami
yang asli orang sekitar Gunung Rinjani sempat bercerita bahwa beberapa waktu
lalu ada pendaki yang meninggal akibat kedinginan! Nah saat dingin begini,
makan indomie rebus pakai telur sudah merupakan hal yang mewah bagi pendaki.
Ibu sengaja tidak makan banyak, takut kekenyangan dan sakit perut saat esok
pendakian.
Pintu Rimba |
7 Pendekar |
Bukti jagoan |
Jam 6 pagi, kami
bangun dan membagi tugas, ada yang mengambil air bersih, memasak, dan merapikan
tenda. Usai berbenah lalu sarapan, kami pun melanjutkan perjalanan. Kali ini
treknya lebih jauh dan menanjak bukit-bukit. Melihat cuaca yang agak mendung,
Bang Botak memimpin kami untuk berjalan lebih cepat. Ibu Theilla yang tepat
berada di belakangnya, berusaha mengimbangi ritmenya. Di tengah jalan,
rombongan belakang memanggil, “Tahan dulu, jangan terlalu cepat. Ada yang sakit
nih!”. Ternyata, teman Ibu yang bernama Fita mulai keletihan dan sedikit sakit.
Akhirnya Bang Botak mengontrol di belakang, Dimas menjadi yang paling depan dan
Ibu tetap di urutan kedua. Di tengah jalan, kami diguyur hujan. Dengan sigap
Ibu memasang jas hujan dan terus melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalanan,
Ibu terpisah dari Dimas dan di belakang juga belum terlihat rombongan lain.
Untungnya ada pertanda berupa bendera yang disangkutkan di pohon-pohon sehingga
Ibu tak perlu takut tersesat. Saat beristirahat sejanak untuk minum, ada
pendaki yang menyapa, “Mbak, kok sendirian? Mau mendaki sampai puncak ya? Cuaca
lagi jelek, sepertinya tidak akan bisa deh!” Sontak Ibu merespon, “Ber-13 kok
tapi saya terpisah, karena satu di depan dan yang lain di belakang. Wah, sudah
jauh-jauh dan nekat mendaki dengan persiapan minim, mudah-mudahan Tuhan kasih
cuaca bagus sehari saja supaya saya bisa sampai puncak!”
Akhirnya Ibu
menginjakkan kaki di Plawangan, orang menyebutnya sebagai puncak bayangan.
Setelah kebingungan mencari Dimas di sela-sela ramainya tenda para pendaki,
akhirnya Ibu menemukannya. Sembari meluruskan kaki, Ibu menarik legging dan
benar saja lutut Ibu luka karena tadi sempat terpeleset di bebatuan saat
menuruni bukit. Memang sudah resiko, seharusnya Ibu pakai sepatu gunung, ini
malah pakai sepatu kets jadilah licin. Sejam kemudian, rombongan belakang juga
sampai. “Buset dah! Kamu pakai gigi berapa jalannya Thel? Itu lutut kenapa
lagi?”, teriak salah satu teman Ibu. “Aku memang jalannya cepat Bang, soalnya
sepatuku kan gak kayak kalian yang ada cakramnya, jadi kalo nanjak sekaligus
aja lari. Nih buktinya karena jalan lambat pas turun bukit, jadi terpeleset dan
dapat oleh-oleh luka di lutut!”, jawab Ibu. Saat lagi asyik-asyiknya menyeruput
kopi panas sambil menikmati indahnya Segara Anak, sebuah danau di bawah Gunung
Rinjani yang warnanya biru dan diliputi awan putih, tiba-tiba satu-persatu
monyet hutan berdatangan. Tak mau melewatkan momen ini, kami pun menyempatkan
diri untuk berfoto bersama. Malamnya, kami membakar api unggun kecil sambil
makan bersama. Setelah itu kami disuruh tidur awal untuk menyiapkan fisik
menuju puncak yang ditunggu-tunggu.
Pemandangan Segara Anak yang Cantik |
Jam 2 dini hari,
dengan mulut yang mengeluarkan asap saking dinginnya, kami berdoa bersama lalu
kembali mendaki. Kali ini trek tersulit, selain harus menggunakan senter, kami
juga harus berhati-hati karena kiri kanan banyak medan yang curam dan langsung
berbatasan jurang. Di tengah jalan, kami terbagi menjadi dua tim, tim depan
yang bisa berjalan cepat dan tim belakang yang berjalan agak lambat karena
menyesuaikan dengan Ibu Fita yang masih sakit. Saat beristirahat sejenak, Ibu
sempat menggigil dan hampir tertidur. Tiba-tiba plaaaakkk! Ibu ditampar oleh teman Ibu sendiri, “Jangan tidur kalo
menggigil gitu, nanti bisa mati! Kamu gak pake jaket polar ya?”. Ibu pun
terbelalak seraya menjawab, “Aku gak punya jaket polar, cuma pake jaket ini
aja. Yaudah kalau gitu aku sambil loncat-loncat deh biar hangat badannya.”
Setelah 4 jam berjalan dan hari mulai terang, alangkah terpesonanya Ibu melihat
sekeliling yang sudah penuh dengan awan putih dan mulai terlihat puncak Gunung
Rinjani. Tapi untuk mencapai kesana rupanya harus jalan menanjak berbatu-batu
selama 2 jam lebih yang pasti sangat licin karena Ibu tak memakai sepatu
gunung. Ibu tunjuk puncak itu sambil berkata “Ibu Theilla pasti bisa!”.
Meskipun harus membuat jejak kaki setiap kali mendaki agar tidak terjengkang ke
belakang, Ibu tetap semangat agar sampai puncak. Di tengah jalan berpapasan
dengan pendaki lain yang rupanya sudah sampai puncak dan berjalan turun, mereka
berkata “Wah berani amat mbak, jalan sampe puncak pakai sepatu kets. Ayo
semangat, dikit lagi sampe tuh!”. Sesekali juga Ibu menoleh ke belakang,
melihat teman-teman yang masih di bawah dan berteriak “Hoooooiiiiiiii,
ayoooooo!”. Matahari mulai meninggi dan pemandangan semakin tampak jelas, Tuhan
memang Pencipta yang paling handal. Ibu makin sadar betapa indahnya alam
Indonesia. Sekitar pukul 07.48, dengan bibir yang perih karena kedinginan serta
sepatu yang usang karena melawan bebatuan, kenekatan Ibu terbayar sudah. Ibu
sampai di puncak Gunung Rinjani, 3.726 meter di atas permukaan laut. Akhirnya...!
Lebih bangganya lagi, Ibu adalah perempuan pertama dari tim yang bisa sampai
puncak dan mengibarkan bendera merah putih!
Semangat Sampai Puncak! |
Ini buat anak-anak Ibu di Adodo Molu J
Puji Tuhan! Sampai di Puncak Rinjani |
“Kau harus menempuh beribu langkah untuk sampai ke puncak, tapi kau hanya butuh satu langkah untuk mulai dan mewujudkannya. Mendaki gunung bukanlah usaha untuk menaklukkan alam, melainkan menaklukkan dirimu sendiri. Sampai batas mana kau mampu?”
0 komentar:
Posting Komentar