Masih terngiang jelas saat
semalam Diskusi Kebangsaan bersama Sekretaris Kemenpan-RB, sang moderator
bertanya tentang kemungkinan penyeragaman skema beasiswa. Dan jawaban dari Bapak
narasumber kurang lebih menyiratkan kalau memang ada rencana skema beasiswa
akan dibuat dalam satu lembaga. Saya tak ambil pusing dengan mengira itu masih
ancang-ancang pemerintah. Namun, alangkah kagetnya saat saya bangun di pagi
hari, notifikasi grup Whatsapp dan LINE yang nyaris ratusan ternyata sudah
sibuk membahas berita termuat di koran Sindo tentang wacana pengelolaan
beasiswa LPDP akan dipindahtangankan ke Kemenristek-Dikti. Jelas kami para
penerima beasiswa LPDP reaktif bahkan entah dari mana asalnya, ada yang
inisiatif membuat hastag dan gambar #LPDPIndependen .
Sepuluh bulan yang lalu, saya
mencoba untuk mendaftar beasiswa LPDP dengan mencantumkan University of
Birmingham sebagai pilihan. Saat lolos ke tahap wawancara, saya masih datang bermodalkan
dua Letter of Acceptance (LoA) dari University of Sussex dan Erasmus. Saya
awalnya ragu memberitahu pewawancara karena kampus yang saya daftarkan ke LPDP justru
yang belum memberikan saya kepastian hingga detik itu. Tapi pewawancara malah
menyarankan saya untuk mengganti pilihan ke Erasmus dengan menyantumkan
beberapa argumen pendukung keilmuan sosial di Belanda. Mereka yakin betul kalau
LPDP akan tetap membiayai meski kampusnya berubah, asal dengan alasan yang
jelas.
Belum genap tiga bulan saya
menginjakkan kaki di Inggris bermodalkan dana abadi negara, tapi saya merasakan
fleksibilitas dan profesionalisme LPDP terpelihara dengan baik. LPDP sadar
betul bagaimana ritme dan tantangan mahasiswa yang bersekolah di luar negeri,
sehingga mereka cukup responsif terhadap kebutuhan kami. Sederhananya, kalaupun
kami harus mengantri dalam pencairan dana, kami diberitahu kapan data kami akan
diproses sehingga ini tidak menjadi distraksi di tengah gencatan tugas dan
ujian. Sistem yang sudah baik, mengapa harus diotak-atik? Sekalipun masih
sebatas wacana atau hanya statusnya yang dipindahkan di bawah Kementerian, yakinlah
beda tangan beda rasa. Mungkin pertimbangannya adalah efektivitas, tapi
yakinkah Kemenristek-Dikti sudah cukup punya kapabilitas menangani sekian
banyak mahasiswa? Mungkin beberapa testimoni dari teman-teman yang sudah pernah mengecap
beasiswa Dikti berikut bisa jadi pertimbangan bagi dewan terhormat Komisi X.
“Saya S1 di Singapura dengan beasiswa Dikti selama 4 tahun. Tahun kedua
nominal dikurangi karena benchmarking ke beasiswa lain. Tapi sialnya kemudian
nominal rupiah beasiswa ga di adjust selama tiga tahun, padahal kurs naik dari
2010-2013. Teman saya karena kesalahan input data harus mengulang pengajuan
dari awal, menunggu approval, dan akhirnya tertunda dua bulan beasiswanya.” –B
“Dulu saya dan teman-teman penerima beasiswa Dikti sampai pakai uang
pribadi dulu menalangi. Untung dalam negeri jadi masih bisa minta bantuan orang
tua untuk segera ditransfer, teman-teman di luar negeri tuh yang benar-benar
miris…” –R
“Perihal ‘dana sengaja diendapkan’ masih sebatas rumor. Yang jelas
karena Dikti sumber dananya dari APBN sehingga harus disahkan di DPR, di mana
kita semua tahu suka molor, beda sama LPDP yang dana abadi sehingga tidak butuh
birokrasi panjang dan bisa segera turun. Dana beasiswa Dikti memang tidak
dipegang oleh Dikti sendiri makanya sering terlambat.” –P
“Aduh jangan plis…jangan digabung. Bapak dosenku dulu cerita telat
banget dikirimnya, bahkan temannya lebih parah, sitrinya harus jadi pembantu
cuci-gosok untuk makan mereka sehari-hari karena benar-benar belum ada uang
masuk dari Dikti selama 6 bulan.” -M
“Tahun 2009 saya mendapat beasiswa Dikti untuk S3 di Inggris dengan
spesialisasi Fuel Cell. Ketika tiga tahun penelitian saya tidak selesai, bukan
karena saya malas tapi natur penelitian ini memang lama, saya mengontak Dikti
untuk memohon beasiswa saya diperpanjang hingga penelitian saya selesai.
Setelah tiga setengah tahun, saya tidak mendapat kontak apa-apa lagi dari
Dikti, uang sudah tidak dikirimkan sejak lama. Saya berusaha mengontak kembali
agar setidaknya difasilitasi pulang ke Indonesia, apalagi saya membawa keluarga
di sini. Namun tidak ada tanggapan. Beruntung, Professor saya berbelas kasihan
dengan memberikan saya dana untuk hidup dan meneruskan penelitian hingga detik
ini. Jadi kalian beruntung dapat beasiswa dari LPDP, kalau sudah selesai
pulanglah dan mengabdilah untuk Indonesia. Karena saya ingin pulang dan
mengabdi, tetapi tidak bisa.” –A
Bukan bermaksud untuk mengumbar
kekurangan salah satu skema beasiswa atau membuat komparasi yang menyudutkan,
saya hanya ingin menyentil pemikiran para pengambil keputusan, efektivitas
dalam pengelolaan beasiswa bagus namun pertimbangkan dulu kapabilitas lembaga
yang akan mengemban tanggung jawab. Pilihan bijak adalah, pertahankan yang
sudah baik dan evaluasi yang masih buruk. Dan satu hal lagi, mohon kesampingkan
segala kepentingan politik dari pendidikan. Kita sama-sama punya tugas kok.
Para wakil rakyat tugasnya membuat keputusan berdasarkan kepentingan rakyat,
bukan kepentingan golongan. Pengelola beasiswa tugasnya memonitor dan
memfasilitasi mahasiswa yang dikirimnya. Para penerima beasiswa tugasnya
belajar dan mencapai nilai terbaik, bukan memikirkan makan apa besok karena dana
yang terlambat.
Birmingham, 03 Desember 2015
-MRRS-
Awardee LPDP PK-33
0 komentar:
Posting Komentar