BTL alias Batak Tembak Langsung; alumni
Yayasan Soposurung; lulusan kampus kuning; tim robot yang menang lomba Nasional
dan pernah masuk TV; bisa main 4 alat musik; fotografer amatir berbakat; peraih
beasiswa LPDP; kini tengah menempuh S2 di bidang elektro di University of
Birmingham.
Pertama kali aku mengenalnya di grup Whatsapp LPDP, sebelum aku
berangkat untuk melanjutkan studiku ke Birmingham. Sempat dia menjapriku saat
aku sedang sibuk-sibuknya mencari akomodasi, tapi anehnya dia menawari aku
rumah yang seisinya adalah lelaki. Memang sih sesama mahasiswa Indonesia dan
dari satu grup beasiswa. Tapi yang membuatku tidak merespon chat-nya saat itu
adalah kupikir aku tidak akan diberikan izin oleh keluargaku untuk tinggal
serumah dengan tiga lelaki, apapun alasannya. Gara-gara mengabaikan niat
baiknya (katanya), kesan pertamanya terhadapku adalah kesal. Hingga saat kami
sudah tiba di Birmingham lalu foto perdana anggota PPI, dia sama sekali tidak
menyapaku. Tapi karena aku pun tidak sadar kalau dia sekesal itu, aku pun tak acuh.
Kali kedua kami bertemu adalah
saat aku hendak memberikan sejumlah uang cash, sebagai ganti karena dia
membantuku untuk mentransfer uang kepada ibuku di Indonesia. Saat itu, aku yang
balik kesal padanya karena sewaktu kami chat untuk menyepakati kurs
Poundsterling yang harus kubayarkan padanya, menurutku dia terlalu perhitungan.
Toh, bedanya hanya sekian ribu rupiah. Karena itu saat mengembalikan uangnya di
kampus, aku hanya mengucapkan terima kasih tanpa senyum dan langsung pulang. Lagi-lagi
(katanya) ini membuatnya kesal karena aku sudah ditolong tapi tetap jutek. Setelah
kejadian itu, aku rasa kami pun memang tak pernah berbarengan, hingga akhirnya
bertemu di persekutuan doa. Dan saat itu juga aku ditembak untuk menjadi
Koordinator Acara Perayaan Natal Indonesian Christian Community (ICC), dimana dia
menjadi Ketua sekaligus salah satu pemusiknya. Oh, ternyata dia bisa main
Saxophone toh!
Selanjutnya, kami beberapa kali
bertemu tapi minim interaksi. Anehnya, orang ini tak terlalu mengenalku tapi
senang sekali menyinggungku di media sosial, kadang pula melibatkan nama lain. Banyak
komentar yang tidak penting dan sempat aku berpikir ‘dari sekian banyak orang,
mengapa aku yang jadi sasaran empuknya?’ Sesekali kudiamkan, tapi di satu
kesempatan, aku merasa jengah. Akhirnya aku japri dia dan kukatakan kalau aku
sudah mulai terganggu dengan sikapnya. Dia sempat bilang kalau itu hanya candaan,
tapi aku menegaskan banyak hal yang layak jadi topik bercanda
daripada harus mengorbankan orang lain. Anehnya, setelah kejadian kurang
mengenakkan itu, justru kami mulai bisa berteman (normal). Mungkin satu sama
lain saling menemukan sisi lain dari orang yang selama ini terlihat begitu
menyebalkan. Singkat cerita, hingga saat ini, aku dan dia untungnya masih dalam
rel keakuran karena beberapa kesamaan.
Akhir-akhir ini banyak yang
bertanya di akun media sosialku, “Thel, kok foto-fotonya sekarang bagus, siapa
yang fotoin?” Batinku, ‘berarti selama ini foto-fotoku kurang bagus, dong?’
Untuk menjawab rasa penasaran kalian, yang belakangan menjadi teman ‘bolang’
sekaligus fotografer pribadiku (berasa selebritis ya!) adalah orang ini. Kamera
ibarat pacar baginya, sering dia tak peduli tempat jika ingin mengambil foto
yang bagus. Kadang aku pun letih menjadi model abal-abalnya karena dia tak akan
berhenti menjepret hingga dapat hasil yang memuaskan. Tapi, ada kalanya dia
tidak menjepret sebagus apapun pemandangannya. Baginya, momen yang sangat berharga
justru tak perlu didokumentasikan. Cukuplah dinikmati dan diabadikan dalam
ingatan. Itulah sesungguhnya nilai dari sebuah momen. Cukup bijak? Ya, seperti
nama tengahnya.
Pertemanan kami sepertinya tidak
kenal rumit, kadang saling iseng, kadang marah, kadang baikan, kadang bahas
firman Tuhan, kadang sok tua membahas kehidupan, tapi kadang bisa pula seperti
bocah. Dia orang yang terbuka. Saking terbukanya, apa-apa diceritakan, tak
jarang aku tertawa dalam hati melihatnya saat bercerita panjang lebar dengan
ekspresi khasnya dan awalan kalimat ‘kau tahu nggak…’. Sementara aku,
untung-untungan, kalau pintar mengulik mungkin aku akan cerita, tapi kalau
tidak justru dia yang kukulik habis-habisan. Dari mulai cerita masa kini,
mengungkit masa lalu, hingga main koin hanya untuk jujur-jujuran, kami sering
lupa kalau sudah berjam-jam bicara. Lucunya, ini beberapa kali terjadi di
perpustakaan, tempat seharusnya orang belajar. Kadang juga dia mengajakku ke
Costa, padahal jelas dia tidak bisa minum kopi. Atau ke Chaplaincy hanya untuk main
piano dan menyanyi sesuka hati.
Satu kali dia pernah spontan
berkomentar kalau dia ‘belajar’ dariku. Tapi sebenarnya, dia tidak sadar kalau
aku pun banyak belajar darinya. Salah satu yang terpenting adalah sesuatu tak
perlu dibuat terlalu rumit: katakan apa yang harus dikatakan, lakukan apa yang
harus dilakukan. Karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi semenit ke depan,
maka manfaatkanlah waktu yang ada semaksimal mungkin. Ternyata berpikir terlalu
keras belum tentu menghasilkan yang terbaik. Di satu titik, mungkin hanya butuh
hal sedehana untuk merasa nyaman. Di balik kesamaan, aku dan dia sebenarnya
juga berbeda. Dia ekspresif, sementara aku pemikir. Karena itu aku tak pernah
mengatakan langsung kalau aku belajar darinya. Aku lebih memilih untuk
menuliskannya. Karena bagiku, perkataan mungkin dapat terlupakan tapi tulisan bisa
dibaca ulang. Setidaknya tulisan ini bisa jadi pengingat pertemanan kita yang
sedikit (banyak) aneh ya, Man!
Birmingham, 22 Februari 2016,
02.16 AM.
0 komentar:
Posting Komentar