Jam sudah menunjukkan pukul 09.30
namun temanku yang akan mengantarku ke bandara belum juga tiba di rumah. Hatiku
mulai cemas, “Sudah di mana, Masung?”, ketikku. Dia hanya membalas “5”, entah
apa maksudnya, tapi kupikir dia sedang sibuk menyetir. Hingga jam 10.00
akhirnya aku meneleponnya, ternyata dia kesasar dan bahkan tak tahu ada berada
di mana sekarang. Dia hanya menggambarkan kondisinya di dekat kali kecil yang
tentu saja tidak kuketahui saking banyaknya kali di sekitar Halim. Ayahku mulai
gusar, dia bergegas mencarikan aku taksi tapi sayangnya di sekitar rumah kami
jarang ada taksi. Tepat 10.14, ayahku mengangkut koperku yang berukuran amat
besar ke atas motor. “Pa, gimana caranya mau bawa 1 koper gede dan 2 tas
tenteng naik motor? Gak lucu kalau jatuh dan malah gak jadi berangkat!”,
sambarku. Ayahku tetap bersikeras untuk mengantarkan aku ke pool taksi dengan
motor karena jalan di seputar Cililitan selalu macet. Temanku meneleponku dan
memberitahukan posisinya saat itu di dekat pool taksi Halim, yang sesungguhnya
tak jauh dari rumahku. Tapi dibanding salah jalan lagi dan buang waktu, aku
menyuruhnya tetap diam di sana dan aku yang akan menyusul.
Aku berlari ke luar pagar sembari
menoleh ke kiri, kudapati ada taksi yang sedang putar balik. Langsung
kulambaikan tanganku dan untunglah kali ini taksinya tak berpenumpang. Sempat
pesimis karena biasanya taksi enggan mengantar dengan jarak dekat, kalau
kutaksir argonya juga paling sembilan ribu. Tapi untunglah, Tuhan memberiku
supir taksi yang amat sangat pengertian. Namanya Pak Supriyadi. Kukatakan dari
awal kalau aku sedang dikejar waktu karena penerbanganku jam 1 siang dan
temanku yang seharusnya menjemput kesasar sehingga aku perlu menyusulnya.
Pembawaannya yang tenang tapi cukup sigap mengemudi membuatku yang sudah amat
sangat panik menjadi sedikit bisa bernafas. Akhirnya aku melihat mobil sedan
silver temanku di pinggir jalan dean Pak Supriyadi pun langsung sigap
memarkirkan taksinya dan memindahkan bagasiku ke mobil temanku. Kuberikan
ongkos minimum taksi yakni dua puluh ribu seraya berterima kasih padanya.
“Hati-hati, mbak”, pesannya padaku.
“Thella, maaf”, ucap temanku
ketika kami sudah di dalam mobil. Detak jantungku sudah tak beraturan saat itu,
“Pasti aku maafin Mas, tapi persoalannya soal masih keburu check-in atau tidak.
Ada temanku yang sampai di Bandara sejam sebelum keberangkatan lalu ditolak
untuk check-in karena counter maskapainya sudah tutup dan dia terpaksa beli
tiket baru”, jelasku padanya. Kemudian dia pun menyalakan google maps dan
menginjak gas, berusaha menyelip sebisa mungkin. Hingga wajahku berubah pucat
melihat layar ponselnya yang menunjukkan warna merah di jalan tol Cawang. Macet
selama 12 menit! “Thel, minum dulu nih, mukamu pucat. Aku pasti usahakan cepat.”
Mataku tak berhenti menelisik jalan sembari dalam hati aku berdoa agar tidak
terlambat. “Aku baru bisa tenang dan minum kalau sudah sampai di bandara dan
masih bisa check-in, Mas”, sahutku singkat. Dia fokus menyetir dan aku
menyempatkan mengirimkan pesan kepada orang-orang terdekatku untuk pamit. Akhirnya
tibalah kami di Bandara pukul 11.29. “Kotaknya kubuat sendiri, soal isinya apa
nanti dibuka saja ya” ucap temanku sembari memberikan sekotak kenang-kenangan.
Aku minta di drop saja dan menyanggupi untuk membawa semua barang sendirian,
sementara dia mencari parkir.
Tiba-tiba ada chat Whatsapp masuk
dari temanku yang lain, “Aku di depan pintu masuk 2D. Kalau sempat ketemu ya,
ada titipan.” Kutarik nafas panjang saat tiba di pintu masuk 1, antrian untuk scan
bagasi amat sangat panjang. Kutanya pada petugas bandara di pintu mana aku
harus masuk. “China Southern di pintu masuk 3, mba”, terangnya sambil menujuk
ujung yang tak kelihatan. Kugerek koperku sambil berlari dan nyaris beberapa
kali aku menabrak orang saking beratnya bawaanku. Tepat di depan pintu masuk 3,
sembari mengantri, temanku menyapa dan memberikan satu kantong plastik putih.
“Ini oleh-oleh khas Nusantara, terus kita selfie dulu yuk!” Aku sempat bingung
bagaimana cara memegang kantongannya karena aku sudah membawa satu tas jinjing
berisi oleh-oleh juga. “Waduh, repot-repot sampai nyusulin ke bandara, makasih
ya Grom.” Aku pun bergegas masuk.
Tibalah aku di counter China
Southern, kulihat masih antri. Puji Tuhan, gumamku dalam hati. Bahkan mungkin
karena kasihan melihat perempuan mini membawa koper raksasa dan tiga tas
jinjing, petugas yang melayani Sky Priority menawariku check-in di tempatnya.
Setelah dia mengangkat koperku ke atas timbangan, aku lemas kembali. 31 kg!
Sementara maskapai hanya memberikan jatah 23 kg. Petugas memberitahukan bahwa
kelebihan bagasiku dikenakan RMB 1,000 atau setara dua juta rupiah! Aku mencoba
nego dengan muka memelas sambil menjelaskan kalau statusku mahasiswa,
barangkali ada peraturan maskapai yang memberikan kelebihan bagasi. Ternyata
tidak. Sialnya lagi, uang tunai dalam dompetku hanya Rp 400,000,- sehingga aku
hampir nekat meminjam uang temanku yang masih menunggu di luar.
Tiba-tiba petugas bilang,
“Menurut tiket, jatah bagasi Mba dua buah. Jadi, daripada bayar mahal mendingan
beli tas bandara ukuran paling besar di Batik Keris lalu sortir beberapa barang
yang berat di koper. Rekan saya bisa mengantar Mba ke tokonya.” Aku pun membeli
tas yang harganya nyaris selembar uang merah. “Tasnya memang mahal Mba, maklum
di Bandara. Tapi mendingan beli ini daripada rugi dua juta”, kata si Mas yang
mengantarku. Setibanya kembali di counter, aku langsung membuka koperku. Mata
para petugas dan para penumpang langsung tertuju pada isi koperku, yang nyaris
dua pertiganya adalah titipan orang dan bumbu dapur. Yang pertama kukeluarkan
adalah yang terberat, winter coat milik temanku. Lalu kupikir, lebih baik
kusatukan saja semua titipan dalam tas yang baru kubeli agar lebih jelas
beratnya berapa. Benar saja, setelah ditimbang kembali koperku dinyatakan lulus.
“Mba, lebih baik tas yang isinya titipan dan tas jinjing yang putih disatukan
dengan wrapping agar aman dan Mba gak lama nunggu bagasi. Nanti Mba minta aja
sama yang nitip-nitip patungan bayarin tas dan wrapping. Kasian kecil gini
bawaannya banyak bener.” Ah, akhirnya setelah koper dan bundelan tas jinjingku
sudah masuk bagasi, aku pun bisa lega.
“Panggilan terakhir untuk
penumpang China Southern Airlines tujuan Guangzhou, harap segera memasuki
pesawat melalui pintu D4”. Sambil tergopoh menyandang satu tas, menjinjing satu
plastik, dan membawa kotak pemberian temanku, aku berlari. Karena tidak enak
sama dua temanku yang masih menunggu di luar, kucuri waktu untuk menelepon
mereka saat antri pemeriksaan barang bawaan kabin. Aku minta maaf pada mereka
karena tidak sempat untuk keluar lagi untuk sekedar salaman pamit. Drama pun
berakhir setelah aku duduk manis di pesawat. Ah, hari ini betul-betul menguras
perasaan dan tenaga!
Jakarta, 28 Agustus 2016.
0 komentar:
Posting Komentar