3 Maret 2014, aku sekarang genap
berusia 23 tahun. Usia yang tak lagi muda untuk bermain-main dengan hidup,
namun tidak terlalu tua untuk terus berpengalaman. Jika semasa kuliah, ulang
tahunku diisi dengan siraman campuran segala hal di tengah malam, lalu ketika
mulai berkarir dirayakan dengan kejutan dari teman-teman satu kos, lain halnya
dengan sekarang. Aku menikmati detik-detik pergantian usiaku di rumah salah satu
siswaku, Ince. Karena memang dari 3 Februari – 2 Maret aku bergiliran menginap
di rumah 30 siswaku kelas I.
Hari ini aku
mendapat kartu kecil dari siswa kelas I-VI. Aku memesan 23 buah kue ampas
terigu dari Ussy Rely, yang biasa menjual kue paling enak se-Adodo, sengaja
jumlahnya kusesuaikan dengan usiaku. Sayangnya, kami tidak bisa merayakan ulang
tahunku bersama dengan semua dewan guru karena dari 8 guru yang ada di SDK
Adodo Molu, 5 orang harus berangkat ke Saumlaki mengikuti Uji Kompetensi Guru
(UKG).
Kelas I memberiku gambar seorang
perempuan berambut sebahu dan kue ulang tahun 3 tingkat yang di atasnya ada
tiga buah lilin. Bertuliskan “Happy Birsday Ibu Kece”.
Kelas II memberiku gambar seorang perempuan yang
memegang tiga buah balon dan kado berpita di sampingnya. Bertuliskan “Selamat
23 Ibu Thella”.
Kelas III dan IV melontarkan pendapatnya tentang
apa yang mereka suka dan kurang suka dariku secara gamblang. Ya memang itu yang
ingin kutanamkan pada anak-anak yang kebanyakan takut untuk berpendapat pada
guru mereka, aku membiasakan mereka untuk berani bicara namun tetap menjaga
sopan santun. Beginilah isi dari kertas sepenggal yang mereka berikan padaku:
1. ‘Saya suka Ibu Thella pung
pipi. Seng suka kalo Ibu Thella bicara banyak, selama ini Ibu seng ajar katong.
Slama ulan tahu Ibu Thella’
2. ‘Karena Ibu Tela di suara alus
jadi katong suka. Karena Ibu Tela di seng ajar katong jadi katong binci Ibu
Tela diya’
3. ‘Karena diya bikin senam par
katong jadi suka. Karena Ibu Tela seng kasi belajar jadi katong seng suka’
4. ‘Kita suka karena baik hati
dan cantik baru bikin kita menggambar. Kita kurang suka karena sekali Ibu
kepiting anak-anak itu sakit. Slamat ulang tahun ibu thela, tamba cantik, tamba
senyum, Tuhan memberkati ibu thela semoga panjan umur. Selama ini Ibu seng
mengajar katong’
5. ‘Apa yang kita suka pada Ibu
Tela karna baik, cantik, dan belajar kita pelang-pelang. Selamat ulan tahun Ibu
Tela yg cantik dean senyum-senyum’
6. ‘Ibu-Telah dia baik kepada
katong, tapi tidak suka bermain’
7. ‘Karena Ibu Thella cantik dan
baik tapi kalau kita da teman terlambat ibu thella jaga mara-mara. Selamat ulan
tahun ibu thella. Selama ini ibu seng mengajar katong’
8. ‘Hepi besdey Ibu Telah semoga
Ibu Telahtambah cantik. Ibu katong harap Ibu Telah jang pigi lai yang beta mau
ibu tinggal di sini’
Kelas V dan VI lebih
jujur-jujuran lagi mengungkap kesan mereka terhadapku dan kali ini mereka
berani membuka identitas dirinya. Aku mengutip beberapa diantaranya.
1. ‘Ibu tela taba canti dan ibu
pakai pakayan yang bagus-bagus sekali kalau katong pigi di ibu punya lulang
tatahun ibu pakai pakayan yang mewah ya. Kalau ibu pigi di jawa ingat katong
dengan baik ya. Ibu tela maki hari ibu tela taba cantik dan ibu thella selama
ulang tahun’ – Moni Kewilaa
2. ‘Terima kasih ibu tela karna
ibu tela suda ajar saya matik dan english. Ibu kalo ibu suda pindah jangan lupa
kami anak-anak adodo molo. Miss tela you beautiful’ – Hani Walangitan
3. ‘Ibu memang baik kepada dan
teman-teman saya tahu ibu pasti sayang sama kami semua di kelas 1 sampai kelas
6. Saya harap ibu tellah jangan pergi kasi tinggal kami karena ibu selalu
mengajar matematika sama kami’ – Irfan Lanith
4. ‘Ibu tela baik hati katong
semua. Ibu jang pigi dolo karna katong sayang ibu tela. Selamat ulan tahun ibu
tela hepi besde tuyul’ – Aris Laulu
5. ‘Ibu tella di tamba cantik
baru ini di sentau bemara baru lai di sentau bapukul baru lai di baik kepada
katong. Beta harap ibu tella jang pinda ajar katong dolo’ – Maria Itranbey
6. ‘Ibu Thella cantik tapi jahat,
ibu thella jaga mara-mara katong. Kalau Ibu Thella pulang jangan lupa katong
anak-anak SD Kr Adodo Molu ee..’ – Orpa Walangitan
7.
‘Ibu tella cantik dan baik hati mengajar baik halus dan katong cepat
mengerti terimakasi ibu karna ibu suda mengajar katong selama 1 tahun. Selamat
ulan tahun ibu semoga Tuhan memberkati ibu katong mohon ibu jang lupa katong
anak-anak adodo molu’ – Yohana Isikiwar
8. ’Ibu Thella di cantik baru di
paki pakian gagah-gagah, ibu tela di baik, di sopan. Kalau ibu thella pulang
ibu thella ingat katong samua anak-anak SDK Adodo Molo’ – Yunike Kanara
9. ‘Ibu Tella baik tidak marah
kepada kami, apabila ada kesalahan dari kami kami mohon maaf jua. Kalau ibu
Tella pung ulang tahun katong pigi makan-makan di Pulau Lampu. Hapy Tuhan
memberkati, Selamat Ulang Tahun Ibu Tella’ – Sin
Batarditi Ratissa
10. ‘Ibu memang baik kpd aku dan
teman-teman. Saya tahu pasti ibu sayang kepada kami dan saya senang ibu siksa
kami karena siksaan itulah yang membina kami. Saya berharap ibu tetap sehat
selalu dan aklau bisa setiap soreibu ajar kami bahasa inggris karena saya
senang belajar dengan ibu’ – Lamekh Wuarlela
11. ‘Ibu Thella sangat baik dan
tidak perna mara dan ibu thela selalu senyum dan tidak perna putus asa selama
mengajarkan kami. saya berharap supaya ulta Ibu Thella kita makan bersama di
pantai dari kls I-VI supaya kita buat kejutan untuk Ibu Thella yang cantik
seperti bidadari’ – Josefina Luarwan
Ternyata tiga orang rekan guruku juga memberikan
ucapan kecil,
‘Beta
senang dengan pribadi Ibu Thella dan Ibu juga selalu terbuka tentang semua hal.
Selamat Ulta ke-23 semoga tambah cantik aja’ – Ibu
Domerci Werluka
‘Yang
saya suka dari Ibu cara bicara dan berbusana. Ibu tegas, setia, dan taat dalam
tugas. Happy Birshday Ibu KECE’ – Ibu Tientje
Latuhihin
‘Ibu
Thella orangnya baik, terbuka, cantik, bodi badannya aduhai, sifatnya ramah, senyumnya
tiada dua. Semoga di hari ulang tahun yang ke-23 ini, ibu Thella lebih cantik
lagi di mata Tuhan dan semua orang, juga orang tua tercinta yang jauh.
Lebih-lebih tingkatkan senyum dan kecantikanmu kepada si dia yang dicintai
sehidup semati. Happy Brithday, Tuhan Yesus memberkati’ – Ibu A. Batmomolin
Lonceng keluar main
berbunyi, anak-anak bergegas keluar sekolah. Ada beberapa yang sudah kembali
membawa bekal, benar saja apa yang mereka harapkan di hari ulang tahunku
terjadi. Kami piknik ke pantai dekat perbatasan dengan desa sebelah. Setelah
semua berkumpul, kami berjalan kaki dan tantangannya hanya aku berdua dengan
Ibu Bat, yang saat ini sedang hamil 4 bulan, yang mengawasi 100 anak. Untungnya
hari ini mereka tidak terlalu ‘cakadidi’
(bergerak ke sana-kemari), sehingga kami bisa sampai di tujuan tanpa
kehilangan satu anak pun. Sebagian anak berlari dan lebih dahulu sampai, ada
kejadian berdarah. Karena penasaran melihat tengkorak yang ada di atas karang,
anak waliku, Dede, kakinya tergores karang dan luka. Tapi dasarnya anak pulau
itu kuat, sehabis dia membasuh lukanya di air laut, dia sudah bisa bercanda
kembali. Anak-anak diminta untuk duduk melingkar dan aku disuruh duduk di
tengah lingkaran. Ibu Bat memimpin anak-anak menyanyikan lagu ‘Hepi Besdei,
Selamat Ulan Tahun, Panjang Umurnya, Tiup Lilinnya, hingga Bagi Kuenya’. Yang
lucunya pada saat aku mencoba menyalakan lilin, selalu gagal karena angin.
Anak-anak mengganti lagunya dengan ‘Mati
lilinnya...mati lilinnya..batal tiupnya sekarang juga...sekarang
juga...sekarang...juga..’
Sehabis menyanyi
kuminta anak waliku kelas I, seorang perempuan dan seorang laki-laki, yang
berani maju ke depan membawa doa ulang tahun. Kevin dan Ince berdoa pendek tapi
kuyakin Tuhan dengar dan maklum. Sehabis itu, aku membagi kue dengan cara
menyuapi mereka bergiliran. Setelah itu, aku menyuruh mereka membuka bekal
mereka dan mulai makan. Aku kepikiran untuk disuapi oleh anak-anakku kelas I
dan mengabadikannya lewat foto. Mereka tidak menolak bahkan antusias, ada yang
menyuapi dengan sendok maupun dengan tangan. Tidak kusangka anak-anak begitu
polos dan akhirnya salah paham. Sehabis kelas I maju menyuapiku, ketua kelas II
berteriak memberikan komando ‘Siap-siap sekarang giliran kelas II suap Ibu
Theilla. Abis kelas II sampe...kelas VI’, dengan logat khas Molo-nya. Aku kaget
setengah mati dan sempat bengong membayangkan 100 suapan yang akan kuterima.
Anehnya bibirku terasa kaku untuk menghentikan niat mereka dan aku pasrah
berserah menerima 100 suap dari anak-anak kelas I-VI. Namun parahnya, mereka
menyuapiku dengan ‘tanpa ampun’, suapan besar dan tidak pakai jeda. Belum habis
kelas II, aku pun sudah nyaris semaput, kuminta izin untuk mengunyah dulu lalu
minum agar makanannya turun. Mereka tertawa melihat ekspresiku yang sudah
setengah mati disiksa makanan. Beberapa kali sempat aku bergumam, “Kamong seng
sayang Ibu Thella ka, masa suap banya-banya bagitu, liat ee ibu pung poro su
macam ada ade wau 3 sekali...sabar do ibu ambil nafas sadiki” (Kalian tidak
sayang Ibu ya, masa suap banyak begitu, lihat perut ibu sudah seperti orang
hamil anaknya ada 3...sabar dulu ibu ambil nafas sedikit). Ada separuh yang
bisa kubujuk untuk mengurangi porsi suapan mereka, tapi sebagian lain berkeras
‘Ibu harus makan sesendok penuh ini’. Dan akhirnya...tepat 100 suapan
kunikmati, aku bangun dengan perut yang begah minta ampun. Bagaimana tidak,
biasanya makan nasi paling banyak hanya 10 sendok, ini 10x lipatnya! Aku
berdiri dengan gaya ibu hamil yang membusungkan perut dan memegang pinggang,
anak-anak sontak tertawa.
Seorang muridku
kelas IV berteriak dari atas pohon, “Ibu...ibu pung muka su itang menyala. Kalo
ibu seng tahan lai, berak sudah..” (Muka ibu sudah hitam sekali, kalau ibu
tidak tahan ya BAB saja).
Sambil menahan tawa
spontan kujawab, “Ekel...hoi..oz su talalu lai e, bet suru dong lego oz pi laut
sabar e..” (Ekel..hoi..kamu terlalu ya, awas saya suruh mereka buang kamu ke
laut).
Sebagian anak sudah
asik berenang dan bermain di laut, beberapa anak meneriakiku,
“Ibuuuuu...harus
mandi air masin deng katong!” (Ibuuu...harus mandi air asin dengan kami!)
“Yoh...kamong geila
ka pa, ibu berdiri sa su stenga mati karena poro mo picah. La pi mandi lai bisa
muntah nanti, tunggu do makanan turun e” (Duh, kalian gila ya, ibu berdiri saja
sudah setengah mati karena perut mau pecah. Kalau mandi bisa muntah nanti,
tunggu dulu makanannya turun).
Kalau anak-anak
sudah berenang di laut, bukan main senangnya dan hampir tidak peduli lagi
dengan apapun. Tapi melihat matahari yang begitu terik, aku dan Ibu Bat takut
anak-anak menjadi pusing. Akhirnya kami mengajak mereka siap-siap untuk
berjalan pulang ke desa. Di perjalanan sepanjang pantai, anak-anak masih
mencuri kesempatan untuk main air meskipun Ibu Bat sudah angkat rotan. Aku yang
biasanya jalan cepat, terpaksa lambat karena perutku terlalu penuh dan
anak-anak sibuk memerhatikan raut wajahku yang sesekali menarik nafas panjang.
Karena kasihan, mereka menghibur ibu gurunya dengan berbalas pantun yang selalu
membuatku tertawa. Yang paling kuingat:
Beta suka piara lola, Saya suka memelihara lola,
Asal jang di lobang batu, Asal jangan di lubang batu,
Beta suka piara nona, Saya suka bersama gadis,
Asal jang kepala batu. Asal jangan keras kepala.
Setibanya
di muka kampung, anak-anak yang sampai duluan sudah sibuk berenang di laut
kembali. Ibu Bat meneriaki mereka pulang takut orang tua mereka mengamuk karena
anaknya pulang dengan sakit kepala bermain panas di air laut. Beberapa muridku
kelas I bertanya, “Ibu sabantar malam ibu biking ulang tahun lai di Ibu Bat pung
ruma? Katong malam ini tidur deng Ibu sudah e.” (Ibu, nanti malam ibu bikin
acara di rumahnya Ibu Bat? Kami malam ini tidur dengan ibu, ya). Segera aku pun
meng-iya-kan, sudah lama juga aku tidak tidur massal dengan anak-anak.
Biasanya yang
berulang tahun akan mendapat kunjungan dari majelis untuk didoakan, karena itu
malamnya aku sekalian mengadakan syukuran kecil-kecilan. Orang desaku meminta
aku yang memasak langsung karena mereka ingin mencicipi ‘menu kota’ racikan
tangan Ibu Guru Indonesia Mengajar. Aku memasak sate daging yang kupadukan
dengan pentolan, sebagian pentolannya kubuat dengan kuah seperti bakso, nasi
goreng bertabur jagung dan kacang polong, telur rebus dengan saus, serta
pudding oreo sebagai pencuci mulutnya. Aku mengundang pemerintah desa,
kecamatan, dan perwakilan orang tua murid. Ingin rasanya mengundang masyarakat
tapi pasti memerlukan dana yang sangat besar untuk menjamu mereka, terlebih
porsi makan orang sini ‘sedikit’. Bapak dan Ibu Camat juga menyempatkan diri
untuk datang mencicipi masakanku yang tak seberapa. Terlebih aku diberikan kado
syal tenun ungu, warna kesukaanku. Sehabis para tamu pulang, giliran anak-anak
yang rebutan makan masakanku, sempat ada yang minta tambah jatah pudding. Kami
lalu menonton film robot dan tanpa sadar ketiduran hingga kesiangan bangun jam
06.10 WIT. Kami berdoa pagi bersama lalu bergegas pulang ke rumah masing-masing
untuk bersiap ke sekolah.
Ulang tahunku kali ini benar-benar berkesan dan tidak akan pernah terlupakan. Diawali 30 malam bergilir tidur di rumah siswaku, 100 surat kecil, 100 suapan ‘tanpa ampun’, acara syukuran sederhana, ‘nobar’ dan ditutup dengan tidur massal bersama anak-anakku. Kado yang tidak terbeli, terima kasih Tuhan J
0 komentar:
Posting Komentar