“Ini su kurang nona, dolo-dolo itu bapa pertama datang, ‘dong’ bapesta di gereja. Berapa bulan pergumulan seng berhenti, ‘dong’ jaga ganggu hantam doa sa.” (Ini mendingan nak, awal pertama sampai, ‘mereka’ pesta di gereja. Berbulan-bulan pergumulan tanpa henti, ‘mereka’ ganggu tiap bapak berdoa).
Kurang lebih sejam,
kutatap lekat dan kudengar tajam bapak piaraku, yang adalah Pendeta, bercerita
tentang pengalaman menghadapi kuasa gelap di desa kecil ini. Sesekali aku
mengernyitkan kening sedikit tak percaya, tapi kuingat ini kali kedua aku
‘diganggu’ mungkin oleh orang yang sama. Aku memang penggila film horor,
terutama yang diangkat dari kisah nyata, tapi jujur aku tak pernah berharap
‘mereka’ menampakkan diri atau menggangguku. Bagiku, genre film yang oleh
kebanyakan orang dianggap tak penting ini, adalah bukti bahwa di setiap sudut
dunia ini selalu ada sisi hitam dan putih. Karena itu manusia perlu senantiasa
waspada dan dekat kepada Tuhan. Pesan ibuku sewaktu aku masih kecil masih
terngiang hingga kini, ‘Mereka itu ada di mana-mana. Jangan takut, justru yang
penakut itu bikin dia senang untuk ganggu terus’. Tak kusangka selama 6 bulan
bertugas di desa ini aku seolah menjadi artis dari dua episode tayangan “live”!
Malam pertama aku tidur di pastori, aku disambut dengan teriakan adik
piaraku tengah malam. Dia ketakutan sejadi-jadinya sambil bercerita apa yang
dilihatnya kepada bapak piaraku.
“Ada kepala putus, berdarah-darah, akang terbang masuk
dari jendela kasih mata manyala par beta.” (Ada kepala putus yang berdarah,
terbang masuk dari jendela melotot ke arahku).
Mama piaraku
menjelaskan kalau adik piaraku yang satu ini lahir di sarung, yang konon jadi
bisa melihat hal-hal yang tidak terlihat. Paginya, hal ini menjadi topik hangat
guru-guru di sekolah, aku pun tidak luput dari tembakan pertanyaan. Karena
letih menjawab satu-satu, aku menanggapinya dengan guyonan,
“Seng, mangkali ‘dong’ mo jaga kenal deng beta, cuma
salah kamar. Barang katong pung kamar baku hadap toh.” (Bukan, mungkin ‘mereka’
mau kenalan dengan saya, hanya salah kamar karena kamar saya dan adik
berhadapan).
Guyonan yang tak
pernah kuduga akan kejadian. Obrolan kami berhenti ketika salah satu rekan guru
memperingatkanku sambil menunjuk ke salah seorang siswaku kelas I yang sedang
bermain bola di lapangan,
“Ibu Thella, seng bole kasi keras par satu anak itu e,
barang dia pung bapa dan tete belajar ilmu gelap begitu. Dolo sa dia mama minta
cere karena kaget baru tahu bapak bisa kasi putus kepala dari badan, sekarang
su kaweng lai itu. Dia pu tete itu su berapa kali ganggu orang kalo dia pung
mau seng dikasi.” (Ibu Thella, tidak boleh keras pada anak yang itu, karena
bapak dan kakeknya punya ilmu gelap. Dulu mamanya minta cerai karena kaget kalau
bapaknya bisa putuskan kepala dari badan, tapi sekarang sudah menikah lagi.
Kakeknya sudah sering ganggu orang kalau keinginannya tidak dituruti.)
Seharian aku begitu sibuk di sekolah, badanku letih dan tumben mataku
minta dipejamkan jam 10 malam. Namun, baru saja aku berbaring dan belum sempat
tutup mata, ada suara dari dapur. Ah, kupikir itu kucing karena memang di
rumahku banyak jendela yang tidak berslot dan ventilasi yang bolong. Kembali
aku mencoba terlelap, tapi ternyata suara itu perlahan semakin keras dan seolah
berpindah ke dekat meja makan. Tiba-tiba terbayang kejadian semalam dan
guyonanku tadi siang di sekolah. Kucoba tetap tenang dan beroikir positif,
tanpa sadar aku bergumam dalam hati, ‘Jang
ganggu, beta pung maksud bae toh disini’ (Jangan ganggu, maksud saya ke sini
baik). Namun, aku merasa janggal karena suara itu justru bergerak mendekat.
Emosiku mulai terpancing dan aku kembali bergumam dalam hati namun lebih keras,
‘Hoi,
ose seng mengerti ka? Beta ada cape ini, jang bermain lai, la kalo mau kasi
tunjuk par beta sudah toh!’ (Heh, kamu ini tidak mengerti ya? Saya capek,
jangan main-main, kalau mau kasih tunjuk rupa saja).
Memang, aku menantangnya dan dia pun marah. Aku merasa seperti ada
sosok yang berlari melewati ruang tamu menuju pintu kamarku. Sebagai manusia
biasa dan ini kali pertama aku berhadapan dengan hal-hal gaib, wajar jantungku
berdebar kencang. Tirai pintu kamarku bergoyang padahal sama sekali tidak ada
angin. Aku menarik nafas panjang dan bersiap teriak, namun apa yang terjadi?
Dalam posisi terlentang, aku serasa sudah berteriak sekeras mungkin tapi
mulutku terkunci dan nafasku terengah-engah. Ini mungkin yang biasa orang
bilang ‘ketindihan'. Dia tidak menampakkan wajahnya, tapi aku merasakan ada
sosok yang mendekat. Seketika aku berteriak dalam hati, ‘Darah Yesus berkuasa’, sosok itu lari dan akhirnya suaraku keluar.
Agak lama baru bapak dan mama piaraku terbangun, mamaku langsung masuk ke kamar
mendapatiku yang bercucuran keringat. Sementara bapak piaraku langsung bergegas
ke luar rumah untuk mencari sosok itu, entah dalam bentuk kepala, kucing hitam,
burung, atau mungkin babi seperti pengalaman beliau terdahulu. Namun, yang
didapati hanya anjing kami, Nurkat, yang menggonggong tanpa henti sambil
berjalan di sekitar jendela kamarku. Mama menawari untuk menemaniku tidur, tapi
aku menolak, bukan karena sok berani tapi lagi-lagi ingat pesan ibuku. Aku
berdoa lalu tidur.
Keesokannya, kami sekeluarga melakukan doa bersama di rumah. Bapak
piaraku menyiapkan air yang telah didoakan lalu menyiraminya ke sekeliling
rumah. Pengalaman semalam membuatku semakin percaya bahwa ada kuasa-kuasa gelap
di sekitar kita tapi tidak akan pernah menang melawan kuasa Tuhan. Yang masih
berputar di otakku adalah pertanyaan ‘siapa’ dan ‘untuk apa’ semua ini? Sempat
aku menebak-nebak, apa mungkin karena sebelumnya anak itu dibiarkan tinggal
kelas? Tapi mengapa marah kepadaku, toh aku guru yang baru datang. Akhirnya
prasangka itu dipatahkan oleh jawaban dari bapak piaraku, kalau iblis paling
suka menggoda Tuhan Yesus, tidak heran ketika penyembahnya juga saling
menyerang. Orang-orang di gereja atau pastori adalah sasaran favorit bagi
mereka untuk menggoyangkan iman. Bulan-bulan berikutnya, tidak pernah ada lagi
‘gangguan’ meskipun aku sering tidur di atas jam 12 malam. Bukan karena air
yang disiramkan di sekitar rumah, tapi imanmu
yang menyelamatkanmu. Pesan penting dari kejadian ini adalah jangan takut
dan jaga terus kedekatan dengan Tuhan.
Memasuki akhir tahun, sepertinya jadi peringatan bagi kami untuk tetap
berjaga-jaga. hari itu, 30 Desember 2013, mungkin menjadi rekor terlamaku di
ruang internet. Baru sadar aku bisa betah duduk 10 jam, akhirnya pukul 02.00
WIT aku pulang. Kupikir nasibku akan terkunci di luar, ternyata bapakku masih
sibuk di depan komputer bermain PES. Sebenarnya, aku tidak enak hati karena
beberapa kali pulang larut, apalagi ini yang paling larut. Namun, tidak bisa
dipungkiri kalau absennya TV dan koran selama ini membuatku haus hiburan. Saat
ada waktu, internet jadi pelampiasan. Sebelum tidur aku ke kamar mandi, yang
letaknya di luar rumah, tepatnya di belakang gereja. Desa kecil ini begitu
senyap, nyaris hanya deburan ombak yang kudengar. Tidak lama setelah aku masuk
ke kamar, kudengar di luar dekat dapur ada suara-suara. Refleks aku berseru ‘hush!’ seolah mengusir kucing. Suara
itu muncul lagi, kali ini di dekat jendela kamarku dan jauh lebih keras hingga
bapak dan mamaku keluar kamar. Kami bertiga sibuk mencari sumber suara, bapak
memeriksa sekitar dapur, mama di sekitar teras, dan aku mengamati di sekitar
jendela kamarku. Hasilnya sama, tidak ada apa-apa. Ketika kami mencoba untuk
tidur, suara-suara itu tetap muncul hingga akhirnya kira-kira pukul 04.34 WIT
suasana kembali tenang. Karena tidur terlalu subuh, kami bangun agak siang.
Sembari sibuk membuat kue Madona, kue lapis agar-agar, untuk tamu yang
akan datang Tahun Baruan besok, kami bercerita tentang kejanggalan semalam.
Mamaku menjelaskan kalau suara-suara itu mulai mengganggu sejak jam sepuluh
malam. Adik piaraku yang satu memang sedang sakit, tapi kali itu kakinya
dingin, mukanya pucat, dan matanya cekung ke dalam. Cemas melihat adik piaraku
yang tetap tertidur pulas dalam keadaan seperti itu, mama dan bapakku
mendoakan. Barulah subuh setelah suara-suara itu enyah, adikku kembali normal
dan bangun seperti biasanya. Giliran yang satu lagi meringis karena merasa
pusing dan sakit perut. Mungkin rasa sakitnya sudah tak tertahan, adikku
menangis dan akhirnya dibawa ke kamar oleh bapakku. Awalnya kami kira maag,
tapi saat perutnya ditekan, dia tidak merasa sakit. Bapakku langsung bertanya
kepada adikku, ‘Ose kemarin main di mana
la? Ada tete-tete ka seng, sapa sa?’ (Kamu kemarin main di mana? Ada
kakek-kakek tidak, siapa saja?) Bapak mengajak adikku menghadap meja
sembahyang di kamar, anehnya dia menolak dan berkata ‘Doh, beta mo tidur sa’ (Aduh, aku mau tidur saja). Bapakku makin
yakin kalau ini bukan sakit maag dan kejadian semalam itu bukan ulah kucing
yang kurang kerjaan. Bapakku menatap adikku dan memaksanya untuk berdoa
bersama, seketika itu raut muka adikku berubah lebih baik dan dia tidak lagi
menangis kesakitan. Mama tetap menyuruhnya istirahat di kamar, sementara kami
kembali membahas hal semalam di ruang tamu. Bapakku menjelaskan bahwa adikku
kemarin kena angin jahat yang membuatnya kesakitan, soal semalam mungkin orang
yang sama yang mengganggu kami dulu. Mama juga menambahkan kalau Tete (Kakek)
yang kami maksud itu mulai berjalan-jalan ke luar rumah, seolah mencari-cari
sesuatu, mungkin untuk memperkuat ilmunya.
Entah dari mana asalnya pemikiran konyol ini, tapi aku bertekad untuk
berfoto bersama Tete itu sebelum aku pulang ke Jakarta. Toh aku punya alasan,
foto kenang-kenangan bersama keluarga murid-muridku. Yah, kejadian ini mungkin
adalah teguran bagi kami yang terlalu sibuk dengan pekerjaan dan lupa
meluangkan waktu bersekutu dengan Tuhan. Sedikit saja ada celah, pasti si iblis
menggunakannya untuk mencobai, karena itu menyambut tahun yang baru, jangan
buat celah antara kita dengan Tuhan. Memiliki hati yang diperbaharui rasanya
tepat untuk menjadi permohonan kita di tahun baru ini. Karena hati adalah rumah
bagi iman kita dan sekolah bagi sikap kita.
0 komentar:
Posting Komentar