Kapan lagi selain di Indonesia
Mengajar? Pertanyaan yang selama ini sering kudengar, agaknya baru kali ini masuk di
telinga. Tidak pernah terpikir sebelumnya untuk berlibur di Maluku, terlebih
belum pernah aku dengar daerah Maluku Tenggara Barat. Tidak pernah sekalipun
aku bermimpi mengunjungi sebuah desa kecil di tepian Laut Banda bernama Desa
Adodo Molu. Namun, disinilah kapal kehidupanku selama setahun berlabuh. Dua
tahun berturut-turut desa ini diisi oleh Pengajar Muda laki-laki, namun kali
ini yang datang adalah seorang Ibu Guru. Satu tahun mungkin terlalu lama ketika
aku terus memikirkan ketakutanku menggantikan posisi Billy, Pengajar Muda IV.
Namun, satu tahun terasa terlalu sebentar ketika di hari pertama aku
menginjakkan kaki disini, aku sudah disambut dengan keramahtamahan warga dan tawa
lepas anak-anak. Desa yang kecil namun rapih dan menyuguhkan pemandangan
eksotis. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama, Adodo.
Tiga hari pertama di desa Adodo Molu menambah guratan makna dalam angka
“3” yang merupakan angka spesial dalam hidupku. Aku bersyukur di masa transisi
ini ditemani oleh sosok seperti Billy yang bersahaja dan bisa membawaku dengan
cepat membaur dengan warga desa. Bukan hanya memperkenalkanku ke warga tapi
Billy sedikit-sedikit mengajariku bahasa dan logat Adodo, yang tentu saja berhasil
memuluskan beta pung kesan pertama par
kampung dorang. Salah satu hal yang paling mengesankan dari warga desa ini
yakni mereka seperti tidak mengenal kata letih. Dan memang hal-hal yang positif
pasti cepat menular. Biasanya hari-hari pertama pasti orang memilih untuk
beristirahat, terlebih mengingat perjalananku yang cukup melelahkan, kurang
lebih 24 jam di laut. Namun di sini, aku seperti tidak ingin melewatkan barang
sejam untuk menelusuri keindahannya lebih dalam. Terlalu sayang rasanya jika
waktu tidak kugunakan untuk bermain bersama anak-anak, duduk di tepian pantai
menikmati sapuan angin laut sambil melihat matahari terbenam, dan menyapa
dengan senyum rumah warga sembari melewati jalan kecil di desa.
Hari pertama, dari pagi hingga siang aku diajak Billy naik-turun bukit
bersama anak-anak mengunjungi SD, SMP, SMA, dan kantor camat. Meskipun katanya
desa Adodo adalah yang terkecil diantara lima desa di Kecamatan Molu Maru,
namun letak antar sekolah lumayan membuat betisku bak pemain bola. Terlebih kantor
camat yang berada di puncak bukit dan wajib melewati tanjakan curam yang kami
sebut ‘tanjakan penyesalan’. Seolah makan siang adalah isi bensin bagi tubuhku,
sorenya aku sudah digas kembali untuk bermain ke Danau Wulmasa. Kami berangkat
dengan menggunakan ketinting, sejenis perahu mesin berukuran sedang. Disini
tidaklah susah untuk meminta tolong jika membutuhkan transportasi laut, asalkan
kita mengisi bensinnya, dimana harga seliternya lebih dari dua kali lipat harga
bensin di Jakarta. Aku, Eko, rekan PM yang bertugas di Wadankou, Billy, Dhimas,
dua orang guru, dan beberapa anak-anak akhirnya berangkat. Namun lucunya, di
tengah laut saat ombak agak besar, justru Ibu Batmomolin, sang pemilik
ketinting yang ketakutan. Sementara aku dan yang lainnya bak pawang laut yang anteng-anteng saja menikmati hembusan
angin dan ombang-ambing ketinting.
Sesampainya di Wulmasa, kami langsung bergegas jalan ke atas bukit
untuk mencapai Malela Wulmasa. Jalan yang kami lalui penuh dengan lumut,
sehingga sesekali ada teriakan orang yang tergelincir. Sekitar 20 menit, kami
sampai dan aku terpana melihat keindahan danau yang bersembunyi di balik desa
itu. Tiba-tiba kami para Pengajar Muda baik yang stok lama maupun stok baru
ditantang untuk loncat dari atas karang. Melihat ketinggian karangnya, sempat
ragu, tapi begitu yang lain setuju, aku satu-satunya wanita pun tertantang.
Sambil berteriak “Indonesia”, kami melompat berurutan dan ternyata ada yang
lebih takut dariku. Kami berenang hingga ke tengah danau, saat itu air lagi
pasang sehingga lumayan dalam. Puas bermain dan foto-foto bersama anak-anak,
karena hari sudah gelap, kami memutuskan untuk pulang. Namun, di tengah jalan
kami dipanggil oleh salah seorang tetua adat untuk snobak, tradisi adat yang sebelumnya sudah kulakukan di desaku.
Kami duduk melingkar, tetua adat berdoa adat sambil mengangkat gelas berisi sopi, minuman dari pohon kelapa yang
difermentasi dan disuling, lalu kami disuruh minum dari gelas yang sama secara
bergantian. Setelah selesai, kami berpamitan karena takut air semakin pasang
dan angin semakin kencang. Kurang lebih satu jam, kami tiba di desa dalam
kondisi kedinginan karena baju kami yang basah sehabis bermain di Malela
Wulmasa.
Hari kedua, aku diajak berpetualang oleh anak-anak Wadankou untuk sekalian
acara perpisahan Dhimas dengan anak-anaknya. Aku berjalan dari desa menuju ke
kampung lama, naik turun bukit akhirnya sampai juga di tepian pantai. Ternyata
pasukan Wadankou telah sampai, namun sayangnya karena meti, sebutan untuk air laut yang sedang surut, motor laut berhenti
agak ke tengah dan aku harus berenang dulu. Sampai di atas motor laut, tak
kuduga ternyata anak-anak sudah tahu namaku dan kami langsung membaur. Ditemani
sapuan angin dan goyangan ombak, kami bernyanyi bersama. Sesampainya di Malela
Wunlaa Lama, saking terlalu bersemangat untuk berenang dan berfoto, aku tidak
sadar kalau kakiku tertusuk karang. Kecil memang tapi cukup dalam, namun
anggaplah ini sebagai perkenalan dan tanda mata. Kami lalu melanjutkan
perjalanan ke desa Wunlaa Lama, lebih tepatnya ruma kabong, sebutan untuk rumah kebun yang ditinggali warga saat
menjelang panen atau tanam. Di sana, aku mengajak anak-anak melingkar, lalu
bernyanyi disertai gerakan. Tawa-tawa lepas yang sesekali menunjukkan raut
wajah kelaparan pun kubalas dengan senyum dan mengajak mereka duduk melingkar
untuk makan. Berhubung tidak semua anak membawa bekal, kami terapkan jurus
berbagi. Kami kumpulkan semua di tengah lalu kami hitung dan bagi rata.
Anak-anak makan dengan sangat lahap, termasuk juga ibu guru Thella yang sudah
berubah menjadi orang Tanimbar. Selesai makan, yang laki-laki bermain bola dan
yang perempuan kuajak untuk membuat karya dari pasir pantai. Menjelang matahari
terbenam, aku berbaring di atas pasir sambil melihat langit. Sayang kami harus
menunggu ombak lebih reda untuk berlayar, hingga jam 10 malam baru berangkat
pulang. Aku dan Billy sampai di kampung lama jam 11 lewat dan kami masih harus
menyusuri jalan berbukit untuk sampai desa. Beruntung malam itu bulan terang
benderang, sehingga kami bisa melihat jalan.
“Cukup fit untuk trekking jauh?”, sms dari Billy menyentak di siang
bolong.
Ternyata hari ketigaku diisi dengan kegiatan jalan kaki 8 kilometer
atau selama dua jam ke desanya Eko, Wadankou. Aku membalasnya dengan pertanyaan
lagi, “Bet sebenarnya masih letih, tapi
katong harus pi toh? Karena su janji deng anak-anak par perpisahan bapa Dhimas.”
Setengah jam berkemas, kami pun siap berjalan. Pasukan pejalan kaki kali ini
berjumlah empat orang, ada Ibu Latu, rekan guru di Sdku dan Allen, siswa SMP
yang selalu jadi pasukan Billy. Kami mulai perjalanan dengan naik-turun bukit
hingga sampai di kampung lama. Selagi menyusuri pantai, tiba-tiba Ibu Latu
berceletuk, “Tuhan e, ada ular jatu ka pa
dari pohon itu. Biar kecil tapi kuning lai, pung bisa paling jahat toh?”. Kami
mencari-carinya, ternyata agak jauh dari tempat kami berjalan. Puji Tuhan ular
itu tidak jatuh di atas kepala kami. Kurang lebih dua puluh menit susur pantai,
kami mulai memasuki hutan dengan kontur jalan yang lebih menantang. Allen
berjalan sangat cepat hingga aku yang tepat di belakangnya geleng-geleng kepala
lalu berkata, “Allen, memang e orang
Molo, jalan su cepat lai macam hantu bagitu.” Dia hanya tersenyum dan
kembali berjalan. Sesekali aku mengecek ke belakang, Ibu Latu sempat tersangkut
akar-akar pohon dan Billy berjalan agak lama karena kakinya masih sakit
tergores karang. Ternyata medan yang kami lalui bukan hanya bukit, pantai, dan
hutan. Ada kejutan lain yakni kami harus menyebrangi rawa-rawa yang cukup licin.
Sesekali kami juga melewati tanah yang cukup lembek yang di atasnya penuh
dengan ranting-ranting pohon. Aku berusaha menyesuaikan ritme jalanku dengan
Allen yang sudah jauh di depan sana. Hingga tiba-tiba aku terjatuh.
“Mama e, Ibu Thella jalan talalu
cepat lai. Mana yang sakit ka? Allen, ose pung mata bole liat Ibu Thella di
belakang la ”, anehnya bukan aku yang teriak tapi Ibu
Latu. Sekejap aku langsung bangun dan berkata, “Seng apa-apa Ibu, beta seng liat ada akar di bawah tanah ini. Anggap
sa kenalan toh. Mari katong lanjut jalan.” Sejujurnya pinggul sebelah kanan
yang terantuk akar itu cukup nyeri tapi kupikir itu resiko keteledoranku.
Setibanya di daerah penuh ilalang, aku bertanya pada Allen kira-kira masih
jauhkah perjalanan kami. Dia menjawab sedikit lagi, yang arti sebenarnya lumayan masih jauh Ibu. Betul saja,
masih kurang lebih 45 menit lagi kami harus menapaki berbagai medan.
Sayup-sayup terdengar suara ombak, hatiku mulai berpengharapan. Lega rasanya
ketika Allen menyatakan kami sudah sampai. Ah, ternyata belum! Saat kutanya,
mana Wadankou, Allen menunjuk desa yang ada di ujung pantai, kurang lebih 750m.
Sambil menyusuri pantai, kami membuat guyonan dan sama-sama tertawa lepas.
Sesampainya di depan gapura desa Wadankou, betapa senangnya melihat anak-anak
banyak yang memanggil namaku sambil berlarian menghampiri kami. Kalau sudah
begini, aku lupa soal pinggulku yang nyeri, betisku yang pegal, dan rasa
hausku. Sembari menuju rumah Pak Kades, yang kebetulan tempat tinggal Dhimas
dan Eko, aku menyapa warga di sekitar.
Sesampainya di sana, aku melihat ada segelas sopi dan sepiring sirih
pinang. Ini kali keempat aku snobak, tapi
kali pertama ada tradisi dengan sirih
pinang. Setelah doa adat yang menyebut Tuhan dengan Ubu Ratu selesai, gelas mulai diedarkan. Sedari awal aku memang
berkomitmen hanya mencicip saja, tapi kali ini ada yang beda. Aromanya begitu
kuat dan diminum sedikit saja mataku hampir berair. “Ibu, ini nama sopi kapala. Jadi dari sagero (sebutan untuk cairan dari
pinang kelapa yang ditampung berhari-hari), hasil penyulingan pertama yang
keluar itu langsung dibuat jadi sopi kepala.” Aku hanya mengangguk sambil
merasakan tenggorokanku yang mulai panas. Belum lagi rasa sopi hilang, sirih
pinang mulai diedarkan. Aku mendapat giliran pertama untuk memakannya, pinang
dilipat bersamaan dengan kapur di dalam daun sirih lalu dimasukkan ke mulut.
Semuanya makan, tapi entahlah mungkin aku terlalu polos atau gampang dikadali,
kukunyah sirih pinang sampai lembut lalu kutelan. Kulihat kanan dan kiri, semua
hanya ritual mengunyah 2x lalu dibuang. Lalu dengan nada protes aku berkata
pada Eko, “Oz pung sirih pinang barang
kenapa dibuang la? Katong baru disini toh, jadi menghargai bole paksa sorong ke
poro.” Di luar dugaan, Dhimas disusul hadirin lain di rumah Kades tertawa
terbahak melihatku. Ah, betul saja, ini ulah Dhimas untuk mengerjai aku dan
Eko, tapi sialnya Eko tidak mencolekku untuk memberi kode membuang sirih pinang
yang rasanya jelas pahit dan serat di tenggorokkan. Yasudahlah, paling tidak ini
menjadi kenangan tentangku di orang Wadankou.
Setelah disiksa dengan sopi
dan sirih pinang, aku bergegas mandi lalu siap-siap untuk acara perpisahan.
Namun sebelum itu, kami makan rame-rame di rumah Pak Kades. Dhimas selaku tuan
rumah ternyata sudah menyiapkan menu spesial, bakar batu. Dhimas sempat membeli seekor babi hutan kecil lalu
memeliharanya hingga besar dan akhirnya dipotong untuk dibuat bakar batu.
Prosesnya sangat unik, daging babi yang telah dipotong beberapa bagian,
dilumuri dengan bumbu lalu dibungkus dengan daun pisang, dan diletakkan di
dalam panci atau kuali di atas batu yang dibakar. Dibiarkan beberapa saat
hingga daging empuk, bumbu meresap, dan minyak babinya keluar. Rasanya? Tak
diragukan lagi hingga aku pun sulit menjelaskannya. Sayangnya Eko yang beragama
Muslim tak bisa merasakan sensasinya, namun orang Wadankou cukup toleran dengan
membuatkan ayam kecap untuk gantinya. Setelah kenyang, kami bergegas ke
lapangan karena acara akan segera dimulai.
Diawali dengan sambutan dari perangkat desa, majelis gereja, perwakilan
sekolah, dan keempat Pengajar Muda, acara dilanjutkan dengan makan bersama di
atas daun kelapa. Makan lagi? Sudah
jangan protes, ikuti saja alurnya. Menunya kali ini ketupat, sayur, dan
ayam cincang. Selesai makan bersama tibalah acara penutup, bukan berarti acara
selesai justru ini acara puncak yang ditunggu-tunggu warga. Bahkan, anak-anak
yang sedari tadi tertidur di tengah lapangan, spontan bangun saat musik mulai
dimainkan. Mari katong joget sampe pagi
e. Tradisinya adalah nyong ambil
nona, para pria menjemput wanitanya untuk berjoget di tengah lapangan.
Entah ini keunikan atau nasib, nona tidak boleh menolak ajakan nyong manapun.
Entah nyong yang masih kecil, pemuda, hingga lanjut usia, nona harus mau untuk
turun floor. Benar saja, baru selesai
aku diantar duduk, nyong berikutnya datang menjemput. Mungkin nyaris 10 nyong
dengan durasi rata-rata 6 menit untuk bergoyang, hingga pinggul dan betisku
rasanya pegal. Kulihat jarum pendek di jam tanganku menunjuk angka dua. Billy
dan Eko yang sedari tadi melihat mataku mulai sayu dan letih, akhirnya
menyuruhku untuk beristirahat di rumah Ibu Pendeta. Lagipula, besok pagi kami
harus kembali bertarung dengan ombak di laut untuk ke Adodo.
Yah, begitulah. Angka tiga selalu berkesan
dalam hidupku, terkhusus tiga hari pertamaku di tanah orang Tanimbar. Ibarat
sedang mengemut hot hot pop sambil
meneguk coca-cola, selalu ada sensasi
di tiap harinya. Thanks God and I’m still waiting for my next special three.
0 komentar:
Posting Komentar