Selasa,
5 November 2013, jam di HP-ku menunjukkan pukul 01.30 WIT. Namun, aku belum
juga terlelap karena baru selesai bertelepon dengan keluargaku di Jakarta. Usai
berdoa, aku merebahkan kepalaku dan mencoba memejamkan mata, namun kepalaku
tetiba terasa berat. Kuputuskan untuk mengirimkan SMS ke Bapak Agus Narantery,
Ketua Lembaga Pesparawi Kecamatan Molu Maru, meminta izin untuk tidak ikut
latihan fisik di pagi hari. Setelah itu, aku juga meng-SMS Ibu Latu, dirigen
paduan suara pemuda, untuk menyampaikan kepada pelatih dan teman-teman kalau
pagi ini aku absen latihan vokal. Mungkin karena badanku terlalu letih,
akhirnya aku terlelap hingga pukul 05.55 dering telepon membangunkanku. Sembari
mengumpulkan nyawa, kuangkat telepon itu. Suara dari seberang sana terdengar
lirih namun memaksakan untuk tegar.
“Dek La, terserah
bagaimana pun caranya, Dek La dan Ayah Eko harus tiba di Saumlaki sebelum jam 3
sore. Soalnya Bang Dit...” (telepon terputus)
“Halo, Kak tadi
teleponnya terputus. Coba jelaskan do kenapa katong mendadak harus pi Saumlaki?
Tadi ada bilang Bang Dit, ada apa ka?”
“Bang Dit
meninggal, Dek...”
Pertahananku
runtuh, badanku lemas dan air mataku tak terbendung. Aku yang masih tidak
percaya, terus bertanya kepada Rena dengan suara lantang. Hingga akhirnya
kuputuskan mematikan telepon dan bergegas keluar rumah tanpa peduli rupaku saat
bangun tidur. Aku berlari menuju kerumunan orang yang baru selesai lari pagi
dan menghampiri Bapak Agus, yang kebetulan staf kecamatan, menjelaskan sambil
terengah-engah bahwa Adit meninggal dan mendesak agar speed kecamatan segera disiapkan untuk mengantarkanku dan Eko
hingga Waturu. Banyak orang terlihat kaget melihatku dan satu pertanyaan dari
mereka akhirnya membuatku jatuh pingsan. Aku mulai sadar ketika ada satu Ibu
yang menyemburku dengan air kemudian menepukkan Alkitab ke pipi dan dahiku. Begitu mataku terbuka, yang
kuingat hanya wajah Adit dan
sontak aku menangis
lagi. Namun, rekan-rekan guruku mengingatkan bahwa aku harus menjaga kondisi dan segera
berpacu dengan waktu untuk sampai
di Saumlaki. Mereka dengan sigap memasukkan pakaian dan beberapa perlengkapanku ke dalam tas yang
akan kubawa. Yang
kucari hanya satu, sendal tali hitam bergaris coklat. Sendal yang selalu dipuji
oleh orang-orang setiap kali aku memakainya adalah sandal yang dibelikan Adit
di Larat. Sandal yang menjadi bukti bahwa Adit, yang selama ini kami lihat agak
cuek terhadap perempuan, yang menilaiku rempong,
ternyata cukup perhatian dan pandai memahami selera perempuan. Padahal
sebelumnya aku selisih paham dengan Adit soal Eko yang belum kunjung sembuh
total tapi tidak mau dibawa ke Saumlaki. Bahkan saat Adit tahu nada sms-ku
mulai kesal, dia dengan sabar menenangkanku dan menjelaskan maksudnya. Ya, dia
memang sosok pria yang unik, tegas tapi lembut.
Bapak Agus mengabariku bahwa bensin untuk speed sudah siap dan tepat pukul 09.17 WIT kami berlayar menuju Wadankou untuk menjemput Eko. Karena saat
itu meti panjang (sebutan untuk air laut
yang surut), speed kami bersandar amat jauh dari pantai di bibir kampung
Wadankou. Belum lagi ada kejadian di mana Bapak Teko yang mengendarai speed terluka karena karang yang patah
saat menyelamatkan tas berisi laptop milik Eko. Sengaja aku menyuruh Bapak
Teko, Ibu Latu, dan Ibu Susi untuk tidak memberitahukan dahulu masalah Adit ke
Eko, yang dia tahu hanya harus segera ke Saumlaki karena perintah MTB 1. Kami
merelakan diri ‘dibanting’ dua jam tanpa henti dalam speed yang melaju menuju Larat. Raut mukaku berubah pucat, bukan
hanya karena sakit menahan goncangan tetapi juga sesekali terbayang momen kami
bersama Adit. Sesampainya di Larat, kami harus menunggu Bapak Teko mengisi
bensin speed. Bapak Pendeta
menghampiriku dan menanyakan penyebab meninggalnya Adit, saat itulah aku
memberitahukan kepada Eko. Ia terduduk dan hanya mengeluarkan dua kata ‘kok
bisa?’. Kami berusaha saling menguatkan dan hanya berpikir harus sampai tepat
waktu agar bisa melihat wajah Adit untuk yang terakhir kali. Namun, dalam
suasana berduka masih saja ada cobaan. Untuk membeli bensin, Bapak Teko
diharuskan pergi ke desa Watidal dan ternyata sesampainya di sana kembali
dioper lagi ke pangkalan Larat. Untunglah, tangan
kanan Bupati yang berada di Saumlaki berhasil melancarkan segala urusan
sehingga kami bisa mendapatkan bensin tanpa harus antri lagi. Aku makin gelisah
tiap kali melirik jam, berharap jarumnya berhenti atau bahkan mundur.
Berkali-kali aku mengirim sms ke teman-teman maupun pihak Pemda agar menunggu kami
dahulu sebelum memberangkatkan jenasah Adit.
Uji kesabaran rasanya tiada henti, saat speed dinyalakan, kami mendapat kabar bahwa ombak di jalur Timur
menuju Waturu cukup kencang. Namun karena pertimbangan waktu, aku nekat memilih
jalur Timur melewati Tanjung Neraka, tempat keramat yang sudah banyak memakan
korban. Untuk menjaga keselamatan, akhirnya kami mengajak salah seorang tetua
ikut bersama. Saat mendekati Tanjung Neraka, seluruh penumpang di speed menunjukkan raut muka cemas. Tetua
mulai mengucapkan ‘permisi’ dan melemparkan dua batang rokok ke laut, sekaligus
memerintahkan kami untuk tidak takut. Bentuk Tanjung Neraka memang menyeramkan,
seperti kepala ular yang menukik ke laut. Anehnya lagi, deburan ombak cukup
keras hanya terjadi di pinggir Tanjung, sementara di tengah jalur yang kami
lewati tetap teduh. Mungkin kali ini neraka memberikan surganya untuk kami.
Namun, ternyata sampai di Waturu ternyata kami ketinggalan mobil Dinas PU yang
seharusnya mengantar kami. Kami nyaris putus asa, sembari berjalan ternyata ada
dua orang bapak yang berteriak “Indonesia Mengajar ya?”. Singkatnya, kami
menerima tawaran mereka untuk kebut naik motor ke Saumlaki. Di jalan, aku cemas
melihat jarum pendek yang sudah lewat angka 4 sambil berkata dalam hati, “Bang
Dit, tunggu kami ya.” Karena terlalu sering bertanya, “Pak, masih jauh ya
Saumlaki?”, bapak tersebut menyuruhku untuk memperhatikan batu penanda
kilometer saja. Akhirnya tepat jam 5 sore, kami sampai di Saumlaki dan aku pun
bergegas menelepon Rena, “Kak Ren, katong su di Saumlaki ini, menyusul kemana
ka?”
Saat kami disuruh ke kediaman, aku mulai curiga kalau Adit sudah
diberangkatkan tanpa menunggu kami. Benar saja, memasuki pintu gerbang kediaman
Bupati, kulihat pendopo sepi. Rena dan Intan menyambut kami di muka pintu,
hatiku makin yakin kalau Adit sudah berangkat. Sambil memelukku erat, Rena
mencoba menenangkanku yang setengah berteriak dan menangis menanyakan mengapa
Adit diberangkatkan sebelum kami datang. Jujur, aku tidak minta waktu banyak
untuk melihat Adit. Aku hanya butuh 5 menit untuk menunjukkan sandal cantik
pilihannya yang kupakai dan meminta maaf kalau pernah ada salah. Rena
menjelaskan bahwa pesawat tidak bisa menunggu bahkan pilotnya pun sudah
marah-marah. Bahkan sempat ada kejadian karena surat karantina yang terlambat
datang, jenasah almarhum hampir tidak bisa masuk pesawat. Guru-guru peserta
Pelatihan Intensif Pengembangan Kompetensi Guru SD se-Kabupaten Maluku Tenggara
Barat pun sempat emosi memalang badan pesawat sampai jenasah almarhum diperbolehkan
masuk setelah pihak Pemda berlari ke pesawat menyerahkan surat karantina.
Akhirnya jenasah Adit diberangkatkan bersama dengan Didit dan Bunga yang ikut
mengantar. Di sisi lain, dalam suasana duka, kami memaksakan diri harus tetap
tegar karena esoknya pelatihan guru tetap berjalan. Kami yang hanya tinggal
berempat berupaya membagi tugas, Eko dan Rena sedari pagi mengurus akta
kematian Adit, sementara aku dan Intan mengawal pelatihan. Rasanya masih lemas
dan tidak percaya, dalam hati sempat ingin protes mengapa belum genap lima
bulan tetapi tim kami harus mendapat ujian seberat ini. Namun, kami memilih
untuk melanjutkan perjuangan dengan semangat Adit yang akan terus berada di
sisi kami. Kami percaya bahwa ujian yang kami alami akan membuat tim kami menyatu,
menguatkan, dan ‘naik kelas’. Raga
tinggal berenam tetapi semangat tetap bertujuh dan Bang Dit akan selalu ada di
hati kami.
0 komentar:
Posting Komentar