Waktu terus berjalan tanpa mau kompromi dengan Panitia Pesparawi di
Molu Maru. Banyak hal yang harus dibenahi, tapi hanya sedikit yang
berpartisipasi. Hingga saat ini yang menjadi pergumulan memang terkait rasa
memiliki masyarakat terhadap pesta iman ini. Padahal berulang kali dalam setiap
kesempatan, Ketua Panitia Pesparawi, Bapak Pendeta Betoky, menyentil kepedulian
masyarakat. Saking bingungnya mana yang harus disiapkan dulu, seandainya bisa
pasti panitia tidak berpikir dua kali untuk membelah diri. Riak-riak kecil
bermunculan karena semua dalam kondisi panik, padahal justru dalam keadaan
dilema seperti inilah kesatuan hati panitia dibutuhkan. Sekarang bukan saat
yang tepat untuk mempersalahkan, semua harus rela bekerja siang malam demi
Pesparawi. Dalam mempersiapkan kontingen, terjadi dilema pemilihan solis untuk
tiap kategori. Ada yang mau tapi tidak sesuai kriteria, ada juga yang dinilai
cocok tapi enggan untuk ikut. Lagi-lagi rasa malu hati yang terlalu tinggi
menjadi tantangan tersendiri dalam menetapkan sejumlah nama. Akhirnya dengan
pertimbangan matang, muncullah nama-nama yang siap membawa nama Molu Maru dalam
setiap nada yang dilantunkannya. Suara mereka mungkin cukup merdu, tapi teknik
bernyanyi yang masih salah dan kurangnya rasa percaya diri membuat Bapak
Pendeta Betoky harus bekerja ekstra. Belum lagi kecenderungan ritme latihan
yang suam-suam kuku, kadang membuat Bapak Pendeta Betoky rasanya ingin angkat
tangan. Saat sang ketua panitia harus mengurus keperluan Pesparawi di Saumlaki,
semua seperti ayam kehilangan induk. Ya,
inilah resikonya kalau satu orang merangkap begitu banyak tugas. Tim paduan
suara dewasa mulai absen latihan, seksi acara juga kurang terawasi, dan solis
entah bagaimana nasibnya.
Saya selaku panitia kesekretariatan merangkap peserta paduan suara
pemuda dan penerima tamu, dititipi tugas oleh beliau untuk mengontrol latihan
paduan suara dan pengisi acara. Di sisi lain, saya juga harus mengurus rumah
dan dua orang adik piara. Untunglah saya begitu menikmati latihan menjadi Ibu
Rumah Tangga yang baik selama beberapa hari ini. Jadi, yang perlu saya pikirkan
hanyalah bagaimana membagi waktu antara jadwal latihan fisik, menyanyi,
membantu seksi acara mengawasi latihan para pengisi acara, dan memberanikan
diri untuk melatih para solis. Saya bukan orang yang mahir akan kunci nada atau
sering menjuarai kontes menyanyi, tapi tidak ada pilihan lain untuk membuat
para solis betah latihan. Malam hari sebelum tidur, saya mempelajari nada dan
lirik setiap lagu, mencoba menyanyikannya, dan membuat jadwal latihan seperti
uji panggung sungguhan. Para solis mencabut nomor undian yang seterusnya akan
digunakan setiap kali mereka latihan. Saya pun berlaga sebagai MC sekaligus
juri bagi mereka. Mulai dari nada, teknik ambil nafas, hingga kesesuaian lirik
dengan ekspresi, semua saya komentari. Kadang dalam hati bertanya sendiri, mimpi
apa saya bisa melatih mereka bernyanyi? Mungkin demi Pesparawi, Tuhan
meminjamkan talenta bernyanyi kepada saya. Harapan saya sederhana, di tengah
keterbatasan, para solis mampu menampilkan dirinya yang terbaik. Sekalipun
tidak semerdu solis dari kecamatan lain, yang terpenting mereka bisa menyanyi
dari hati sehingga makna lagu bisa sampai ke setiap telinga yang mendengar.
Sekembalinya sang ketua panitia, rapat pun digelar untuk membahas
tentang akomodasi peserta dari seluruh kecamatan selama acara. Awalnya, Lembaga
Pesparawi Kecamatan dan panitia melakukan sosialisasi untuk meminta ke lima
desa menyiapkan rumah-rumah layak tinggal dan kerapihan desa dalam menyambut
tamu. Mobilisasi ke desa Adodo sebagai lokus acara diupayakan dengan motor laut
yang siap sedia tiap desa. Rancangan ini amat baik untuk sekaligus mengenalkan
peserta dengan budaya dan keakraban masyarakat masing-masing desa. Namun, di
tengah jalan, Bupati dan Lembaga Kabupaten memiliki kekhawatiran akan sulitnya
mobilisasi di musim angin Barat. Akhirnya dengan berat hati diputuskan bahwa
akomodasi seluruh kontingen dipusatkan di desa Adodo Molu. Panitia Pelaksana
bingung bagaimana caranya menyampaikan kabar mengecewakan ini kepada tiap-tiap
desa, sementara mereka terlihat antusias menata dan membenahi rumah-rumah di
desa. Untuk menghindari kekisruhan di tengah sibuknya persiapan Pesparawi,
panitia memutuskan untuk merahasiakan sementara kabar batalnya pembagian
akomodasi ke desa-desa. Namun, bibir.net (istilah
dari Alm. Adit untuk gosip melalui mulut ke mulut) menyebarkan kabar tersebut
secepat kilat. Sudah banyak yang bertanya-tanya tentang kepastian akomodasi
Pesparawi di Molu Maru. Malam hari, saat rapat evaluasi bersama dengan Lembaga
Pesparawi Kabupaten, persoalan akomodasi kembali dibahas. Bapak Kades yang
menjadi ketua seksi akomodasi ternyata belum matang mempersiapkan pembagian di
rumah-rumah dan fasilitas umum. Begitu pun dengan ketua seksi perlengkapan dan
dekorasi yang masih mengambang dalam melaporkan progresnya. Sementara itu mata
saya memerah, bukan karena mengantuk tapi karena memikirkan perasaan warga desa
yang sudah berkorban baik tenaga, waktu, dan uang untuk menyiapkan rumahnya
dalam menerima tamu. Mendekati hari-H justru persiapan terasa semakin sulit,
mungkinkah ini karena banyak hati yang kecewa dan kurang mendukung dalam doa
kelancaran acara ini? Ingin rasanya bersuara kepada panitia agar ada kunjungan
ke desa-desa lalu menjelaskan baik-baik alasan pembatalan dan meinta maaf dari
hati kepada, paling tidak bisa membalut luka kekecewaan mereka. Namun, rasanya
tidak mungkin mengingat semua panitia sedang diberdayakan mengerjakan tribun
dan menyiapkan acara. Selain itu, curah hujan yang tidak menentu dan ombak yang
kencang menjadi penghambat untuk keluar kampung.
Pagi harinya saya mendapat sms dari salah satu radio di kabupaten yang
bertanya, ‘Sore, katanya gedung serbaguna
di Momar robo krn hujan y?’ Tanpa pikir panjang saya langsung membalasnya, ‘Wah, banya ska gosip ttg Momar memang. Bet
sampe bingung mo jawab bemana’ (Wah, banyak sekali gosip tentang Molu Maru.
Saya sampai bingung mau jawabnya seperti apa). Sejak ditetapkan menjadi
tuan rumah Pesparawi ke-II, Molu Maru ibarat artis yang sedang naik daun.
Sampai bosan rasanya saya menjawab segelintir gosip terkait persiapan Pesparawi
di Molu Maru. Bahkan rekan saya sesama Indonesia Mengajar pun sedikit banyak
terpengaruh gosip dan keranjingan mempertanyakan kembali. Bapak Piara saya,
yang merupakan Ketua Panitia, sempat mengajak saya berkelakar dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu. Kami sepakat menjawab kalau Pesparawi ditunda tahun
depan tepatnya di bulan Maret, karena pada bulan itu kami berulang tahun. Kami
memang tidak mau ambil pusing dengan pendapat orang-orang, toh banyak hal yang
lebih layak dipusingkan terkait persiapan Pesparawi. Hari Minggu menjadi hari
unjuk gigi kontingen di gereja sekaligus pengukuhan kontingen oleh Bapak Camat
Molu Maru. Tiap kategori sudah terlihat cantik dengan kostumnya dan siap
menguji rasa percaya diri menyanyi di depan banyak orang. Dari pengamatan saya,
pertandingan sengit akan terjadi antar paduan suara remaja/ pemuda. Saya yang
merupakan bagian dari tim paduan suara juga merasa terbeban karena tahun 2011,
tim Molu Maru mendapat juara 3. Kami harus bisa meningkatkan prestasi atau minimal
mempertahankan gelar. Dengan segala keterbatasan, kami berjanji untuk tampil
semaksimal mungkin. Yang tua pun tidak mau kalah, meskipun salah satu kecamatan
besar sudah menjagokan tim paduan suara dewasanya akan merebut juara 1, namun
paduan suara dewasa Molu Maru tetap optimis.
Hingga akhir tulisan ini saya ketik, tertanggal 26 November 2013, siang
hari yang amat cerah, masyarakat Adodo Molu masih terlalu sibuk sembari
menunggu kedatangan Feri yang membawa kontingen. Dalam hati saya sering
berkata, “Tete Manis e, tolong katong
jua. Kasi cuaca bae-bae ka sampe acara selesai biar dong pulang pu kesan bagus
par Molu Maru” (Tuhan, tolong kami. Berikan cuaca yang baik sampai acara
selesai agar mereka pulang membawa kesan bagus untuk Molu Maru). Kami tahu
bahwa tanggung jawab ini terlalu berat jika kami paksa pikul dengan kekuatan
sendiri, karena itu kami berserah kepada Tuhan atas segala yang telah kami
kerjakan. Seperti motto yang dikumandangkan tiap kali tim paduan suara latihan
fisik, ‘Molu Maru...bersatu untuk maju,
mati sama juga’, itulah yang akan kami perjuangkan bersama.
0 komentar:
Posting Komentar