Dan Tuhan pun Berhasil KUTIPU!

Leave a Comment

Mengulas kumpulan cerpen karya Armini Arbain (2009) yang kental akan budaya Minangkabau ini sedikit sulit. Mulai dari latar,diksi, dan aroma budaya yang dibawa oleh penulis dalam menyampaikan makna juga perlu interpretasi yang tajam. Buku yang terdiri dari 18 cerpen ini cukup menyentil kesadaran kita akan realitas zaman postmodern saat ini, membukakan mata kita tentang berbagai persoalan hidup, dan membuat kita introspeksi sendirinya. Walaupun ini bukanlah buku rohani Kristen, bahkan saya sedikit terkejut ketika nuansa islami ditawarkan begitu "dalam" disini, namun saya sadar banyak nilai-nilai yang bisa dipetik ketika membaca buku ini. Ringan karena disajikan dalam bentuk cerita pendek, namun berat karena maknanya tersirat dan langsung mengena!


Pertama


Saya akan membahas tentang nilai religius
Zaman sekarang fokus utama seseorang banyak yang melenceng, bukan lagi kepada Tuhan yang mampu memberikan segalanya, tapi kepada rasa hebat dalam diri dan gelar yang disandang. Dalam cerpen "dan Tuhan pun berhasil kutipu" dikisahkan tentang Haji Jo Labiah yang memakai uang haram untuk naik haji dan dia merasa berhasil menipu TuhanNya karena pulang dengan selamat tanpa mendapat murka seperti apa yang sering digumamkan banyak orang. Sementara dalam "Al-Kafirun" dikisahkan tentang seorang anak desa yang merantau ke kota untuk menimba ilmu, namanya Emenaldi. Sekembalinya ke desa dengan menyandang gelar MA, ia diminta menjadi imam saat sholat maghrib, namun ditertawakan oleh makmum karena salah mengucapkan kalimat terakhir surat Al-Kafirun. bayangkan seorang dengan gelar "Master" yang jauh-jauh ke kota, jangankan berbakti kembali pada desanya, untuk memimpin ibadah pun tidak bisa. Dua cerita ini menyentil kita bahwa pemahaman agama di zaman postmodern (begitu) dangkal dan Tuhan "dikerdilkan" karena manusia merasa mampu akan usahanya sendiri.


Kedua


Saya akan mengulas dari sisi politik.
"Bisikkan" merupakan sindiran bagi elit politik yang sering melakukan tindak korupsi. Kisahnya tentang pejabat yang sakit menahun bahkan dokter pun sudah angkat tangan karena tidak ada tanda-tanda kesembuhan dan tiada satupun keluarganya yang mengunjunginya. Saat seorang kerabatnya datang dan membisikkan "sesuatu", ia tertawa dan mencarut, tiba-tiba menghembuskan nafas terakhir. Ternyata sang kerabat membisikkan bahwa mereka berhasil (lagi) mencuri banyak uang rakyat tanpa ketahuan. Lain halnya dengan "Menuntut Walikota" dan "Jembatan Itu" yang menyentil pemerintah untuk memenuhi apa yang seharusnya menjadi hak rakyat berupa fasilitas umum yang rusak namun tidak kunjung diperbaiki. Parahnya sudah pun menelan korban, tetap saja keseriusan itu tidak terlihat dari sang elit. Inilah realitas postmodern ketika janji politis hanya sebatas ucapan dan saat tahta sudah diraih, sang elit lupa melihat siapa yang menyokongnya di bawah.


Ketiga


Ditilik dari aspek psikologis berupa konflik batin.
"Perempuan yang Terpasung" membuka mata kita bahwa di zaman modern dimana orang sudah berpikir logis dan beragama pun, ada saja orang yang mencapai kepentingan dengan praktek perdukunan. Sementara dalam "Luka yang Indah" dikisahkan bagaimana kesabaran seorang suami yang bertahun-tahun merawat istrinya yang sakit jiwa karena anak mereka terbakar. Saking cintanya, ia berusaha mengakhiri penderitaan sang istri dengan meracuninya. Dalam cerpen "Mantra Pamanih" bercerita tentang seorang lelaki yang menganggap bahwa semua wanita dapat ditaklukkan dengan mantra yang didapatnya dari sang kakek. Manjur barangkali ketika wanita-wanita sebelumnya dapat ditundukkan dengan mudahnya, namun saat dia benar-benar menginginkan seseorang mantranya malah tidak mangkus. Ada juga cerpen "Akhirnya Pertanyaan Isya Terjawab" yang memaparkan suatu kondisi penuh tekanan sesudah PRRI, dimana Isya seorang gadis kecil yang selalu bertanya dalam hatinya mengapa sekalipun ia tidak merasakan kehangatan kasih sayang kedua orangtuanya, sekalipun ayah atau ibunya sekedar menyanyakan kabarnya hari ini. Setelah sekian lama mengumpulkan keberanian dan rasa "tidak tahan" atas perlakuan tersebut, akhirnya dia mendapati jawaban bahwa ia hidup pada zaman dimana semua orang di daerahnya tertekan atas pemerintah pusat sehingga berdampak pada perilaku mereka yang cendeerung kaku dan dingin. Mungkin saat ini ia harus maklum kenapa dia menjadi korban. Keempat cerita ini menyadarkan kita bahwa di tengah hiruk-pikuk ilmu pengetahuan dan kecerdasan yang semakin luas, tidak bisa dipungkiri aspek psikologis tetap berperan dalam tingkah laku seseorang. Saat pikiran dan hati tidak sejalan, maka jalan pintas dan keegoisan yang berkuasa.


Keempat


Tentang kentalnya budaya Minangkabau yang disajikan dalam cerpen berbahasa Inggris, seperti "Burry My Poor Beloved under the Coconut Tree" dan "The Sixth Senses of Garak" yang memaparkan keunikan konsepsi mamak dan kemenakan dalam masyarakat Minangkabau yang ditinjau dari sudut yang unik pula. Menurut saya, karya hybrid seperti ini dapat memberikan pemahaman akan kehidupan di Ranah Minang kepada cakupan entitas lebih luas. 


Kelima



Jeritan perempuan di tengah teriakan emansipasi!
Saya bersemangat mengulasnya karena dalam buku ini cukup banyak disajikan bagaimana kedudukan perempuan di mata keluarga, masyarakat, bahkan dirinya sendiri. Dalam kisah "Kartini Namaku" diceritakan bagaimana ketimpangan status dan tanggungjawab seorang istri dalam keluarga, yang seharusnya mengurus anak dan suami namun malah harus banting tulang menafkahi keluarga. Suami yang tidak pernah bekerja namun selalu menuntut membuat tekanan batin hebat dalam diri perempuan itu, bukan hanya lelah fisik mencari uang tapi lebih lelah batin melihat tingkah laku suami yang tak kunjung sadar. Akibatnya Kartini menanggung derita di rumah sakit jiwa. "Ketika Anduang Merindu" juga menceritakan bagaimana penderitaan seorang wanita ketika kehilangan harta yang sangat dijaganya, yaitu keperawanan karena diperkosa orang tak dikenal bahkan sampai hamil. Satu sisi dia senang karena saat melahirkan, anaknya sudah tak bernyawa. Namun di sisi lain, ia juga sedih ketika kerinduannya untuk memiliki suami dan anak harus sirna. Trauma yang mengikatnya menjadikan dia tidak mau menikah. Lain halnya dengan "Produk Siti Nurbaya" yang menceritakan ayah yang memiliki 3 orang anak perempuan dan selalu memaksakan apapun kehendaknya pada sang anak, termasuk memilihkan jodoh yang (menurut dia) terbaik. Sang ayah tidak merasa kapok saat melihat bahwa 2 orang anak perempuannya yang menikah dengan lelaki yang dipilihnya benar-benar menderita dan tertekan. Ia malah tega untuk melakukan hal serupa kepada anak perempuannya yang ketiga, namun sang anak berontak dan akhirnya kabur dari rumah. Ketentraman batin yang baru seumur jagung pun harus hancur kembali ketika sang anak mendapat surat dari ibunya yang menyuruh ia kembali ke rumah karena ayahnya sakit keras. Parahnya, bukan kesadaran akan kebahagiaan untuk sang anak yang jadi pelajaran bagi si ayah, ia malah tetap bersikukuh dengan pendiriannya untuk menjodohkan anaknya dengan lelaki pilihannya. Tragis memang, di tengah dobrakan Kartini yang memperjuangkan hak wanita dan akhirnya sekarang "emansipasi" berkoar-koar dimanapun, ternyata hak-hak perempuan masih TERKUNGKUNG baik oleh otoritas laki-laki, kekerasan hati orangtua, dan paradigma bahwa wanita itu LEMAH. Hal ini menyadarkan kita bahwa peran perempuan sudah melenceng dan kedudukannya seolah diinjak oleh zaman. 


Kumpulan cerpen ini benar-benar membawa kita hanyut dalam membayangkan realitas kehidupan, bahkan terkadang saya pun mengidentifikasikan diri saya dalam salah satu kisah di dalamnya. banyak pembelajaran yang mendewasakan sikap dan tingkah laku kita dalam buku ini. Suatu kenyataan pahit postmodernisme, dimana nilai-nilai modern dicampuradukkan dalam ranah budaya demi suatu kepentingan. Masing-masing orang merasa mendapatkan kebenaran mutlak yang dikonsepkan sendiri sehingga nilai ke-TUHAN-an pun semakin kabur. Moral tidak lagi menjadi bahan pertimbangan dalam memutuskan suatu hal karena manusia merasa hidup hanya miliknya dan apa yang ia inginkan harus tercapai, akibatnya keegoisan tersebut merugikan pihak lain dan menimbulkan dampak yang fatal. Postmodernisme memang tak hanya bersisi buruk, namun kita perlu mengkajinya lebih teliti mana nilai yang patut diadopsi dan mana yang tidak. Jangan samapi tergiur oleh manisnya, lihatlah apa yang diulas dalam buku ini sebagai pijakan untuk mengkritisi POSTMODERN!
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar