“Ibu, kapan pi Jawa la? Balek kombali Adodo kapan ka?”, tanya siswa-siswaku di SMP.
“Kamu gak cuti, Thell? Buset betah amat di sana, awas
ntar lupa pulang lho”, ujar seorang sahabat.
“Temanmu yang lain cuti, kok kamu tidak? Natal itu
waktunya kumpul sama keluarga”, mama mengomeliku via
telepon.
“Kalau ongkosnya mahal, nanti kukirim pun uang biar kau
bisa pulang. Aku sakit kemarin mikirin kau disana, inang”, lirih Opungku di seberang sana.
Sedari awal penugasan, hatiku memang condong untuk tidak mengambil
cuti. Sekalipun membayangkan betapa enaknya mencicipi kehidupan kota sejenak,
belum lagi omongan orang desaku kalau saat Natal desa akan sepi karena banyak
yang keluar kampung, tetapi tekadku tidak tergoyah. Bukan berarti aku tidak
rindu dengan keluarga dan kerabat, namun aku memang ingin merasakan suasana
Natal yang berbeda. Pikirku, terlalu sayang melewatkan satu tahun di ujung
negeri ini, jadi kuputuskan untuk menikmati Natal dengan apa adanya di desa
kecil ini. Aku juga tidak sendirian, ada 4 rekanku yang juga memilih tinggal di
desanya masing-masing. Tumben memang, baru kali ini Pengajar Muda Maluku
Tenggara Barat nyaris secara massal tidak mengambil cuti. Bahkan melihat
teman-teman di penempatan lain, banyak yang heran karena dari kami hanya satu
orang, Intan yang bertugas di Lumasebu, yang mengambil cuti. Ya, di tengah
segala kekurangannya, desa kami masing-masing memang punya magnet yang selalu
bikin rindu.
Perayaan Natal di desa sudah dimulai seminggu sebelumnya oleh
wadah-wadah pelayanan. Betul memang yang dikatakan oleh orang-orang desaku,
Natal Pelayanan Perempuan dan Pria yang lebih dulu terlaksana sangat sepi.
Lebih berkesan lagi perayaan natal SD tempatku mengabdi, SDK Adodo Molu. Kepala
Sekolah kami ada di Saumlaki, guru ada yang pulang kampung duluan, serta ada
guru agama yang terang-terangan tidak acuh terhadap persiapan natal SD. Jadilah
guru-guru yang tersisa mengambil alih semua pekerjaan, seperti biasa sambil
bisik-bisik sungut, apalagi dana satu juta yang diberikan Kepsek dirasa kurang.
Ibu Ci mengajari anak-anak pembawa lilin berliturgi, Bapak Lanith melatih
anak-anak vocal group, Bapak Kewi menjaring ikan untuk makan guru-guru, dan mama-mama nyora, sebutan untuk istri
dari guru laki-laki, Ibu Wer, Ibu Bat, dan aku sibuk di dapur membuat kue untuk
dibawa pulang anak-anak. Natal yang seharusnya dimulai jam 6 sore, mundur hingga
hampir jam 8 malam karena kendala teknis. Belum lagi, di tengah acara, lampu
gereja mati karena daya dari PLTS sudah habis, untung saja setelah sesi
penyalaan lilin jadi tidak gelap gulita. Bagiku ibadah dalam keadaan
remang-remang itu lebih hikmat, tapi tidak bagi anak-anak, mereka mulai sibuk
sendiri saat Wakil Ketua Majelis Jemaat menyampaikan refleksi Natal. Ada yang
berkerumun menonton video dari hp, ada yang berlari-larian dalam gereja, bahkan
ada yang nyaris pulang. Akhirnya aku menyulap diri bagai pamong praja yang
menyuruh mereka kembali masuk dan berdiri menjaga pintu gereja. Setelah keadaan
kondusif, aku kembali duduk di dekat anak-anakku kelas I, tidak lama ada yang
bertanya, “Ibu, nanti katong dapa dos
bawa pulang toh?”. Well, definitely true that ‘Snack is the main idea of every occassion’, anywhere. Kalau selama
ibadah ada yang terlihat bosan dan mengantuk, ekspresi mereka langsung berubah
180 derajat.
Empat hari menjelang Natal Umum, aku terpikir untuk mengadakan sebuah
pentas drama. Namun, seperti yang kukatakan berulang kali di tulisan
sebelumnya, bahwa inisiatif dan partisipasi masyarakat di sini sangatlah
rendah. Kutunggu kemunculan ide itu dari para anak muda, tapi tak kunjung
datang. Hingga akhirnya aku membuat sebuah konsep drama gabungan SD-SMA
berjudul Titik Balik, yang terdiri
dari empat babak berlatar masalah-masalah yang riil terjadi di desa. Gubuk Kecil, mengontradiksikan kehidupan
dua keluarga, sederhana yang damai dan kaya yang penuh konflik. Meng-ajar atau Meng-hajar, membenturkan
kenyataan dua tipe guru, ada yang mengajar dengan hati dan ada yang
mengandalkan rotan. Indah pada Waktunya, yang
buka-bukaan soal gaya pacaran anak muda di desaku dan Satu Hati, yang mengangkat tentang realitas hubungan antar berbagai
unsur di desa terkait penggunaan anggaran PNPM. Sengaja aku tidak membuatkan script, aku ingin mereka berkreasi
sendiri dalam menghidupkan drama, sekaligus supaya mereka belajar tidak ‘terima
bersih’. Awalnya, kami berencana menampilkannya saat Ibadah Malam Natal, namun
atas pertimbangan Bapak Pendeta akhirnya drama ditampilkan pada Ibadah Natal I
tanggal 25 Desember pagi. Jumlah orang yang terbatas, aku yang harus numpang ke
rumah Bapak Kades untuk berteriak di TOA memanggil mereka latihan, dan beberapa
yang masih kurang PD dengan perannya, ini membuat penampilan kami kurang
maksimal. Namun, puji Tuhan tanggapan dari jemaat cukup positif, meskipun ada
beberapa pihak yang merasa tertampar dengan cerita drama kami. Sedari awal, aku
sudah menjelaskan kepada semua pemeran, bahwa drama ini bukan mantra sulap yang
langsung mengubah orang menjadi baik tapi setidaknya bisa menyentuh kesadaran
jemaat. Intinya, agar Natal tidak hanya dipandang sebagai ibadah rutin setahun
sekali, tapi jemaat boleh merespon kelahiran Tuhan Yesus dengan sebuah
perenungan dan komitmen.
Berbeda dengan Ibadah Natal I, gereja tidak terlalu penuh di Ibadah
Natal II, meskipun tetap lebih ramai jika dibandingkan dengan Ibadah Minggu
biasa. Demikian juga yang terasa di Pastori, tidak jelas apakah ‘malu hati’
atau malas, hanya beberapa orang yang datang bertamu Natal. Padahal mama
piaraku telah menyiapkan dua macam kue, bahkan aku pun tidur subuh demi Rainbow dan Kukus Tiramisu untuk
menyambut tamu yang datang. Namun, nyatanya justru anak-anak SD yang lebih berani
dan semangat berkunjung ke rumah kami. Kemeriahan hanya kurasakan pada saat
perayaan Natal Sekolah Minggu, anak-anak begitu ramai ditambah kehadiran Opa
Santa, yang tak lain adalah bapak piaraku yang berpakaian ala Santa Claus.
Kalau dalam perayaan Natal sebelumnya tidak ada pohon Natal, barulah pada Natal
Sekolah Minggu para majelis sibuk mencari pohon yang bisa ditebang dan dipakai
sebagai dekorasi gereja. Meskipun pohonnya kurus, daunnya jarang, dan sesekali
hampir jatuh, tapi setidaknya bisa dihias dengan lampu warna-warni untuk
memeriahkan suasana. Anak-anakku kelas I mondar-mandir mengikutiku, entah
karena bando Santa Claus yang kupakai atau karena penasaran kerjaku sebagai
fotografer dadakan. Keseluruhan acara berlangsung sangat ‘hidup’ dan sukacita
tergambar jelas saat kami pulang.
Tibalah saat yang ditunggu-tunggu, detik-detik pergantian tahun.
Setelah Ibadah Akhir Tahun, suasana desa sangat riuh dengan bunyi petasan dan
musik joget. Sempat hening sementara saat Ibadah jam 12 malam di gereja, dilanjutkan
dengan ibadah keluarga di rumah. Kira-kira jam setengah dua, kami sekeluarga
keluar untuk bermain kembang api dan karena Bapak Kades yang rumahnya di
seberang Pastori menyapa, kami berkunjung ke rumahnya. Sembari bercerita dan
disuguhi dengan kuping gajah dan wajik, aku
menyempatkan diri sms Selamat Tahun Baru ke
keluargaku. Tak lama, papaku menelepon dan kagetnya beliau minta bicara dengan
Bapak Kades dan Bapak Piaraku. Setelah itu, Bapak Aris Laulu, juragan motor
laut, datang dan mengundang kami ke acara syukuran wisuda anaknya di rumah.
Selesai makan dan berbincang sebentar, kami memutuskan untuk pulang karena
musik joget mulai dimainkan pertanda akan ada yang mabuk dan bergoyang. Benar
saja, akibat dari begadang dan terlalu banyak minum sopi, saat Ibadah Tahun
Baru di pagi harinya banyak jemaat yang mengantuk. Anehnya, selesai ibadah,
mereka seperti ON kembali untuk
berpesta tahun baru. Pulang gereja, anak-anak SD hingga SMA langsung berganti
pakaian dan siap dengan rombongannya untuk pegang
tangan, semacam silaturahmi singkat, ke rumah-rumah.
Kami sudah menyiapkan kue kering, gula-gula
(permen), kue Kaca, Madona Coklat dan
Lemon (jeruk), serta sirup ABC untuk menyambut tamu yang datang ke Pastori.
Bocah-bocah menjadi tamu perdana kami, tak tanggung sekitar 15 anak sekali
datang. Dua toples kue kosong dalam hitungan menit, bagaimana tidak, ada
beberapa anak yang sengaja membawa plastik kecil untuk menyimpan kue dari
rumah-rumah yang mereka datangi. Begitu pun dengan permen, tuan rumah wajib membagikannya
rata kepada anak-anak, kalau tidak satu tangan bisa meraup hampir setengah
toples untuk dibawa pulang. Lucunya, tamu kami yang paling banyak adalah
anak-anak, bahkan ada yang datang dua kali hanya untuk minta kue. Sementara
rekan sepelayanan bapakku seperti majelis, diaken, kolektan, dan tua gama,
belum juga kelihatan batang hidungnya hingga sore. Aku memutuskan untuk ronda
desa, melihat keramaian tahun baru ala orang sini. Sebelum berangkat, sempat
ada segerombol pemuda yang datang untuk menyalami aku dan mama. Mulut mereka
bau sopi, lagi kulihat di depan rumah sudah ada yang mabuk hingga harus
dibopong karena tidak kuat berjalan. Alangkah kagetnya, saat mama bilang bahwa
bapak yang mabuk berat nyaris semaput itu adalah seorang majelis. Ckck...kacau!
Ternyata, mendekati sekitar dermaga, suasana desa semakin ramai. Pantaslah
orang-orang yang tinggal di daerah sini disebut orang ‘kota’, karena mereka tak
terkalahkan kalau soal pesta dan keributan. Aku menghampiri kerumunan kecil,
mereka sedang melihat salah seorang mama tertidur dekat keran air di simpang
jalan.
“Rame-rame begini, ada apa la?”, tanyaku.
Beberapa orang
serentak menjawab, “Ussy Reno mabok la
sono di sini. Paitua ada mo ambil air par siram antua ini.” (Ibu Reno mabuk
lalu tertidur di sini. Suaminya mau ambil air untuk menyiramnya)
“La dekat sana jua Ussy Sanci su mabok, la paitua hela
antua su macang hela anjing sa.”, timpal yang lainnya
sambil tertawa. (Sebelah sana juga Ibu Sanci sudah mabuk, suaminya seret dia
seperti anjing saja)
Sorenya, aku bersama dua rekan guru berkunjung ke rumah Ibu Kepala
Sekolah. Usai mencicipi astor dan kue
gula merah, kami berempat berjalan ke rumah Bapak Kanara, mantan kepala SMA
di Wunlah, yang sudah dianggap sebagai orang tua di desa. Aku cukup dekat dengan
Mama Kanara, selain karena beliau pelatih paduan suara kontingen kami kemarin,
wajah beliau mengingatkanku Opung di Pekanbaru. Sementara kami bercerita
tentang kesan Natal di desa, ada keributan di luar. Seketika aku menjadi geram
karena kulihat salah seorang pemuda, yang tak lain adalah keponakan kepala
desa, sedang mabuk berat dan nyaris baku
hantam (pukul-pukulan). Hampir dulu aku menampar pemuda itu karena tidak
sopan melempar puntung rokok saat dia mabuk, dia juga sudah terlibat beberapa
kasus dengan guru. Tidak sampai setengah jam kemudian, aku mendengar kegaduhan
dari belakang. Ternyata ada baku hantam
jilid 2, kali ini antar fam Leky dan Rahanwatty, berawal dari
perselingkuhan orang dewasa hingga pemukulan terhadap anak kecil.
“Ibu Theilla seng ambil gambar ka par mama-mama yang tadi
mabok itu deng dong yang lai baku hantam ini? Kenang-kenangan sampe Jawa toh”, celetuk Ibu Wer, rekan guruku. (Ibu Thella tidak memfoto mama yang tadi
mabuk dan orang yang lagi berkelahi ini? Untuk kenang-kenangan ketika pulang ke
Jakarta)
Spontan kujawab, “Tadi bet mo foto, tapi antua su bangun ke
muka. La kalo dong yang lai baku fight, bet takut nanti jadi sasaran barang
dong lai mabuk berat toh. (Tadi aku mau foto, tapi beliau sudah bangun
duluan. Kalau yang lagi berkelahi ini, aku takut jadi sasaran karena mereka
mabuk berat)
Malamnya, aku disuguhi dengan pemandangan segerombolan orang yang
berjoget tak karuan dengan musik keras. Bukan hanya laki-laki, tapi juga
perempuan. Bukan hanya orang dewasa, tapi juga anak-anak. Mereka betah
bergoyang hingga keringat bercucuran, tanpa peduli bentuknya bagaimana dan
berapa banyak orang yang menonton mereka. Kali ini aku sempat mengabadikan
anak-anak yang berjoget, sembari miris dalam hati melihat mereka belajar ‘liar’
sedari kecil. Lebih menyedihkannya banyak diantara ibu mereka yang menonton dan
Bapak Kades yang teras rumahnya dipakai untuk diskotik dadakan juga anteng
saja. Dalam hati aku bergumam, “Secuil
kenangan saat Natal dan Tahun Baru seperti ini hanya kutemukan di Adodo. Ya
cuma di Adodo.”
0 komentar:
Posting Komentar