Pesparawi (I): Sebuah Harga Diri

Leave a Comment
Kecamatan Molu Maru adalah kecamatan bungsu di kabupaten Maluku Tenggara Barat. Letaknya yang sangat jauh dari ibukota kabupaten, Saumlaki, serta akses transportasi yang terbatas, membuat kecamatan ini jarang mendapat perhatian dari pemerintah daerah. Terlebih stigma masa lalu yang masih lekat di kepala banyak orang, bahwa daerah ini adalah tempat pembuangan bagi pegawai yang bermasalah dan punya cerita magis yang cukup tragis. Tidak heran jika pegawai pemerintahan menganggap bahwa penugasan ke Molu Maru bak sebuah kutukan, istilahnya ‘di-Momar-kan’. Banyak yang meminta peninjauan kembali SK-nya, mengajukan mutasi kembali padahal baru sebentar bertugas, atau mau tidak mau terima nasib tapi lebih sering pulang ke kampungnya daripada menjalankan tugas. Padahal, pemekaran kecamatan yang dahulu bergabung dengan kecamatan Wuarlabobar ini justru diharapkan dapat mempercepat pembangunan dan mendekatkan warga Molu Maru dengan kemajuan, sehingga bisa mengikis keseraman persepsi yang terlanjur ada.

Molu Maru, ibarat bayi yang baru belajar menapak, secara mengejutkan merebut juara III dalam ajang sekelas Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) Kabupaten, mengalahkan ketujuh kakak-kakaknya. Pesparawi sendiri merupakan acara lomba paduan suara dengan menyanyikan lagu-lagu Kristiani yang diadakan setiap tahun oleh Kementerian Agama. Tujuan utama diadakannya Pesparawi adalah membangkitkan lagi gairah jemaat dalam melayani Tuhan lewat puji-pujian bersama dalam bentuk paduan suara. Dalam lomba tingkat nasional, yang bertanding adalah propinsi-propinsi. Perwakilan propinsi adalah tim pemenang dalam Pesparawi Kabupaten. Event ini adalah salah satu event terbesar se-kabupaten, dengan peserta dari 10 kecamatan. Sebagai guru Indonesia Mengajar yang ditugaskan selama setahun di Molu Maru, saya merasa beruntung dapat merasakan atmosfer yang berbeda. Bukan hanya mengajar, tapi juga dilibatkan dalam kepanitiaan dan merasakan pahit-manisnya persiapan Pesparawi. Terlebih ketika saya lolos seleksi peserta tim sopran paduan suara remaja/ pemuda. Sebelumnya, saat kuliah di Bandung dan bekerja di Jakarta, tidak pernah ada dalam benak saya untuk bergabung dalam paduan suara di gereja. Tak disangka, sekalinya ikut, langsung melawan 9 kecamatan lain. Ini merupakan pengalaman berkesan yang akan saya bawa pulang dan ceritakan nantinya.

Meminjam tagline kontes Miss Indonesia, ‘Semua mata tertuju padamu’, Molu Maru juga merasakannya. Belakangan nama Molu Maru semakin eksis karena terpilih menjadi tuan rumah Pesparawi ke-II tingkat kabupaten. Bisa dibilang keputusan Pemda ini cukup beresiko, mulai dari kecemburuan sosial kecamatan lain yang sudah mapan, hingga masalah aktualisasi diri Molu Maru sendiri. Namun, inisiatif Pemda untuk mempercepat kemajuan daerah terpencil melalui jalur Pesparawi ini patutlah kita sambut baik. Desa Adodo Molu sebagai kota kecamatan mengalami pembangunan yang sangat pesat, mulai dari tersedianya PLTS, pemancar sinyal, dan internet. Pembenahan fasilitas ini jelas menyumbangkan nilai positif bagi Molu Maru, tapi pertanyaan selanjutnya: “Telah siapkah masyarakat di Molu Maru untuk meroket?” Ini kali pertama Pesparawi diadakan di luar ibukota kabupaten, kali pertama juga dilakukan justru di kecamatan yang baru dimekarkan tiga tahun terakhir. Spesialnya lagi, Pesparawi juga bertepatan dengan ulang tahun kecamatan Molu Maru. Seyogyanya persiapan harus benar-benar matang, bahkan kalau bisa dicicil dari enam bulan sebelum acara. Mulai dari Pemda, Lembaga Pesparawi Kabupaten, Lembaga Pesparawi Kecamatan, panitia Pesparawi, para peserta, hingga seluruh lapisan masyarakat, sudah sewajarnya menaruh perhatian lebih kepada Molu Maru. Namun, nyatanya atensi yang kurang mengakibatkan persiapan teknis baru efektif terlaksana sejak September. Dana yang terlambat turun, kurangnya koordinasi antara pihak terkait, dan keterbatasan akses transportasi, membuat persiapan Pesparawi di Molu Maru terkesan buru-buru. Masih ada beberapa pekerjaan yang belum rampung, seperti renovasi gedung gereja, pembuatan jalan trans-desa, persiapan akomodasi dan dekorasi, serta atribut peserta. Detik-detik di penghujung bulan Oktober, Molu Maru hanya punya kurang lebih dua minggu untuk mengejar semuanya. Mampukah?


Ibarat ‘Sistem Kebut Semalam’ yang diterapkan anak sekolah saat ujian, masyarakat Molu Maru mungkin sudah nyaman dengan kebiasaan bekerja di menit terakhir. Sejak ayam berkokok hingga bintang bermunculan masyarakat sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Para peserta dan pengisi acara melakukan latihan fisik mulai jam 6 pagi, dilanjutkan olah vokal bagi peserta paduan suara dan latihan menari kolosal bagi pengisi acara. Lembaga Pesparawi Kecamatan juga menyiapkan snack pagi seperti kacang hijau atau roti ‘ampas tarigu’ sebelum para peserta melanjutkan uji panggung sesuai jadwal yang sudah ditetapkan. Tim pemuda mendapat giliran awal, disusul tim dewasa dan tim anak-anak. Dibimbing oleh dua orang pelatih yang usianya sudah lanjut namun masih berjiwa muda, Bapak Massa dan Ibu Kanara, tim paduan suara berusaha membenahi nada-nada dan melatih mimik muka sesuai pesan lagu. Meskipun progres kami lamban jika dibandingkan dengan tim paduan suara kecamatan lain yang sudah matang, tapi dalam keterbatasan kami tetap berusaha menampilkan yang terbaik. Apa yang kami kejar bukanlah dagu yang terangkat tinggi saat pengumuman pemenang. Piala yang sesungguhnya bagi kami adalah pengakuan harga diri, bahwa Molu Maru yang sekarang sudah berkembang. Hadiah yang sesungguhnya bagi kami adalah terhapusnya stigma di-Momar-kan dan banyak orang yang tertarik berkunjung lagi ke Molu Maru.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar