Kecamatan Molu Maru adalah
kecamatan bungsu di kabupaten Maluku Tenggara Barat. Letaknya yang sangat jauh
dari ibukota kabupaten, Saumlaki, serta akses transportasi yang terbatas,
membuat kecamatan ini jarang mendapat perhatian dari pemerintah daerah. Terlebih
stigma masa lalu yang masih lekat di kepala banyak orang, bahwa daerah ini
adalah tempat pembuangan bagi pegawai yang bermasalah dan punya cerita magis
yang cukup tragis. Tidak heran jika pegawai pemerintahan menganggap bahwa
penugasan ke Molu Maru bak sebuah kutukan, istilahnya ‘di-Momar-kan’. Banyak yang meminta peninjauan kembali SK-nya,
mengajukan mutasi kembali padahal baru sebentar bertugas, atau mau tidak mau
terima nasib tapi lebih sering pulang ke kampungnya daripada menjalankan tugas.
Padahal, pemekaran kecamatan yang dahulu bergabung dengan kecamatan Wuarlabobar
ini justru diharapkan dapat mempercepat pembangunan dan mendekatkan warga Molu
Maru dengan kemajuan, sehingga bisa mengikis keseraman persepsi yang terlanjur
ada.
Molu Maru, ibarat bayi yang baru
belajar menapak, secara mengejutkan merebut juara III dalam ajang sekelas Pesta
Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) Kabupaten, mengalahkan ketujuh kakak-kakaknya. Pesparawi sendiri
merupakan acara lomba paduan suara dengan menyanyikan lagu-lagu Kristiani yang
diadakan setiap tahun oleh Kementerian Agama. Tujuan utama diadakannya
Pesparawi adalah membangkitkan lagi gairah jemaat dalam melayani Tuhan lewat
puji-pujian bersama dalam bentuk paduan suara. Dalam lomba tingkat nasional,
yang bertanding adalah propinsi-propinsi. Perwakilan propinsi adalah tim
pemenang dalam Pesparawi Kabupaten. Event ini adalah salah satu event terbesar
se-kabupaten, dengan peserta dari 10 kecamatan. Sebagai guru Indonesia Mengajar
yang ditugaskan selama setahun di Molu Maru, saya merasa beruntung dapat
merasakan atmosfer yang berbeda. Bukan hanya mengajar, tapi juga dilibatkan
dalam kepanitiaan dan merasakan pahit-manisnya persiapan Pesparawi. Terlebih
ketika saya lolos seleksi peserta tim sopran paduan suara remaja/ pemuda.
Sebelumnya, saat kuliah di Bandung dan bekerja di Jakarta, tidak pernah ada
dalam benak saya untuk bergabung dalam paduan suara di gereja. Tak disangka,
sekalinya ikut, langsung melawan 9 kecamatan lain. Ini merupakan pengalaman
berkesan yang akan saya bawa pulang dan ceritakan nantinya.
Meminjam tagline kontes Miss Indonesia, ‘Semua mata tertuju padamu’, Molu
Maru juga merasakannya. Belakangan nama Molu Maru semakin eksis karena terpilih
menjadi tuan rumah Pesparawi ke-II tingkat kabupaten. Bisa dibilang keputusan
Pemda ini cukup beresiko, mulai dari kecemburuan sosial kecamatan lain yang
sudah mapan, hingga masalah aktualisasi diri Molu Maru sendiri. Namun,
inisiatif Pemda untuk mempercepat kemajuan daerah terpencil melalui jalur
Pesparawi ini patutlah kita sambut baik. Desa Adodo Molu sebagai kota kecamatan
mengalami pembangunan yang sangat pesat, mulai dari tersedianya PLTS, pemancar
sinyal, dan internet. Pembenahan fasilitas ini jelas menyumbangkan nilai
positif bagi Molu Maru, tapi pertanyaan selanjutnya: “Telah siapkah masyarakat
di Molu Maru untuk meroket?” Ini kali
pertama Pesparawi diadakan di luar ibukota kabupaten, kali pertama juga
dilakukan justru di kecamatan yang baru dimekarkan tiga tahun terakhir.
Spesialnya lagi, Pesparawi juga bertepatan dengan ulang tahun kecamatan Molu
Maru. Seyogyanya persiapan harus benar-benar matang, bahkan kalau bisa dicicil
dari enam bulan sebelum acara. Mulai dari Pemda, Lembaga Pesparawi Kabupaten,
Lembaga Pesparawi Kecamatan, panitia Pesparawi, para peserta, hingga seluruh
lapisan masyarakat, sudah sewajarnya menaruh perhatian lebih kepada Molu Maru.
Namun, nyatanya atensi yang kurang mengakibatkan persiapan teknis baru efektif
terlaksana sejak September. Dana yang terlambat turun, kurangnya koordinasi
antara pihak terkait, dan keterbatasan akses transportasi, membuat persiapan
Pesparawi di Molu Maru terkesan buru-buru. Masih ada beberapa pekerjaan yang
belum rampung, seperti renovasi gedung gereja, pembuatan jalan trans-desa,
persiapan akomodasi dan dekorasi, serta atribut peserta. Detik-detik di
penghujung bulan Oktober, Molu Maru hanya punya kurang lebih dua minggu untuk
mengejar semuanya. Mampukah?
Ibarat ‘Sistem Kebut Semalam’ yang diterapkan anak sekolah saat ujian,
masyarakat Molu Maru mungkin sudah nyaman dengan kebiasaan bekerja di menit
terakhir. Sejak ayam berkokok hingga bintang bermunculan masyarakat sibuk
mempersiapkan segala sesuatunya. Para peserta dan pengisi acara melakukan
latihan fisik mulai jam 6 pagi, dilanjutkan olah vokal bagi peserta paduan
suara dan latihan menari kolosal bagi pengisi acara. Lembaga Pesparawi
Kecamatan juga menyiapkan snack pagi
seperti kacang hijau atau roti ‘ampas tarigu’ sebelum para peserta melanjutkan
uji panggung sesuai jadwal yang sudah ditetapkan. Tim pemuda mendapat giliran
awal, disusul tim dewasa dan tim anak-anak. Dibimbing oleh dua orang pelatih
yang usianya sudah lanjut namun masih berjiwa muda, Bapak Massa dan Ibu Kanara,
tim paduan suara berusaha membenahi nada-nada dan melatih mimik muka sesuai
pesan lagu. Meskipun progres kami lamban jika dibandingkan dengan tim paduan
suara kecamatan lain yang sudah matang, tapi dalam keterbatasan kami tetap
berusaha menampilkan yang terbaik. Apa yang kami kejar bukanlah dagu yang
terangkat tinggi saat pengumuman pemenang. Piala yang sesungguhnya bagi kami
adalah pengakuan harga diri, bahwa Molu Maru yang sekarang sudah berkembang.
Hadiah yang sesungguhnya bagi kami adalah terhapusnya stigma di-Momar-kan dan banyak orang yang
tertarik berkunjung lagi ke Molu Maru.
0 komentar:
Posting Komentar