Mendengar kata politik, yang terlintas di pikiran kita adalah
kekuasaan. Bahkan sebagian orang mungkin sudah amat skeptis dengan politik.
Tapi melihat judul tulisan saya, hati-hati salah menafsirkan. Ini bukan politik
jenis baru yang saya bangun selama tiga bulan lebih di penempatan. Namun, tidak
saya pungkiri, frasa baru ini timbul memang sesuai dengan kondisinya saat itu.
Di mana mungkin sebagian masyarakat disibukkan dengan upacara Hari Kesaktian
Pancasila, tetapi 1 Oktober menorehkan kesan berbeda di Kecamatan Molu Maru.
Sekitar jam 12 siang, ada dua speed boat yang
membawa rombongan pejabat terkait dengan pengontrolan persiapan Pesparawi. Kami
patut bersyukur karena dengan rekam jejak masa lalu dan stigma ‘di-Momar-kan’
yang belum sepenuhnya luntur, jangankan pejabat bahkan pegawai pun enggan untuk
datang ke sini. Padahal, kecamatan ‘premature’ ini sudah amat layak keluar dari
‘inkubator’nya. Hal ini juga diakui oleh para pejabat yang baru pertama kali
menginjakkan kakinya di Molu Maru.
“Awalnya saya pikir ini kecamatan bagaimana sekali, tapi
pas sandar di pantai, saya lihat ini desa kecil tapi rapih.”
“Saya sudah lama ingin berkunjung kemari, tapi baru
sempat sekarang dan ternyata meskipun baru mekar, ada perkembangan yang sangat
pesat baik dari pembangunan infrastruktur maupun orang-orangnya.”
“Saya rasa kalau Ibu Thella yang dari Jawa saja sudah
rasa betah di sini, bisa jadi indikator bahwa daerah ini cukup nyaman dan baik
toh?”
Saya tidak akan bercerita banyak tentang kecamatan ini, karena ajang
promosi pariwisata sudah berlangsung di akun Facebook. Cerita saya kali ini
diawali dengan sebuah kalimat yang tak terpatahkan (mungkin), “Kadang kala kita
mesti berbohong demi kebaikan”. Sering terlintas di pikiran saya bahwa hidup
ini menawarkan banyak pilihan sulit di tengah kesulitannya sendiri. Bagaimana
tidak, mau jadi orang jujur yang sudah tentu baik saja, kadang masih salah. Ini
yang saya alami saat rumah saya menjadi tempat bermalam bagi tiga pejabat
daerah. Namun, dari awal saya katakan bahwa tulisan ini bukan berisi aduan
ataupun pencitraan pejabat terkait. Sama sekali tidak. Saya hanya berusaha
belajar dari setiap hal yang saya alami, baik atau buruk. Dan saya rasa
pengalaman itu patut dibagi, mungkin saja bermanfaat bagi orang lain, siapa
tahu.
Malam itu beliau memanggil sekitar sembilan orang laki-laki ke pastori
untuk membicarakan pembentukan dewan pengurus ranting di desa Adodo Molu. Jujur
‘gerah’ rasanya ketika pastori yang seharusnya menjadi tempat diskusi persiapan
Pesparawi, malah dijadikan sebagai tempat konsolidasi salah satu partai. Tapi
apa mau dikata, budaya malu hati di desa ini terlalu tinggi. Sehingga bapa
piara saya, yang padahal menjabat sebagai Ketua Panwaslu Kecamatan saja hanya
berani menggumam di dapur. Padahal kalau dipikir-pikir, kampanye terselubung di
masa kunjungan kerja seperti ini kan sudah termasuk pelanggaran. Saya juga
tidak punya pilihan lain saat itu selain membantu mama piara menyeduh kopi
untuk para pejuang dan bakal calon pejuang ‘wong cilik’, katanya. Sesekali mendengar
beliau promosi ala khotbah kepada sembilan orang laki-laki, “Partai ini kan
juga merupakan bentuk kesaksian, jadi harus setia jangan mudah berpindah hanya
karena tawaran sesaat dari partai lain. Nanti Tuhan marah toh.” Terlintas di
pikiran saya, konsep politik sederhana tapi selalu jadi acuan jitu bagi kami
saat kuliah, ‘Politic is who gets what,
when, and how”. Sudah sering saya dengar selentingan bahwa banyak politisi
yang melakukan pendekatan religi, terlepas dari konteks agamanya apa, untuk
menarik massa. Tapi malam ini mungkin contoh nyata. Saat saya mengantarkan kopi
ke ruang tengah, salah satu dari beliau yang jadi caleg bersengaja, “Ibu ini
juga kader partai katong, bapa-bapa!” sambil tertawa. Setelah semua orang
pulang, barulah bapa ini meminta maaf pada saya soal kelakarnya tadi. Saya pun
membalas, “Kalau berita beta jadi kader partai sampai di telinga Indonesia
Mengajar di Jakarta bapa, berarti nanti beta su tahu sebut nama sapa yang
biking isu e bapa.” Beliau tertawa, tapi dalam hati saya: ini serius.
Obrolan kami mengalir dari perkenalan diri masing-masing, background pendidikan, hingga pekerjaan.
Beliau menanyakan tentang pekerjaan saya sebelum memutuskan untuk mengabdikan
diri melalui Gerakan Indonesia Mengajar. Mungkin saya terlalu polos atau mulut
ini yang tidak bisa diajak ‘kompromi’, spontan saya menjawab bahwa hampir
setahun saya bekerja sebagai junior
analyst di lembaga penelitian independen di Jakarta. Saat itu juga saya
tersentak bahwa beliau adalah orang yang dibesarkan oleh partai senior dan
rekan beliau yang satunya adalah caleg. Ternyata beliau pernah membaca
klipingan analisis yang memuat nama kantor saya dan beliau cukup tahu bagaimana
‘pisau’ yang kami gunakan untuk membedah sebuah isu politis yang sedang ramai
dibicarakan.
“Nona manis, saya cukup salut dengan nona yang berani
ambil keputusan untuk keluar dari pekerjaan di kota yang gajinya mungkin lebih
tinggi dan hidupnya di sana pasti lebih enak daripada di tempat terpencil
begini.”
Kira-kira begitu
bunyi kalimat pertama yang terlontar saat beliau mengetahui pekerjaan saya
terdahulu. Entah ini sudah termasuk amunisi pertama atau memang respon dari
hati. Tapi pengalaman hampir setahun bekerja terdahulu menyisakan banyak ilmu
berharga. Saya sudah dapat menebak arah obrolan ini kemana dan terbukti sudah.
Bukan namanya politisi kalau tidak pandai berpolitik, yang dalam arti sederhana
memaksa orang lain untuk mengikuti kehendaknya. Mulai dari cara memuji,
mengajak diskusi, hingga berujung kepada sebuah tembakan pertanyaan:
“Jadi, bisa ka seng kalau bapa minta tolong nona untuk
analisis katong pu caleg yang potensial, lalu bagaimana nona susun strategi
untuk memenangkan pileg ini. Bisa toh? Katong salaman dolo.”
Sekitar tiga kali
pertanyaan itu ditembakkan ke arah saya, tapi tiga kali pula saya menolaknya
dengan berusaha tidak menyinggung.
“Mohon
maaf bapa, beta setahun disini sudah komitmen untuk mencurahkan segala energi
demi membangun pendidikan, fokus dan selalu bersikap netral. Kalau soal
pendidikan apapun itu katong usahakan bapa, tapi menyangkut politik maaf bukan
Indonesia Mengajar pu ranah”.
“Lho, memangnya beta akan lapor ke Indonesia Mengajar?
Kita lakukan secara tertutup saja toh, nona ini cerdas dan saya yakin pasti
analisisnya sangat membantu kesuksesan partai ini. Secara tidak langsung kan
juga membantu orang-orang kecil yang katong perjuangkan, ka bagaimana? Seng
usah panggil bapa, panggil bu saja, besok pagi langsung kasih lihat nona pu
tulisan tentang strategi pemenangan pileg ini.”
“Sekali lai beta mohon maaf bapa, jawaban beta masih
sama: seng bisa.”
“Wah, nona ini idealis juga e. Kalo punya ilmu itu harus
dibagi toh, Tuhan saja bilang kalau kita harus membantu orang yang butuh toh?
Lai jang anti politik, karena politik itu bagus. Pernah baca buku ‘Politik itu
Suci’ dan ‘Manifesto Politik’ ka?”
“Iyo, pernah baca bapa. Beta jua seng bilang kalo politik
itu jelek, lai politik itu ibarat sopi toh. Masalahnya ada di orang-orangnya
kalau konsumsi itu barang berlebihan. Beta bukan seng mo bagi ilmu, tapi
setahun ini bukan waktunya bapa. Meskipun seng ada yang lihat, tapi ada satu
pribadi yang selalu lihat toh?”
“Nona ini jua kuat e, seng mudah diintervensi. Barang
bapa Anies ada jadi capres e? Tapi sayang kenapa harus pilih partai yang banyak
masalah begitu?”
“Sikap beta untuk seng terlibat politik bukan karena
keberpihakan pada satu partai. Bahkan Bapa Anies keluar dari IM ini jua par
jaga kenetralan gerakan, antua seng pernah perintahkan katong par jadi loyalis.
Kalau banyak yang pikir gampang bahwa IM ini jadi motor itu resiko yang sudah
pasti antua tanggung, tapi pembuktiannya bisa dilihat dari kinerja katong yang
tetap pada porosnya.”
“Memang orang macam nona ini yang katong butuh di MTB
ini, bagaimana kalau perpanjang masa tugas sa? Nanti saya bicarakan dengan Bupati
supaya keluarkan SK dan bicara deng orang tua, toh”
“Beta baru tiga bulan di sini, belum bisa jawab tawaran
dan memang belum ada pemikiran ke sana.”
Tensi pembicaraan saya turunkan dengan cara mengalihkannya ke topik
bola dan hal-hal ringan mengundang tawa. Tapi rupanya hal ini disadari oleh
beliau, hanya mungkin sudah letih menawarkan dan jawabannya tetap ‘seng’
sehingga obrolan ditutup tepat jam setengah dua subuh. Kami juga harus
beristirahat karena pagi ada acara peresmian kantor camat. Berhubung kamar di
pastori hanya tiga, jadilah aku tidur berdua dengan salah satu ibu yang
bertugas sebagai protokoler dan dua dari beliau lebih memilih tidur di ruang
tamu pastori dengan spring bed yang
ada. Sementara kamar tamu hanya dipakai oleh satu orang pejabat yang sudah
tidur lebih dulu dari kami dan satu kamar lagi dipakai oleh bapa, mama, dan
kedua adik piaraku. Yah, namanya juga pejabat turun ke desa jadi harus
memaklumi segala keterbatasan yang ada dan sebaiknya hidup merakyat.
Paginya saya bangun tempo mengingat kami hanya punya satu kamar mandi
di luar rumah induk, sedangkan yang antri mandi ada sekitar sembilan orang
penghuni pastori. Salah seorang dari beliau yang sedari malam menanyakan beras
merah untuk makan pun kami suguhi dengan pisang goreng dan bubur di pagi hari.
Sekelebat tudingan beliau semalam soal politik pencitraan partai lain seolah
terkoneksi dengan banyaknya prasyarat makan yang beliau mintakan. Bukankah
untuk mengambil hati rakyat harus berusaha hidup seperti apa adanya rakyat? Ah,
tapi yang namanya pejabat, meskipun dahulunya berasal dari desa, kalau sudah
terbiasa hidup enak pasti canggung untuk kembali ke asal. Selesai sarapan dan
mandi, kami bersiap untuk jalan mendaki ke kantor camat mengikuti acara
peresmian sekaligus makan bersama seluruh pegawai sebelum rombongan pejabat
pergi meninggalkan desa. Saya yang beralih tugas dadakan menjadi staf gadungan
kecamatan pun membantu Ibu Camat dalam menghidangkan makanan kepada para tamu
penting kami. Lagi-lagi pertanyaan soal beras merah beliau tanyakan dan saya
menjawab, “Bapa nanti mo naik speed dan
langsung sambung kegiatan di Wunlah toh? Jadi seng apa-apa makan nasi putih
supaya tenaga banyak.” Sepulang dari kantor camat, kami jalan turun bersama dan
beliau ternyata orang yang cukup gigih untuk kesekian kalinya merayu saya
membantu progres politik partainya. Tidak bermaksud sombong, tapi bukan namanya
orang Batak dan semasa kuliah juara debat, kalau tidak bisa menangkis serangan.
Sampai terakhir beliau meminta kontak, saya pun tetap memberikan nomor
sekaligus pengertian bahwa komunikasi yang akan terbangun di luar politik.
Selepas mengantarkan rombongan ke pantai hingga speed sudah terlihat jauh, kami pulang dan saya langsung masuk
kamar. Saya sempat berdoa agar penolakan semalam tidak menyinggung perasaan
beliau dan ruang gerak serta program tim MTB tidak kemudian dipersulit. Sering
saya berpikir bahwa privileges yang
diberikan Pemda kepada tujuh orang anak muda pengguna rompi, harus ditanggapi
dengan bijak. Kebaikan orang lain memang tidak bisa ditolak, tapi kami harus
bisa membaca ‘arah’ dan tanggap. Saya tidak menampik bahwa baik dari IM maupun
para pejabat itu punya kepentingan terhadap masyarakat di MTB. Namun apakah
kepentingan bersama atau pribadi, itu yang patut digarisbawahi. Jangan sampai
Pengajar Muda difasilitasi senyaman mungkin untuk kemudian diberdayakan dalam
tujuan politis tertentu. Dari dulu pesan mujarab ini selalu saya simpan, ‘Banyak orang baik tapi hanya sedikit orang
benar’. Saya pun mengambil handphone dan
mengetik pesan kepada teman-teman tim MTB untuk waspada terhadap bulan-bulan
rawan menjelang Pileg. Power kami
mungkin tidak sebanding dengan pejabat di sini, namun saya pikir kami tetap
punya posisi tawar untuk tetap berada di rel yang tepat. Tinggal bagaimana
‘meramu’nya saja.
0 komentar:
Posting Komentar