Dua hari
berpikir dan menimbang-nimbang, akhirnya saya memutuskan untuk meng-‘iya’-kan
tawaran Adit, rekan se-tim MTB yang bertugas di desa Wunlah, demi menjadi
pemateri dan fasilitator KKG Kecamatan Wuarlabobar. Sebelumnya Adit sudah
menceritakan via telepon tentang perjuangan panjang dalam mencari pemateri
untuk KKG di kecamatan yang memiliki 12 SD ini. Mulai dari keinginan untuk
memberdayakan pihak lokal hingga datang ke dinas pendidikan di Saumlaki,
ternyata tidak tersanggupi juga. Jika pihak lokal terbentur dengan keterbatasan
penguasaan materi, maka pihak di dinas juga kekurangan sumber daya. Masalah
berikutnya adalah terbentur dana jika harus mengundang pemateri dari luar.
Akhirnya Adit minta tolong kepada saya, Eko, dan Rena untuk bertugas di Wunlah
dari tanggal 25-28 September 2013. Awalnya saya ragu untuk meninggalkan
anak-anak kelas I, kelas IX, latihan Pesparawi, dan ajakan Bapa Camat Molu Maru
untuk ronda ke desa-desa lain. Terlebih untuk mengajak Eko, saya harus mencari
anak Wadankou yang bersedia jalan kaki 8 km demi mengantarkan surat. Belum lagi
dilema transportasi, kalau kami ikut feri atau kapal sabuk ke Larat, waktunya
terlalu cepat, sementara kalau mau beraktivitas dulu di desa maka harus cari
kabar motor siapa yang akan pergi ke Larat. Namun, karena Adit sudah
mengupayakan transportasi agar kami tidak terlalu lama ‘ditawan’, kami bertiga
bersedia berangkat.
Setelah saya
dan Eko bertemu dengan Rena di Larat, kami menunggu motor laut dari Wunlah yang
tak kunjung datang. Kami berusaha menghubungi Adit tetapi karena sinyal di
Wunlah terbatas untuk 25 hp, sms atau telepon kami berkali gagal masuk. Siapa
yang tidak kesal karena katanya motor akan menjemput kami di hari Senin,
nyatanya hingga Selasa sore kami baru berangkat. Motornya kecil dengan banyak
muatan barang dan penumpang, alhasil kami yang mendapatkan tempat seadanya
harus rela basah-basahan terkena cipratan ombak. Sesampainya di Wunlah, hari
sudah gelap dan Adit agak terlambat menjemput kami di dermaga. Setelah melepas
rindu sebentar kami dibantu ‘pasukan cilik’ berjalan menuju rumah dan di sana
langsung berkenalan dengan keluarga piara Adit. Badan yang lengket karena
campuran keringat dan air laut sudah minta dibersihkan, sehingga saya dan Rena
bertanya kepada mama piara Adit di mana kamar mandi. Wah, ternyata Adit punya
kamar mandi yang unik. Berada di luar rumah induk, berdindingkan anyaman,
beratapkan taburan bintang alias terbuka atasnya, dan tanpa pintu. Jadi, untuk
memberikan tanda bahwa ada orang yang sedang mandi atau buang air, kami
meletakkan sendal jepit di depannya. Kami wajib bawa senter dan anak-anak yang
membantu menimba air. Oh ya, kamar mandi ini memang dikhususkan untuk mandi dan
buang air kecil saja. Jika ingin buang air besar, kami harus berjalan lagi
menuju kamar mandi umum. Agaknya kami harus berterima kasih kepada Wanadri
sebagai pelatih fisik dan mental, yang telah membiasakan kami hidup dalam
segala keterbatasan selama pelatihan di hutan.
Selesai
mandi ternyata di ruang tamu sudah penuh dengan anak-anak kelas V dan VI yang
biasa datang belajar malam. Kali ini Adit memberi soal pengurangan berulang
sebagai konstruk dari pembagian. Kami bertiga berkeliling melihat pekerjaan
mereka, hingga akhirnya aku mendapati seorang siswa yang kesulitan. Adalah
Agustinus, siswa kelas V yang masih salah dalam pengurangan dengan ‘sistem
pinjam’. “Ibu Thella, yang itu memang tidak bisa, biar saja sudah”, isyarat
Adit pada saya. Tapi saya meresponinya, “Bet coba ajar dolo, pasti bisa!”
Dengan gaya bahasa yang santai dan diselingi canda, saya mengajari Agustinus
cara pengurangan yang berbeda dari cara yang Adit ajarkan. “Ha..kalo kamong
bingung, pake cara Molo sa. Barang hidup su susah toh jadi jang cari cara yang
susah lai. Mari Ibu ajar...” Puji Tuhan saya tidak kepalang malu sama Adit
karena terlalu pede kalau Agustinus bisa, terbukti hanya dengan lima contoh
soal dia sudah paham konsep pengurangan. Bahkan saking senangnya karena sudah
bisa, dia semangat promosi ‘cara Molo’ dan mengajari teman-temannya yang masih
kebingungan. Bukankah kebahagiaan seorang guru adalah melihat anak didiknya
bisa? Saya berkata jujur pada Adit fakta bahwa anak-anak di Wunlah punya daya
tangkap yang cepat dibandingkan anak-anak di desa saya. Sekarang tinggal
bagaimana guru lebih peka saja dalam menerapkan cara bagi anak-anaknya. Usai
belajar, kami mengantar tiga orang siswa anak perempuan yang rumahnya paling
jauh sekaligus Adit melakukan sidak bagi anak-anak yang nonton televisi.
Sampai di
rumah, kami langsung menyiapkan amunisi untuk begadang dalam menyiapkan
pembukaan KKG untuk esok harinya. Sambil menyeruput kopi dan mengunyah cemilan,
kami melakukan pembagian tugas sebagai fasilitator dalam setiap sesi. Terkhusus
untuk sesi diskusi ‘Masalah Pendidikan di Wuarlabobar’, saya mengusulkan agar
peserta dibagi ke dalam 3 kelompok, masing-masingnya membahas tentang masalah
siswa, guru, dan manajemen sekolah. Tujuannya agar pemetaan kekhawatiran dan
harapan lebih fokus. ‘Bos’ kami pun menyetujuinya. Untuk hari kedua dan ketiga,
Adit rupanya telah membagi tugas kami sebagai pemateri. Saya mendapat jatah
‘Positive Discipline’, Rena kebagian ‘Metode Belajar Kreatif’, Eko kebagian
‘Penetapan KKM’, sementara si bos gilirannya ‘Penyusunan RKAS’. Setelah briefing, kami memutuskan untuk
beristirahat supaya besok siap tempur.
Paginya kami
bangun dan antri mandi. Setelah siap-siap, mama piara Adit ternyata sudah
menyiapkan kue dan teh manis hangat untuk sarapan, Kami pun pakai sistem
‘kilat’ dan segera berjalan ke sekolah karena jarum pendek sudah berada tepat
di angka 8. Alangkah terkejutnya ketika melihat ruang materi masih sepi,
ternyata guru-guru belum datang. Kalau dipikir-pikir, benar juga guyonan
‘Terlalu banyak pohon karet di sini’. Kami pun mengecek peralatan teknis yang
akan digunakan dan memastikan semuanya berjalan baik, karena nanti akan ada
sesi khusus yang dibawakan oleh Ibu Leni Beresaby (Kepala Bidang SD) dan
stafnya. Jarum pendek sudah menunjuk angka 9, namun kursi yang terisi masih
bisa dihitung jari. Sebagai orang baru, saya, Rena, dan Eko sesekali menghampiri
guru-guru yang sudah hadir untuk berkenalan. Nyaris jam 10, akhirnya acara KKG
resmi dibuka dengan sambutan dari Bapak Camat Wuarlabobar, Kepala UPTD,
Pendeta, dan yang mewakilkan Kepala Dinas Pendidikan. Karena waktu sudah sangat
molor, acara pun segera dilanjutkan dengan pembinaan profesionalitas guru oleh
Ibu Leni. Sebenarnya Rena meminta saya untuk membantunya menyiapkan media
belajar untuk dibawa sebagai contoh pada sesi ‘Metode Belajar Kreatif’, namun
ternyata Ibu Leni mengundang kami untuk mengikuti sesinya. Satu hal yang ingin
dikorek oleh Ibu Leni adalah jawaban atas pertanyaan “Apa yang menyebabkan guru-guru tidak kreatif dalam mengajar? Tidak
tahu, tidak ada sarana pendukung, atau memang pemalas?” Hingga sesi
berakhir dan tiba jam istirahat makan siang, jawaban atas pertanyaan itu belum
juga kami temukan dari para guru.
Kami
menyempatkan diri untuk berbincang-bincang sambil makan siang di kantor UPTD.
Obrolan dengan para stakeholder mengalir
dari hal-hal ringan hingga serius. Sesekali pertanyaan soal Molu Maru mencuat
dan membuat saya spontan berlaga ala sales yang sedang mempromosikan jualannya.
Simpelnya, selama satu tahun bertugas, saya hanya ingin mengikis stigma
‘di-Momar-kan’. Bukan berarti bohong
atau bicara tinggi, tapi saya berusaha menyampaikan perbaikan dan kemajuan yang
terjadi di Molu Maru, sekecil apapun itu. Sehingga kecamatan ‘anak bawang’ ini
bisa semakin dikenal baik. Usai makan siang, Ibu Leni melanjutkan sesi
tanya-jawab yang pastinya sudah ditunggu-tunggu oleh peserta KKG. Benar saja,
banyak tangan-tangan yang terangkat menunggu gilirannya. Mulai dari nada bicara
yang santai hingga menggebu-gebu merefleksikan rasa penasaran para guru atau
sekedar kehausan untuk berkeluh-kesah. Saya pribadi sangat menyukai cara Ibu
Leni menanggapi tiap-tiap pertanyaan: nada bicara yang tenang dipoles kalimat
yang tegas namun santun. Saking banyaknya yang ingin bertanya, Ibu Leni bahkan
merelakan waktu break sorenya
digunakan untuk berdiskusi dengan para guru. KKG hari pertama ditutup oleh sesi
‘Masalah Pendidikan di Wuarlabobar’ yang dilakukan denagn pembagian kelompok
diskusi. Rena kebagian menangani kelompok yang membahas masalah siswa, Eko di
masalah guru, dan saya di masalah manajemen sekolah. Setelah kelompok terbagi,
muka-muka yang sudah terlihat lesu kami segarkan dengan ice breaking seven claps.
Kami sebagai
fasilitator memberikan instruksi singkat tentang apa yang harus mereka tulis di
kertas kecil yang kami bagikan. Mereka ditugaskan untuk menulis kekhawatiran
dan harapan terkait permasalahan yang ada baik di siswa, guru, maupun sekolah.
Berbeda dengan kelompok lainnya, kelompok saya awalnya bingung akan apa yang
mau ditulis, lebih tepatnya takut mungkin.
Saya berkata kepada para guru, “Bapa/Ibu beta tahu pasti pu banyak keluhan
toh terkait sekola, entah itu soal transparansi dana, daya dukung, atau
kekurangan lainnya. Sekarang keluarkan sa semuanya, seng usah takut barang seng
tulis nama toh. Kalo katong seng pernah jujur, katong seng pu perbaikan.”
Salah seorang guru menggerutu
kecil, “Katong tulis soal dana BOS semua
ka pa. Barang kepala sekolah nanti marah ini.”
Saat mereka mulai menulis, saya
bisa menebak bahwa yang terbanyak dikhawatirkan adalah kepala sekolah yang
kurang transparan soal penggunaan dana BOS. Dan tebakan saya tidak meleset,
yang terbanyak memang masalah itu, ditambah dengan kurangnya buku panduan guru
di urutan kedua. Harapan terbesar adalah agar dana BOS tidak hanya diketahui
oleh kepala sekolah dan bendahara BOS saja, tapi ada keterbukaan dan diskusi
dalam penyusunan RKAS. Sehingga persoalan kekurangan buku panduan guru juga
bisa dimasukkan dalam anggaran. Setelah masing-masing ketua kelompok memaparkan
kekhawatiran dan harapannya, tibalah waktu untuk istirahat sebelum nanti akan
ke sekolah lagi untuk makan malam.
Sambil
makan, Adit menyampaikan kepada kami bertiga tentang keraguannya untuk
memasukkan penyusunan RKAS dalam sesi. Hal ini dikarenakan banyak kepala
sekolah yang mengajukan keberatan kepada kepala UPTD. Sontak saya bicara dengan
nada tinggi kepada Adit, “Justru kalau
mereka keberatan tandanya ada yang salah dengan pengelolaan dana BOS selama
ini. Mau sampai kapan dibiarkan? Sekarang UPTD punya kewenangan, tetap
lanjutkan!” Kami bergegas pulang ke rumah untuk menyiapkan bahan-bahan
presentasi ‘Positive Discipline’ dan ‘Metode Belajar Kreatif’ besok. Jujur
saja, saya merasa sangat dag-dig-dug untuk
membawakan materi yang jelas-jelas akan mengundang kontroversi. Bagaimana
tidak, materi ini bertujuan untuk mengubah mindset
para guru bahwa masih ada cara selain memukul siswa dengan rotan untuk
membuat mereka disiplin. Sementara kebiasaan itu layaknya sudah mendarah daging
bahkan siswa pun sudah terbiasa dengan kekerasan. Saya tidak muluk-muluk
mengharapkan guru-guru akan langsung berubah keesokan harinya, setidaknya saat
ini mereka tersadar dan mengerti bagaimana cara menumbuhkan disiplin tanpa
kekerasan. Ketika Adit, Eko, Rena sudah terlelap, saya pun masih memikirkan
kata-kata yang dapat menyetrum hati
para guru. Sebelum mata tertutup, saya hanya berdoa agar besok para guru mau
membuka hati menerima sesuatu yang baru dan mohon hikmatNya dalam setiap tutur
kata saya.
0 komentar:
Posting Komentar